Terjemah Al-Ra’d: 21
Dan orang yang menghubungkan apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rab (Tuhan) mereka, serta mereka takutkan hisab yang buruk.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Tafsir
Ayat studi kemarin (19 dan 20), ayat kaji ini (21) dan satu ayat berikutnya (22) membicarakan sifat-sifat ulil albab yang jumlahnya ada sembilan, yakni: pertama, mampu memahami nasehat secara baik dan mengambilnya sebagai pelajaran. Dengan kata lain, ulul albab itu pribadi reflektif, tidak sekedar faham secara akal, tidak sekedar sadar dalam hati, tetapi dibuktikan juga dengan amal perbuatan. “ innama yatadzakkar ulul al-albab”.
Betapa banyak insan entertainment yang sudah mengerti kalau buka aurat, apalagi bergoyang erotis. Menebar maksiat di depan umum itu haram dan dosa yang meluas, tapi tetap saja dilakukan. Bahkan cenderung terus berkreasi menciptakan gaya goyangan yang khas dirinya sebagai matapenharian tetap. Lagi-lagi uang dan uang mengalahkan nurani keagamaan yang sejatinya ada di dalam diri. Mereka bukanlah termasuk kategori ulul albab seperti digagas ayat ini meskipun sering umrah, rajin mengaji di majlis taklim dan punya guru spiritual pribadi.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Kedua, orang yang memenuhi janji dan tidak melanggar. Ada janji yang wajib ditunaikan, yaitu janji atas perbuatan yang dibenarkan agama, seperti yang berhukum mubah atau sunnah. Janji menjalankan amal wajib, seperti shalat fardhu, zakat, haji itu tak berguna. Termasuk dalam ayat ini adalah sumpah pejabat, baik pejabat pemerintah maupun publik. Janji kepala pemerintahan dan anggota DPR seperti yang dijanjikan adalah utang.
Termasuk juga sumpah profesi atau janji akademik. Dokter yang melanggar sumpahnya sangat berdosa. Jangan enak-enak sarjana berikrar saat diwisuda, semua itu kelak dipertangungjawabkan. Sebagai insan yang dititipi ilmu oleh Tuhan sungguh dituntut memberi manfaat kepada umat dengan cara mengajar atau memberi nasehat agama. Tapi khusus insan akademik agak beda. Meski ke sana kemari mengajar, namun jika dia seorang profesor doktor, maka sepatutnya produktif juga dalam karya tulis ilmiah. Jangan sampai menjadi doktor yang tidak pernah menulis selain disertasinya sendiri.
Ketiga, punya integrasi dan kepedulian tinggi. “yashilun ma amar Allah bih an yushal”. Menyambung apa yang diperintahkan Allah untuk disambung. Arah ayat ini tertuju kepada sambung sanak saudara atau tali silatur rahim, begitu pendapat mayoritas mufassirin. Tapi tafsir aktual ini memilih makna lebih luas dari itu, berdasar gaya “umum al-lafdh “ yang nampak pada redaksi ayat kaji ini, yakni semua sektor kebajikan, “ Jami’ al-khairat”.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Artinya, kita diperintahkan punya hubungan dengan semua kegiatan agama sebisa kita jangkau. Itulah kepedulian atau integrasi seorang mukmin kepada agamanya. Semisal ada kegiatan bakti sosial, jamaah pengajian, panti asuhan, majlis ilmu, taman pendidikan al-Qur’an, pondok pesantren, usaha bisnis lembaga keagamaan dll., syukur-syukur bisa membantu dengan amal nyata, memberi sumbangan, menjadi pengurus dan sebagainya. Atau kenal, mengetahui keadaannya, aktifitasnya, berkomentar positif dll. Minimal memberi dukungan doa, bukan malah abai dan tidak mau tahu.
Tawaran Koalisi Partai Islam, Laku?
“Wa al-ladzin yashilun ma amar Allah an yushal”. Allah memerintahkan umat Islam menyambung, memadukan, mengintegrasikan segala yang diperintahkan Allah untuk disambungkan.Jadi, ada aturan Tuhan (ma amar Allah) yang diperintahkan untuk diintegrasikan (an yushal) dan ada yang tidak. Semisal famili, ada silaturrahim antara sanak saudara. Biasanya, kalau kerabatnya ada yang ternama, maka seseorang bangga mengakui. Tapi kalau rendahan, enggan mengakui.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Dalam agama, sengaja berbohong, bukan keturunan si Fulan, tapi ngaku-ngaku sebagai keturunannya, atau ada hubungan famili, tetapi tidak mengakui, maka berdosa dan Tuhan tidak merestuinya masuk surga. Tuhan tersinggung berat, karena Dialah Dzat yang menciptakan adanya garis nasab dan tidak. Mendustakan nasab sama dengan mengingkari garis ciptaan Tuhan.
Ibn Abbas R.A. memaknai sambung tali Allah ini dengan keimanan utuh yang menghubungkan antara keimanan kepada kitab suci al-Qur’an dengan pesan kitab-kitab samawi sebelumnyadan antara rasullullah Muhammad SAW dengan rasul-rasul sebelumnya. Jadi, keimanan itu tidak pernah beda dan nyambung antara konsep keimanan yang dulu dengan sekarang. Allah STW adalah Tuhan satu-satunya, sedangkan para rasul adalah para utusan-Nya sesuai zaman masing-masing. Tidak sama dengan agama lain, tiba-tiba nabi Isa A.S. dinobatkan menjadi Tuhan, di mana dulu-dulunya tidak pernah ada konsep macam itu.
Di sisi lain, ayat tersebut juga dimaknai sebagai terigrasinya keimanan dengan amal salih. Sebab antara keduanya saling terkait. Keimanan sejati pasti membuahkan amal salih dan amal salih lahir dari keimanan yang benar. Tidak sebatas itu, silaturrahim bisa bersifat regional,nasional ataupun internasional. Andai semua negara Islam di dunia ini mau bergabung dalam OKI, memperkuat persaudaraan, saling peduli dan saling membantu, maka negara barat pasti keder dan tidak berani semena-mena mengintervensi. Palestina-pun tak kan sesengsara sekarang.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Begitu halnya dalam politik. Sejatinya silatur rahim itu mulia. Tapi dalam silatur rahim politik harus punya kearifan khusus, karena politik punya pembacaan tersendiri. Contohnya silatur rahim ketua PPP pada kampanye partai Gerindra yang berdampak kisruh internal. Kisruh itu terjadi setelah suara PPP tak sesuai harapan, lalu dituduhkan bahwa salah satu penyebabnya adalah silaturrahim tersebut. Andai suara PPP naik memuaskan, mungkin sang ketua dipuji-puji.
Andai, -sekali lagi andai- PKS mempelopori silatur-rahim politik dengan bentuk koalisi partai-partai Islam. Dari sisi keagamaan, ide tersebut tentu sangat bagus dan islami. Berhubung gagasan tersebut muncul setelah suara partai dakwah itu terpuruk dalam pemilu legislatif 2014 kemarin, maka banyak pembacaan. Semua petinggi partai sudah sangat faham parihal moral PKS saat berkoalisi dengan partai pemerintah dan bisa mengambil pelajaran. Ini sekedar contoh, mudah-mudahan kita selalu diberkahi Tuhan lantaran amal bersilatur-rahim yang ikhlas, bukan karena terpaksa.
Khasy-yah dan Khauf
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Sifat ulul albab keempat dan kelima adalah takut kepada Allah “yakhsyaun rabbahum” dan takut terhadap perhitungan amal yang buruk, “ yakhafun su’ al-hisab”. Perbedaan sifat ini ada pada tekanan orientasinya. Takut (khasy-yah) kepada Allah sama dengan taqwa kepada Allah dengan titik tekan kepatuhan totalitas. Segala perintah Tuhan baik yang bersifat kewajiban (al-wajibat) maupun yang anjuran (al-mandubat) sebisa-bisanya dilakukan. Sedangkan segala larangan Allah, baik yang bersifat keharusan (al-mahrumat) maupun yang anjuran (al-makruhat) ditinggalkan.
Sementara sifat kelima (khawf), takut kalkulasi amalnya buruk. Untuk ini ada dua macam,: pertama, amal rutinitas dan parsial, seperti amal-amal baik pada umumnya, shalat, zakat, puasa, sedekah, nyambung sanak famili dll. Amal-amal ini bagus dan nampak sebagai amal akhirat, tapi tidak otomatis membuahkan pahala. Harus dilihat dulu dasarnya. Jika didasari dengan niat ibadah yang tulus karena Allah, maka dicatat sebagai ibadah berpahala. Kalau tidak, seperti ada unsur riya’, menarik simpati pemilih, dipuji orang, maka tidak berpahala. Mendingan amal yang kelihatannya kayak perbuatan duniawi biasa, seperti mencangkul, ke kantor, kerja di pabrik, mengais uang recehan di perempatan jalan tapi diniati ibadah mencari nafkah, lillahi ta’ala, maka menjadilah ibadah berpahala.
Kedua, takut totalitas amalnya nanti bernilai buruk, lebih banyak buruknya ketimbang amal baiknya. Nilai buruk (su’ al-hisab) inilah yang ditakuti oleh insan ulul albab. Untuk itu, pribadi ulul albab pada sifat ini selalu menata niat dalam segala gerak-geriknya. Setiap langkah mesti didasari ibadah lillahi ta’ala.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
Kata “khasyiya, yakhsya, khasy-yah” lazim dipakai untuk rasa takut kepada Allah, senada dengan kata “taqwa” dan “khauf”. Khasy-yah adalah rasa takut penuh haibah dan kharisma, sehingga menimbulkan rasa merinding terus-menerus dan penuh hormat. Itulah taqwa tingkat tinggi, dengan selalu merasa diawasi Tuhan. Tidak sama dengan kata “khauf” (takut) yang biasa dipakai untuk mengekspresikan rasa takut terhadap sesuatu yang ada di hadapannya. Seperti takut singa liar yang ada di depan mata. Kalau singa pergi, maka rasa takut sirna. Untuk itu, kata khasy-yah tidak dipakai untuk takut kepada singa, namun kata “khauf” bisa dipakai untuk membahasakan takut kepada Allah. Sebab ada orang yang hanya saat sedang mood dan ingat Allah saja, maka timbul khauf. Saat-saat biasa, dia liar dan tidak ada rasa “khauf” apa-apa.
Bisakah Hapus Dosa dengan Amal Salih?
Sifat ulil albab yang kesembilan adalah: “yadra’un bi al-hasanah al-sayyi’ah”. Menghalau keburukan dengan kebajikan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Dua Nabi, Bapak dan Anak
Ada dua tehnik dalam kerja sifat ini: pertama, bersifat protektif, yaitu selalu membentengi diri dengan aktif melakukan amal-amal bagus demi menghalau perbuatan buruk yang akan ada; kedua, bersifat kuratif, penanganan, penyelesaian,yakni selalu bertaubat jika telah melakukan perbuatan maksiat.
Tentu yang pertama yang terbaik. Dan resep ampuh untuk menghindar dari maksiat yang disajikan di depan mata adalah istighfar, istighfar dan istighfar secara sungguhan, lahir dan batin.
Sedangkan yang kedua memang langkah lumayan, tapi ada resiko. Dikhawatirkan Tuhan tidak menerima tobat kita karena berbagai pertimbangan, antara lain :
Pertama, kita sering banget melakukan perbuatan maksiat dan sering pula bertobat. Cuma gaya tobatnya kurang totalitas, sehingga kayak main-main dan menyepelekan. Orang yang bertobat macam begini ini, kaum sufi menamainya dengan sebutan “al-mustahzi’”, mempermainkan Tuhan. Seperti lagak orang munafik yang mengaku beriman ketika bergaul dengan orang-orang mukmin, tapi mencibir ketika lepas dan bergaul dengan teman-temannya sesama kafir.
Kedua, volume dosanya sangat besar dan kualitasnya sangat tengik sementara nilai pertobatannya biasa-biasa saja sehingga tidak mengimbangi. Ibarat utang yang berjumlah milyaran, tapi kemampuan membayarannya cuma beberpa juta saja.
Meskipun Tuhan maha pengampun, tapi kita mesti tahu diri. Kalau kucuran ampunan terlalu banyak, maka wajar bagi Tuhan mempertimbangkan pengampunan total.
Artis yang membagi-bagikan sedekah bulan ramadan kepada fakir miskin itu bagus. Tapi berapa persen yang dibagikan dibanding kekayaannya yang didapat dengan cara menjual maksiat.
Penyanyi erotis boleh berkali-kali umrah ke tanah suci dan sesekali tampil berkerudung, itu bagus, bagus sekali. Tapi tidak terbukti kalau dia sudah bertobat. Buktinya, masih goyang erotis lagi, berkoget ala pelacur lagi, buka aurat lagi di hadapan umum. Bergoyang maksiat macam itu bukanlah kerja halal menurut syariah islam.
Untuk itu, kita ditunutut menghitung-hitung amal kita sendiri sebelum dihitung Tuhan, kira-kira cukupkah sebagai modal terhindar dari neraka dan diperkenankan menikmati surga.
Seperti dilakukan oleh sayyidina Utsman ibn Affan. Suatu hari mencoba menghitung-hitung amal pribadi yang diandalkan bisa mengantarnya masuk surga. Antara lain, dia sebagai menantu nabi.
Mosok, dipilih Nabi menjadi menantunya hingga dua kali kok nggak masuk surga. Kedua, promotor penulisan mushaf al-Qur’an, mensedekahkan sebagian besar kekayaannya di jalan Allah, dan lain-lain.Kita?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News