SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Alokasi dana desa per 2017 berjumlah sekitar Rp 300 juta - Rp 500 juta. Namun ini tidak selamanya menggembirakan, karena ternyata membawa dampak yang luar biasa terhadap aparat desa.
Buktinya, puluhan aparat desa terjerat masalah hukum pidana akibat ditemukan adanya penyelewengan dan penyimpangan pengelolaan anggaran. Padahal, gagasan awal pemberian anggaran desa diharapkan dapat meningkatkan perekonomian di daerah pedesaan.
Baca Juga: Sosialisasi Penggunaan DD, ini Pesan Kajari Gresik pada Kades se-Kebomas agar Tak Korupsi
Ketua Komisi A DPRD Jawa Timur, Freddy Poernomo menegaskan sejak awal dirinya sudah memprediksi jika banyak aparat desa menjadi korban akibat tidak dapat mengelola keuangan desa dengan baik. Mengingat diklat yang digelar hanya beberapa hari tersebut, sulit merubah para Kepala Desa yang selama ini mindsetnya berpikir konvensional.
‘’Sejak awal saya sudah memprediksi jika akan banyak korban seiring dialokasikannya dana desa. Dan hal itu benar-benar terjadi, di mana banyak aparat desa yang digiring oleh aparat hukum dengan tuduhan korupsi yang berakhir pada tuduhan pidana,’’ tegas politisi asal Partai Golkar ini, Selasa (12/9).
Kondisi itu, diperparah lagi dengan tenaga pendamping yang rata-rata lulusan SMA, bahkan ada yang SMP. Artinya mereka ini belum mahir menjadi pendampaing khususnya soal administrasi keuangan desa. Padahal seharusnya tenaga pendamping adalah lulusan sarjana dengan background lulusan ilmu administrasi atau ekonomi.
Baca Juga: KPPN Salurkan TKD untuk Kabupaten Sidoarjo Senilai Rp2,4 Triliun
‘’Bukan kita mengecilkan arti lulusan SMA. Tapi seharusnya mereka yang menjadi pendamping adalah yang lulusan sarjana ilmu administrasi dan ekonomi. Dengan begitu mereka akan menguasai adminitrasi atau pengelolaan dana desa, sehingga penyelewengan anggaran dapat ditekan sekecil mungkin,’’ tambah Doktor ilmu hukum dari Universitas Airlangga (Unair) ini.
Ketua Harian DPD Partai Golkar Jatim ini mengkritisi Kementerian Desa karena tidak transparan dan fair dalam pencairan anggaran desa. D imana dana desa ini dibuat kepentingan politis. Tak heran terkadang antar desa dalam pencairan dana desa tidak sama.
“Seharusnya tidak boleh ada unsur politis dalam dana desa. Karena tujuan utama dana desa ini untuk kesejahteraan masyarakat desa,” imbuh politisi asal Bojonegoro itu.
Baca Juga: Desa Darmorejo Madiun Bagikan BLT DD untuk 43 KPM
Hal senada diungkapkan Anggota Komisi A DPRD Jatim yang lain, Benjamin Kristianto. Menurut politisi asal Partai Gerindra ini, seharusnya pemerintah menyediakan tenaga pendamping independen. Dengan begitu, nantinya tidak ada kongkalikong antara aparat desa dengan tenaga pendamping.
‘’Intinya selain mereka mendapingi sekaligus memberikan pelajaran bagaimana menyusun anggaran desa. Diharapkan dengan tenaga pendamping ini, tidak ditemukan lagi adanya penyimpangan yang dilakukan aparat pedesaan,’’ tegas politisi yang akrab disapa Dokter Benny tersebut. (mdr/rev)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News