Selain berkaitan dengan syiar Islam, masjid juga menjadi tempat penyimpanan sejumlah benda terkait dengan sejarah sebuah wilayah atau daerah. Di Masjid Agung Lamongan, anda bisa melihat dua buah gentong air terbuat dari batu yang diletakkan di kedua sisi gapura pintu masjid tersebut.
Konon gentong itu milik putri kembar kerajaan Kediri, Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi kala hendak melamar putra kembar Bupati Lamongan, Panji Laras dan Panji Liris. “Memang Masjid Agung Lamongan tidak lepas dari sejarah kerajaan-kerajaan masa lalu, misalnya kerajaan Kediri dan Kerajaan Majapahit,“ cetus anggota Tim Penggali Sejarah Masjid Agung Lamongan, Dedik Wijayanto kepada HARIAN BANGSA.
Baca Juga: Banyak Masjid di Indonesia Tak Terjaga Kesuciannya Gegara Ngepel Lantai Masjid Pakai Alat Pel WC
Konon, rencana pernikahan putri kembar kerajaan Kediri dengan dua putra kembar Bupati Lamongan itu dimaksudkan sebagai upaya Adipati Kediri menjalin koalisi dengan wilayah di pesisir utara Jawa. Niatan itu ditanggapi dengan bimbang oleh Bupati Lamongan, menerima ataukah menolak lamaran itu.
Bupati Lamongan lalu mengajukan tiga syarat, pertama, Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi harus mau memeluk Islam. Kedua, pihak keluarga mempelai wanita lah yang harus datang melamar kepada pihak keluarga mempelai pria. Ketiga, nantinya pihak mempelai perempuan harus datang dengan membawa hadiah berupa gentong air dan alas tikar yang kedua-duanya harus terbuat dari batu.
Singkat cerita, syarat itu dipenuhi oleh Adipati Kediri dan menyuruh kedua putrinya untuk datang melamar ke Lamongan, sehingga mau tak mau Bupati Lamongan akhirnya bersedia untuk melaksanakan pernikahan tersebut. Namun pernikahan akhirnya batal karena Panji Laras dan Panji Liris, putra kembar Bupati Lamongan menolaknya. Lantas terjadilah perang antara Kerajaan Kediri dan Kadipaten Lamongan.
Baca Juga: Ketua MUI Pusat: Masjid-Mushalla Jangan Dijadikan Tempat Kampanye Politik
Berdasarkan catatan sejarahnya, Masjid Agung Lamongan didirikan tahun 1908 didirikan oleh Mbah Yai Mahmoed d imana saat itu Lamongan dipimpin seorang adipati bernama Adipati Aryo Djojodinegoro. Masjid yang dibangun jugasebuah masjid yang tidak bisa dilepaskan dari tata ruang kota kala itu dimana alun-alun sebagai pusat dikelilingi oleh pusat pemerintahan, pusat keramaian, keamanan dan keadilan.
Banyak kendala saat pembangunan masjid ini mulai dari letaknya yang berdekatan langsung dengan sungai yang pasti kebanjiran saat sungainya meluap hingga dibongkar pasangnya pondasi menghadap ke kiblat hingga pendanaan yang memakan biaya cukup besar.
Tidak hanya itu untuk mendapatkan tiang pancang berupa kayu jati saat itu sangatlah sulit didapatkan. Namun atas petunjuk Sunan Ampel dan Sunan Giri diperolehlah empat tiang (cagak) tiga kayu jati dari Alas Asembagus, Situbondo dan satu dari Demak , Jawa Tengah.
Baca Juga: Fokus Kesejahteraan Jemaah, Pengurus DMI Kota Malang Gelar Studi Tiru ke Gresik
Dari model bangunan tentunya tidak jauh beda dengan masjid-masjid peninggalan Walisongo dengan bercirikan tiang (cagak) di tengah-tengah juga ada atap sirap, dinding papan kesemuanya dari kayu jati.
Bahkan pada tahun 70-an dibangunlah sebuah menara yang modelnya sama persis dengan masjid Qiblatain di Madinah itupun atas usulan Kiai Mastur Asnawi yang lama tinggal di tanah Arab.
Dan makamnya berada di utara masjid dimana makam auliya ada empat nisan yakni nisan Kiai Mahmoed, nisan kosong yang rencananya untuk istri kiai Mahmoed serta nisan Kiai Mastoer Asnawi dan nisan yang berisi peralatan pertukangan .
Baca Juga: Kutuk Serangan Israel di Masjid Al-Aqsa, NU Jatim Instruksikan Nahdliyin Baca Qunut Nazilah
Disamping itu kini masjid agung terus berbenah. Kalau dulunya pusatmasjid berada di empat tiang itu, kini diperluas ke barat masjid dengan pembangunan mimbar masjid serta teras masjid. Bahkan kini Masjid Agung Lamonganmenjadi kebanggaan warga Lamongan dengan pembangunan menara kembar setinggi 53 meter yang dinisbatkan pada usia nabi Muhammad SAW sewaktu melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News