BANGKALAN, BANGSAONLINE.com – “Re Sere Penang” adalah ‘meramal’ tingkah laku ketika masih balita, dengan media buah pinang dan sirih. Inilah salah satu budaya Madura yang masih bertahan di Desa Lajing, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan.
Re Sere Penang merupakan buah pinang yang digunakan sebagian simbol tingkah laku oleh masyarakat Madura. Usia dini merupakan masa yang paling rawan sekaligus masa yang paling menentukan bagi pembentukan jiwa dan kepribadian.
Baca Juga: Upacara Harjad ke-494 Kabupaten Pamekasan Hadirkan Ratusan Penari Topeng Getak dan Ronggeng
Maka dari itu penanaman nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat terutama yang berkaitan dengan adab sopan-santun, budi pekerti, norma-norma serta tata krama diperkenalkan sejak usia dini. Penanaman nilai-nilai tersebut dimisalkan dalam arti contoh nyata serta suri tauladan oleh generasi tua. Proses tersebut membutuhkan tahapan yang cukup lama dan perlahan agar bisa dimengerti oleh anak-anak.
Masyarakat Madura memiliki kebiasaan tersendiri untuk menanamkan norma – norma pada sikap setiap keturunannya. Cara berbicara pun memiliki tingkatan yaitu :
1. Engghi – Bunten merupakan tata krama berbicara yang paling halus atau paling sopan. Penggunaan bahasa ini biasanya dilakukan oleh orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua umurnya. Contoh: Ka’dinto bhantal sareng sapo’na, aghem ma’le sae asaren.
Baca Juga: Pertama Kali di Pamekasan, Gebyar Musik Daul se-Pulau Madura
2. Engghi – Enten merupakan bahasa yang campur antara halus dan kasar. Biasanya dilakukan kepada orang yang baru kenal. Contoh: Arman abekalan sareng sapah lek?
3. Enje’ – Iye merupakan bahasa yang kasar biasaya digunakan sesama teman atau seumuran. Bisa juga dilakukan kepada dari yang umurnya tua kepada anak yang lebih muda. Contoh: Iyak nasek ben jukok’eng se e kakanah.
Tingkah laku masyarakat Madura diandaikan dengan “Buah Pinang” yang tersirat dengan sebuah kalimat yaitu “Re Sere Penang atau Penanggah Penang Jambe” yang memiliki arti sirih-sirih pinang atau pinang pinangnya jambe.
Baca Juga: Puncak Dies Natalis, FIP UTM Targetkan Sekolah Musik di Madura
Daun–daun sirih dan pinang merupakan simbol sejoli yang tidak bisa dipisahkan. Karena keduanya dianggap sebagai manusia dan tingkah laku manusia. Sama seperti lirik yang konon masih dijadikan patokan sebagai kidung Madura atau ngijung, dengan kata lain, semacam mantera atau doa, yaitu :
Resere penang
Penangah penang jambe
Baca Juga: Diresmikan, Pamekasan Kini Miliki Rumah Budaya Pelestarian Keris
Maju kaka’, maju ale’
Pa bagus tengkana, lako becce’
Kalellan e ka’dinto
Baca Juga: Harga Pakaian Sakera-Marlena Naik Hampir 3 Kali Lipat, Diduga Akibat Surat Edaran dari Disdik
Artinya: Sirih-sirih pinang, pinangnya pinang jambe. Mari kakak, mari adek perbaiki tingkah laku. Berperilaku mulia, diridhoi lewat disini, diridhoi lewat disini.
Setelah anak menjelang dewasa dan diakui sebagai bagian anggota masyarakat, maka interaksi sosial dilakukan sebagai upaya membaurkan diri dengan lingkungan masyarakatnya. Interaksi sosial dilakukan juga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam proses interaksi tersebut dapat dilihat bagaimana kemampuan manusia menjalin hubungan yang baik, dikagumi, dihormati, disukai serta menyenangkan.
Nenek Tri (60) merupakan salah satu sesepuh yang mengajarkan juga tentang re sere penang kepada generasinya. “Madura itu menomer satukan tentang budi pekertinya. Apalagi pada jaman sekarang sudah lebih canggih. Re Sere Penang sudah ditanamkan sejak kecil supaya genrasi muda bisa menjadi generasi yang mengerti tentang norma-norma,” tutur nenek Tri selaku sesepuh.
Baca Juga: Tutup Gebyar Budaya Madura 2019, Kapolda Jatim Lepas Lomba Kerapan Sapi
Tak salah jika puisi lisa Re Sere memberikan sebuah gambaran bahwa kemuliaan manusia hanya dapat dilihat dan dipancarkan dari kepribadian dan budi pekerti luhur. Sebagaimana terungkap dalam kalimat “ Bagus tengkana, lako becce’ (bagus tingkahnya / berperilaku mulia). (Tari/UTM)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News