Memberi tak harus kaya. Tak harus jadi hebat. Juga tak harus jadi pegawai negeri. Modalnya, cuma hati! Hati yang luas untuk berbagi.
Hati yang lembut untuk mengasihi. Juga, hati yang lapang. Setelah itu, Allah will paid, what you've done.
Baca Juga: ODGJ pun di Kota Kediri Kini Haru Miliki KTP-El, Begini Kisah dan Caranya Petugas Perekaman
--
Itu prinsip teguh Liana. Begitu pun perhatiannya kepada penderita gangguan jiwa. Programnya, mulai terespon. Target penurunan angka cedera dan relaps, melalui pelayanan jiwa terpadu dan berkelanjutan, mulai menampakkan hasil.
Dengan timnya, Liana pun mulai mengekspansi programnya: membentuk kader jiwa tiap desa. Awalnya, hanya tiga orang tiap desa. Kini, kader itu menjadi lima orang di tiap desa. Sementara wilayah kerja Puskesmas Dongko, ada lima desa. Total kader jiwa; 25 orang.
Baca Juga: 6 ODGJ di Kabupaten Blitar Dibebaskan dari Pasungan
“Kami dibantu program lain, seperti Prokesmas dan Promkes. Semua program itu diintegrasikan dengan kegiatan di Puskesmas Dongko. Setiap kegiatan di Puskesmas Dongko, kami share di youtube, facebook Puskesmas maupun facebook pribadi. Sekarang, semua pegang Medsos. Semua informasi mudah diakses,” ujarnya.
Dari situ, informasi pun mengalir. Termasuk, jumlah penyandang gangguan jiwa atau ODGJ. Di wilayah kerja Puskesmas Dongko, penderita ODGJ berat, tahun 2015 sebanyak 54 orang. 2016, naik menjadi 57 orang. Tahun lalu, naik lagi menjadi 115 orang. Dan hingga Juli tahun ini, jumlahnya naik menjadi 156 orang.
Melihat fenomena itu, tim ODGJ harus bekerja keras. Juga siap dipanggil 24 jam. “Suami serta anak-anak saya, sangat mensupport. Kami sering dipanggil malam hari, karena mungkin pasien telat minum obat sehingga kambuh,” katanya.
Baca Juga: Kebakaran di Srengat Blitar Telan Satu Korban Tewas, Diduga Akibat Korsleting
Liana punya pengalaman menarik soal itu. Ketika merawat pasien ODGJ berusia 34 tahun yang tengah hamil. Dia tak boleh minum sembarang obat karena hamilnya. Inilah yang menyebabkan pasien itu selalu kambuh saat hamil, karena berhenti minum obat.
“Kami melakukan perawatan ekstra. Tiap hari ke rumahnya. Setelah melahirkan, kami baru bisa memberikan obat. Alhamdulillah, bayinya lahir selamat. Sekarang usianya lima bulan. Ini anak ketiga. Anak pertamanya sudah lulus SMP,” ceritanya.
Tak hanya membentuk kader. Liana bersama timnya, juga membetuk posyandu ODGJ. Tim itulah yang memberikan terapi kelompok; mengasah otak, mengasah kemampuan, dengan merangsang permainan agar penderta mau bergabung dengan temannya.
Baca Juga: Tunawisma Ditemukan Meninggal Dunia di Taman Pembatas Jalan Dekat JPO Terminal Bungurasih
“Tiap pulang, pasien juga kami beri pekerjaan rumah. Harus dikerjakan sendiri, agar ada kegiatan. Jangan sampai bengong. PR itu berupa keterampilan. Kami juga mengganti biaya yang dikeluarkan untuk membuat keterampilan itu,” ungkapnya.
Liana berharap, ada posyandu ODGJ di tiap desa. Karena posyandu hanya ada di Puskesmas induk. “Kami sudah mengajukan permintaan di Puskesmas. Semoga ada rawat inap untuk ODGJ. Karena pasien kami lumayan banyak, jika terjadi relaps sewaktu-waktu, dengan tenaga kami 24 jam agak kesulitan. Kalau ada rawat inap ODGJ kami bisa meng-cover,” harap dia.
Soal prestasinya sebagai tenaga kesehatan teladan, Liana menganggap itu hanya bonus. “Saya melakukan dengan tulus, selain menjalankan tupoksi. Saya merasa tergugah ketika melihat ODGJ. Slogan kami; jangan panggil dia gila. Dia adalah aku.”
Baca Juga: Bhabinkamtibmas Sidomulyo Kediri Dampingi Posyandu Jiwa Taman Gembira untuk Penderita ODGJ
Kepala Puskesmas Dongko dr Singgih Wahyudi Priyo Utomo mengakui, program Posyandu jiwa perlu mental mental luar biasa. Dia hanya bisa mensupport tenaga, pendanaan, dan fasilitas. “Untuk pasien ODGJ tidak bisa berjalan sendiri. Harus ada komitmen dari keluarga, lingkungan, kadernya dan petugasnya,” pungkasnya. (mid/rev)
(Liana bersama tim dan Kepala Puskesmas Dongko)
Baca Juga: Khofifah Kader Ideologis Gus Dur, Loyalitas tanpa Batas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News