>>>>>> Rubrik ini menjawab pertanyaan soal Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan pembimbing Dr. KH. Imam Ghazali Said. SMS ke 081357919060, atau email ke bangsa2000@yahoo.com. Jangan lupa sertakan nama dan alamat. <<<<<<
Pertanyaan:
Baca Juga: Saya Dilamar Laki-Laki yang Statusnya Pernah Adik, Keluarga Melarang, Bagaimana Kiai?
Mohon pencerahan Kiai. Kalo terjadi perceraian dan ada perjanjian di atas kertas bermaterai Rp 6.000, pihak perempuan tidak akan minta biaya hidup utk dia dan anak jika anak ikut ibunya. Rumah tangga itu punya anak satu ikut ibunya yang menggugat cerai dengan bantuan pengacara. Padahal, pihak laki-laki tidak mau bercerai tapi kalah dalam sidang di PA. Anak laki laki tersebut sekarang klas 6 SD. Sekarang ayahnya tidak membiayai hidup karena sudah ada perjanjian. Salahkah (dosakah) bapaknya karena tidak membiayai hidup anaknya? Terima Kasih. (Edimartanto, yogyakarta)
Jawaban:
Perceraian seperti ini dalam istilah syariat dinamakan sebagai khulu’ (gugatan cerai). Karena perceraian ini diajukan dari pihak istri, bukan dari pihak suami. Sebab pada dasarnya yang mempunyai kuasa menceraikan adalah suami, makanya disebut dengan thalaq (perceraian). Khulu’ itu sendiri memiliki arti melepaskan atau menanggalkan ikatan pernikahan, yang mempunyai dampak; pertama, kewajiban istri untuk mengembalikan semua mahar yang telah diberikan oleh suami; kedua, tidak diperkenankan kembali menikah walaupun sang istri sudah menikah lagi.
Baca Juga: Istri Tak Penuhi Kebutuhan Biologis, Saya Onani, Berdosakah Saya?
Khulu’ atau gugatan cerai dari istri itu dijelaskan di dalam Al-Quran:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’. (Qs. Al-Baqarah: 229)
Baca Juga: Rencana Nikah Tak Direstui karena Weton Wanita Lebih Besar dan Masih Satu Buyut
Ayat ini menjelaskan bahwa dalam perceraian, suami tidak diperbolehkan untuk mengambil kembali maharnya yang telah diberikan kepada istrinya, jika perceraian itu dikehendaki oleh Sang Suami. Namun, mahar itu boleh dikembalikan kepada suami jika Sang Istri sendiri yang menceraikan, bukan diceraikan, dalam istilah lain gugatan cerai.
Peristiwa ini juga pernah terjadi pada masa Rasul. Sebuah hadis yang dilaporkan oleh Ibnu Abbas ra mengatakan:
"Sesungguhnya istri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mencela suamiku (Tsabit) dalam hal akhlaknya maupun agamanya, akan tetapi aku benci kekufuran (karena tidak mampu menunaikan kewajibanku sebagai istri) dalam Islam". Maka Rasulullah SAW berkata padanya: "Apakah kamu mengembalikan kebun (mahar) suamimu? Wanita itu menjawab: "Ya". Maka Rasulullah SAW berkata kepada Tsabit: "Terimalah kebun tersebut dan ceraikanlah ia 1 kali talak". (Hr. Bukhari).
Baca Juga: Hati-Hati! Seorang Ayah Tak Bisa Jadi Wali Nikah jika Anak Gadisnya Hasil Zina, Lahir di Luar Nikah
Nah, inilah yang terjadi dalam pertanyaan Bapak di atas, yaitu khulu’ (gugatan cerai) bukan talaq (perceraian) seperti biasanya. Kasus seperti ini biasanya suami tidak menghendakinya, tapi istri menggugat ke Pengadilan Agama, maka terjadilah perceraian itu. Sebagai gantinya suami dapat mendapatkan maharnya kembali.
Nah, jika Sang Suami menolak, hakim dapat memutuskan khulu’ itu demi kebaikan mereka berdua, apalagi sudah jelas kedhaliman suami kepada istri (semisalnya). Hal ini mirip dengan putusan rasul kepada istri Tsabit di atas.
Namun, jika suami meminta lebih dari mahar sebagai syarat gugatan cerai, hal ini bisa ditolak melalui hakim di Pengadilan Agama. Namun, jika syarat itu sudah disetujui oleh Sang Penggugat (Istri) dan disahkan oleh hakim, maka suami boleh tidak membiayai putranya atas dasar perjanjian dan persyaratan tadi di atas. Sebab suami tidak menghendaki perceraian itu, istri-lah yang memaksa untuk menggugat dan menyetujui persyaratan itu. Hal ini sangat berbeda dengan perceraian dari pihak suami, maka ia wajib memberikan nafkah kepada mantan istri dan anaknya, apapun kondisinya itu.
Baca Juga: Bagaimana Hukum Mintakan Ampun Dosa dan Nyekar Makam Orang Tua Non-Muslim?
Hanya saja ini hukum fiqihnya saja. Namun, menurut kewajiban sebagai seorang ayah, ia tetap melekat berkewajiban memberikan nafkah kepada istri dan putranya itu, tidak terputus dengan adanya khulu’ dan persyaratan di atas. Hati nuraninya pasti tetap ingin memberikan nafkah itu kepada (terutama) anaknya tersebut. Walllahu a’lam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News