Mengubah Jenis Kelamin Bayi degan Doa

Terjemahan Surat Al –Ra’d : 38 dan 39

Tafsir

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Bahasan pada ayat ini tidak dimaksudkan untuk mempersoalkan status keluarga dua calon presiden kita, pak Prabowo dan pak Jokowi. Kita sama-sama mengerti bahwa pak Prabowo tidak punya istri dan pak Jokowi punya istri. Topik pada ayat kaji ini hanyalah kebetulan membahas para utusan Allah yang notabenenya manusia biasa, punya keluarga, istri, anak, mertua dan sebagainya.

Ayat ini turun disinyalir karena ada cemoohan dari orang-orang Yahudi terhadap diri nabi Muhammad AS yang punya banyak istri. Mereka mencemooh : ”Baru kali ini kami melihat ada seorang nabi yang di kepalanya terpenuhi nafsu seks melulu, hingga mengoleksi banyak wanita. Jika dia nabi beneran, maka pastilah sibuk dengan urusan tugas kenabian dan tidak sibuk ngurus perempuan siang malam”.

Kemudian ayat ini turun menegaskan, bahwa para Rasul terdahulu juga punya istri, anak dan keluarga. ” Wa ja’alna lahum azwaja wa dzurriyyah”. Lalu kenapa kalian mempersoalkan hal ini, apa itu perlu?.Selanjutnya Tuhan menegaskan, bahwa Rasul itu diutus untuk tugas mulia, menyampaikan pesan agama dan tidak satupun ada ayat suci yang disampaikan kepada publik kecuali atas izin Allah SWT.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Inilah yang utama, inilah yang paling pokok, yaitu tugas mengemban amanah sebaik-baiknya, bukan menyoal istri dan keluarga.

Memang, mayoritas para rasul berumah-tangga, punya keluarga, istri dan anak. Ada yang dikaruniai anak serba kembar, laki dan perempuan seperti pasangan nabi Adam A.S. dan ibu Hawwa. Hal itu untuk mempercepat pertumbuhan penduduk bumi. Ada yang dikaruniai anak laki-laki semua, seperti nabi Ya’qub A.S., ada yang perempuan semua seperti nabi Luth A.S. dan ada nabi yang tidak atau belum sempat menikah seperti nabi Isa A.S. dan nabi Yahya A.S. Nabi Isa dievakuasi ke langit saat digerebek para penjahat Yahudi dan nabi Yahya mati dibunuh secara sadis oleh kaumnya sendiri.

Ayat ini menyiratkan pesan agar umat Islam yang sudah berkelayakan harusnya menikah, seperti dicontohkan oleh para rasul. Perbuatan rasul adalah keteladanan sekaligus syari’ah yang mesti dipatuhi, karena pasti membuahkan amal terbaik. Debat ulama fikih soal hukum nikah telah terbukukan, dari yang mewajibkan dan yang mensunnahkan. Menikah adalah ibadah, menikah adalah menunaikan separo agama, menikah adalah benteng ketaqwaan dan sebagainya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Kini persoalannya adalah, apakah pemimpin itu harus berkeluarga, harus punya istri ?. Allah a’lam. Rasanya Ulama fikih tidak mensyaratkan seorang pemimpin harus beristri. Andai ada yang mensyaratkan demikian, itu pasti sangat subyektif dan pribadi, bukan sebuah kesepakatan atau hasil konsensus akademik.

Meski diakui bahwa- dari sisi kerumahtanggaan, pemimpin yang beristri lebih lengkap ketimbang yang tak punya istri, namun hal itu sebatas sisi kekeluargaan belaka. Sementara titik tekan dari kepemimpinan adalah keamanahan bertugas dan bertanggungjawab.

Seolah ayat ini mengingatkan, bahwa soal beristri dan tidak sungguh tak elok dijadikan bahan kampanye hitam, karena sangat tidak signifikan. Keluarga pemimpin tak mutlak berkonotasi positif. Bisa jadi, pemimpin yang bagus menjadi tidak bagus karena dipengaruhi oleh istrinya yang tidak bagus. Para makelar politik dan pengusaha hitam boleh tak mampu menyentuh meja kerja presiden, tapi lihai menyelinap masuk lewat dapur istana dan bernego-nego di sana.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Mengubah Jenis Kelamin Bayi degan Doa

Ayat nomor 38 bertutur tentang jawaban Tuhan terhadap orang-orang yahudi yang usil mempersoalkan pribadi nabi Muhammad SAW yang puya banyak istri. Kerasulan bukan persoalan beristri dan tak beristri, melainkan lebih pada komitmen mengemban amanah risalah secara bagus dan optimal. Kemudian, ayat tersebut ditutup dengan statemen pendek: ”li kull ajal kitab”. Segala sesuatu itu ada dalam keputusan Allah dan telah ditentukan waktunya.

Bertolak dari penutup ayat tersebut, ayat studi 39 ini memperluas bahasan dengan menunjuk kebebasan Tuhan berbuat apa saja yang Dia kehendaki, mau meniadakan sesuatu atau menetapkan, “Yamhu Allah ma yasya’ wa yutsbit”. Hal itu karena ekskusi final (umm al-kitab) ada di tangan-Nya. “ wa ‘indah umm al-kitab”. Dari pitutur ayat ini menyisakan pertanyaan, apakah takdir Tuhan bisa ubah? Apakah sesuatu yang telah ditetapkan Tuhan itu masih belum pasti realisasinya? Dan persoalan lain yang senada dengan itu. Di kitab-kitab tauhid memang ada penjelasan soal takdir, soal qadha', baik yang mubram (tak berubah) dan yang mu'allaq (bisa berubah). Tapi kita sama sekali tidak mengerti mana yang dimubram Tuhan dan mana yang diberi peluang mu'allaq. Bisa ngerti lebih jelas kalau sudah kejadian. Kita tak membahas ini.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Terkait ayat ini, amatlah menggelitik doa yang sering diucapkan oleh Abdullah ibn Mas’ud,: “Ya Tuhan, jika Engkau telah menetapkan aku sebagai hamba-Mu yang beruntung, maka tetapkanlah keputusan-Mu itu. Tapi jika Engkau telah menetapkan aku sebagai hamba-Mu yang celaka, maka hapuslah keputusan-Mu itu, lalu ubahlah dan tetapkan aku menjadi hamba-Mu yang beruntug. Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu dan di tangan-Mu ada umm al-kitab”. Hal senada juga pernah diucapkan oleh Umar ibn al-Khattab, ketika thawaf mengelilingi baitullah. Umar berucap doa itu sambil menangis dan memohon ampunan.

Lebih radikal dari itu adalah doa Malik ibn Dinar, seorang sufi terpandang di zamannya. Alkisah, ada seseorang perempuan sedang hamil tua dan menurut terawangan para dukun bayi setempat, si bayi dalam kandungan itu berjenis kelamin perempuan. Wanita itu tidak suka dan sangat berharap sang bayi lahir berjenis kelamin laki-laki. Galau dan rindu, lalu datanglah dia ke hadirat tuan guru, Malik ibn Dinar mengadukan persoalan jenis kelamin bayinya dan berharap punya anak laki-laki. “mohon tuan guru mendoakan untuk hajat kami ini, doakan si bayi berjenis kelamin laki-laki”. Ibn Dinar mengabulkan dan berdoa: ”Ya Tuhan, jika bayi di dalam perut wanita ini berjenis kelamin perempuan, maka ubahlah menjadi berjenis kelamin laki-laki. Engkau mahabisa menghapus sesuatu dan menetapkan sesuatu sesuai kehendak-Mu. Ditangan-Mu ada umm al-kitab”.

Inilah dalil, inilah ayat al-Qur’an yang tak pernah bohong. Inilah ajaran, betapa berdoa itu sangat penting. Betapa doa itu sangat sakti. Betapa Tuhan itu serba Mahabisa, tak ada yang tak bisa bagi-Nya. Bisa mengubah ketetapan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri. Yang ada bisa menjadi tiada dan yang tiada bisa menjadi ada. Dia punya kewenangan mutlak, baik dengan pertimbangan atau tanpa pertimbangan. Inilah solusi ilahiyah saat kita menghadapai masalah. Beroda, dikabulkan atau tidak dikabulkan adalah urusan Tuhan. Yang pasti, berdoa itu ibadah berpahala.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO