JAKARTA, BANGSAONLINE.com - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin mengungkapkan tekanan yang makin sering dilayangkan kepada umat Islam. Hal itu disampaikan ke Menko Polhukam yang hadir di rapat pleno Dewan Pertimbangan MUI.
"Umat Islam merasa tertekan, terpuruk, dan tertuduh," kata Din dikutip dari Republika.co.id, Rabu (18/1).
Baca Juga: Viral Pernyataan Babe Haikal Terkait Sertifikasi Halal, Mahfud MD Beri Tanggapan Menohok
Dia mengingatkan, kondisi ini tidak akan baik apabila dibiarkan berlanjut, mengingat umat Islam merupakan mayoritas yang tentu memiliki tanggung jawab menjaga bangsa Indonesia. Selain itu, salah satu yang terpenting yaitu pemerintah akan kehilangan mitra strategisnya, untuk menjaga bangsa Indonesia.
Bahkan, menurut dia, eksistensi perdamaian di Indonesia akan terancam posisinya, apabila pemerintah tidak memberikan ruang kepada umat Islam. Nasionalisme, kata Din, turut menjadi aspek yang terancam posisinya, bila kondisi ketimpangan itu terus dibiarkan pemerintah.
"Kalau ini berlanjut pemerintah akan kehilangan mitra strategis, nasionalisme pun akan terganggu," ujar Din.
Baca Juga: Siswa MTsN Kota Pasuruan Juara 1 MYRES Nasional, Mas Adi: Anak Muda yang Harumkan Daerah
Din menambahkan, MUI sendiri belakangan semakin sering mengalami goncangan, dan malah beberapa pihak dibiarkan mencetuskan ide petisi untuk membubarkan MUI. Menurut Din, aksi 411 atau 212 merupakan reaksi dari umat Islam, demi melindungi MUI sebagai payung besar ormas-ormas Islam di Indonesia.
Din Syamsuddin mengaku prihatin atas berkembangnya tuduhan yang menyudutkan umat Islam. Utamanya tuduhan yang menyebut bahwa umat Islam anti kebhinnekaan.
"Muncul tuduhan seolah umat Islam itu anti kebhinnekaan. Yang dilakukan di 411 dan 212 itu reaksi atas anti kebhinekaan," kata Din dilansir RMOL.co.
Baca Juga: Aura Kekuasaan Jokowi Meredup, Ini Dua Indikatornya
Dia menegaskan, stabilitas dan harmoni Indonesia yang ada saat ini adalah karena tingginya rasa kebhinnekaan dan toleransi umat Islam.
"Stabilitas bangsa ini karena umat Islam. Secara historis perannya luar biasa," terangnya.
Mantan ketua umum PP Muhammadiyah itu juga menjelaskan, saat ini posisi umat Islam di kancah nasional tidak proporsional. Umat Islam tidak mendapatkan peran yang seharusnya.
Baca Juga: Tanda-Tanda Kiamat: Cuek, Tak Punya Malu, Orang Tak Pantas Ditokohkan tapi Ditokohkan
"Sekali pemerintah berpihak kepada pihak tertentu, di situ terjadi ketidakadilan," tandasnya.
Din menambahkan, saat ini umat Islam terkesan terpuruk dan itu dirasa tidak adil mengingat umat Islam adalah penduduk mayoritas di Indonesia.
"Terpuruk dalam bidang ekonomi yang dulu umat Islam memiliki kekuatan. Tapi sekarang dikalahkan kelompok kekuatan ekonomi yang mendapatkan privilege (keistimewaan)," kata Din.
Baca Juga: Selain Lagu Nasional, Inilah 10 Track yang Cocok Meriahkan HUT ke-78 Kemerdekaan RI
Padahal, kata Din, kelompok yang diberikan keistimewaan itu adalah kelompok yang memiliki kebencian terhadap umat. Hal itu terbukti dengan adanya ujaran kebencian yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Kepulauan Seribu beberapa waktu lalu.
"Membangkitkan ekonomi umat ini sangat sulit, tapi justru negara malah berpihak kepada mereka," ujarnya.
"Ketika umat Islam bereaksi, kemudian dituduh sebagai anti kebhinekaan dan radikal, bagi umat Islam itu adalah kekerasan verbal, menyakitkan dan pers juga tidak berkeadilan seolah yang anti kebhinekaan adalah umat Islam," sambung mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.
Baca Juga: RHP, Wasekjen PBNU: Stop Politik Identitas, Kedepankan Politik Gagasan
Menurutnya, apa yang dilakukan Ahok di Pulau Seribu adalah bentuk kekerasan verbal, anti kebhinekaan dan ujaran kebencian.
"Mohon dipahami, kekerasan itu tidak hanya fisik, tapi juga ada kekerasan verbal. Kalau ada media yang mendukung itu, namanya kekerasan verbal, kalau ada kekuatan ekonomi yang mendukung itu namanya capital violence, kalau negara mendukung itu namanya state violence," tandasnya.
Di sisi lain, Wasekjen DPP PDIP Ahmad Basarah menanggapi upaya fitnah dan adu domba dengan menggunakan isu SARA sebagai bentuk nyata adanya operasi politik untuk mengadu domba antara PDIP dan umat Islam.
Baca Juga: Pemerintah Harus Gunakan Booster Halal, Politikus Golkar: Melanggar Jika Abaikan Putusan MA
Tujuan operasi politik tersebut pasti bertujuan menghancurkan NKRI karena kalau golongan Islam dan Nasionalis berperang pasti yang akan hancur adalah NKRI.
Situasi ini, katanya, mirip jaman kolonial dulu di mana politik devide et impera atau politik pecah belah kekuatan bangsa Indonesia dipraktekan oleh kaum penjajah asing yang tujuannya agar kekayaan bangsa Indonesia dapat mereka kuasai.
"Oleh karena itu saya menghimbau kepada segenap komponen bangsa yang mencintai keutuhan NKRI agar terus meningkatkan kewaspadaan dan sikap siaga untuk menghadapi segala kemungkinan demi mempertahankan NKRI yang berdasarkan Pancasila," demikian kata Basarah. (rmol.co/republika.co.id)
Baca Juga: Tol Sumatera Butuh Rp 130 Triliun, Tapi Inilah Pelajaran Tol Suramadu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News