JOMBANG, BANGSAONLINE.com - Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Dr Ir Salahuddin Wahid (Gus Solah) menilai bahwa Nahdlatul Ulama (NU) selama ini tidak menghargai pendiri NU Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari yang akrab dipanggil Mbah Hasyim.
”Di NU Mbah Hasyim tak begitu dihargai, namanya memang disebut, tapi kurang dihargai. Tak ada satu pun universitas dengan nama Mbah Hasyim yang didirikan NU. Ini subyektivitas saya," kata Gus Solah saat meresmikan Pusat Kajian Pemikiran KH Hasyim Asy'ari di Aula KH Yusuf Hasyim Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur, Ahad (5/2/2017).
Baca Juga: Profil Mochammad Afifuddin yang Ditunjuk Jadi Plt Ketua KPU Gantikan Hasyim Asyari
Menurut Gus Solah, berbeda sekali dengan Muhammadiyah yang sangat menghargai KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. ”Banyak universitas yang didirikan Muhammadiyah dinamakan Universitas Ahmad Dahlan,” tegas cucu Mbah Hasyim itu.
Gus Solah bahkan mengungkapkan,ada tokoh NU yang menilai pemikiran Mbah Hasyim Asy'ari telah kadaluarsa alias out of date dan dianggap terlalu sederhana. "Waktu itu saya menjawab, Mbah Hasyim membuat rumusan Ahlussunnah wal Jamaah untuk konsumsi masyarakat. Jadi dibuat sangat sederhana, supaya mudah dipahami. Dan, alhamdulillah, itu mudah dipahami," ungkapnya.
Fakta bahwa pemikiran Mbah Hasyim mudah diterima, menurut Gus Solah, dibuktikan dengan jumlah anggota NU yang sangat besar. "Jadi, dari segi ilmu komunikasi, rumusan yang sederhana itu justru suatu keunggulan," tegas kiai yang juga menjabat Rektor Unhasy Tebuireng itu.
Baca Juga: Kiai Dihina Habis-Habisan, Kiai Wahab dan Kiai Chalim Minta Restu Hadratussyaikh Dirikan NU
Menurut Gus Solah, jasa Mbah Hasyim mulai dilupakan, terutama terkait dengan proses memadukan keislaman dan keindonesiaan. Baik pada proses penyusunan rumusan dasar negara, pembentukan Kementerian Agama, hingga sinkronisasi pendidikan nasional dan pendidikan Islam.
"Pak Wahid Hasyim yang berperan dalam proses-proses itu, adalah mewakili pemikiran Mbah Hasyim," ungkap salah satu putra KHA Wahid Hasyim ini.
Gus Solah menambahkan, sikap NU sebagai ormas Islam pertama yang menerima Pancasila secara resmi pada 1984 juga bagian dari sentuhan dan jasa Mbah Hasyim. Sebab, sikap NU itu didasarkan pada dokumen tentang hubungan Islam dan Pancasila yang ditulis oleh KH Ahmad Siddiq, yang merupakan salah satu santri Mbah Hasyim.
Baca Juga: Erick Thohir Jadi Ketua Pengarah Satu Abad NU
Lebih lanjut, Gus Solah menuturkan bahwa proses akomodasi substansi syariah Islam ke dalam sejumlah UU, seperti UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama, yang dipelopori oleh KH Bisri Syansuri dan KH Wahab Chasbullah, juga tidak bisa dilepaskan dari peran Mbah Hasyim. Sebab, keduanya juga santri beliau.
"Jadi, saya mengambil kesimpulan bahwa yang memadukan Islam dan Indonesia adalah Mbah Hasyim. Seandainya Kiai Ahmad Siddiq, Kiai Bisri Syansuri dan Kiai Wahab Chasbullah bukan santri Mbah Hasyim, mungkin akan lain ceritanya," tandasnya.
Perpaduan Islam dan Indonesia itu, menurut Gus Solah, saat ini sedang ada yang coba merenggangkannya. "Kalau sampai upaya untuk melonggarkan sendi-sendi itu terjadi, saya khawatir bangsa kita akan mengalami lagi turbulensi," ungkapnya.
Baca Juga: Ustadz Curang, Catut Kiai Hasyim Asy'ari Serang Maulid Nabi, Ini Jawaban Telak Cucu Hadratussyaikh
Untuk itulah, Pesantren Tebuireng mendirikan Pusat Kajian Pemikiran KH Hasyim Asy’ari.
Peresmian pusat kajian ini juga diisi dengan penyampaian Pesan Kebangsaan Pesantren Tebuireng. Dokumen berisi enam poin penting itu dibacakan langsung oleh Gus Solah di akhir acara.
Hadir dalam acara tersebut, mantan Menteri Agama Prof Dr KH Tolchah Hasan, direktur pascarasarjana UIN Jakarta Prof Dr Masykuri Abdillah. Juga wakil Rektor Unhasy Haris Supratno dan wakil pengasuh Pesantren Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz (Gus Kikin). (rom/rev)
Baca Juga: Alumnus Tebuireng itu Dekati Mantan Teroris dengan Ushul Fiqh
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News