Aswaja, dari Islam Tradisional ke Islam Kosmopolitan

Aswaja, dari Islam Tradisional ke Islam Kosmopolitan M. Mas'ud Adnan

Kita boleh saja marah terhadap pandangan komunis itu. Tapi kita juga harus sadar bahwa agama bukan semata untuk kognitif tapi juga behavioral.Karena itu dalam membahas penguatan politik Aswaja dan Rahmatan Lil alamin ini saya sengaja mengambil studi kasus tentang kepemimpinan Gus Dur agar diskusi kita kongkrit. Apalagi faktanya Gus Dur inilah salah tokoh yang akrab dengan kita yang bisa kita jadikan contoh model dalam kasus Aswaja. Jadi kita berusaha untuk membumikan aswaja.

Kita semua paham bahwa Aswaja merupakan hasil formulasi para kiai Nahdlatul Ulama (NU). Dan NU sendiri lahir karena tiga faktor sejarah besar.

Pertama, faktor ancaman internasional, yaitu peristiwa kudeta yang dilakukan Abdul Aziz Ibnu Sa’ud terhadap penguasa Mekkah Syarif Husain (penganut Islam moderat). Ibnu Sa’ud ini berkolaborasi dengan ulama puritan yaitu Muhammad ibn Abdil Wahhab ibn Sulaiman an- Najdi yang dalam banyak sisi keagamaan bertentangan dengan paham keislaman kiai-kiai pesantren di Indonesia.Wahhabbukan hanya puritan tapi juga dogmatis dalam memahami Islam. Wahhab juga terkenal keras bahkan mengancam keyakinan penganut Islam tradisional dalam beribadah di tanah suci Mekkah.

Ajaran Abdil Wahhab inilah yang kemudian menjadi agama resmi pemeritnah Arab Saudi ketika Ibnu Saud berkuasa hinggga sekarang. Pengikut Abdil Wahhab ini kemudian disebut Wahabi. Sampai kini gerakan Wahabi ini makin terasa, terutama di Indonesia.

Kedua, faktor ketidakadilan Serikat Islam (SI) dan Muhammadiyah yang memiliki pemahaman berbeda dengan golongan ulama-ulama pesantren.Saat Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah dan mau menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, mendapat sambutan dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, bahkan kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah. Kiai Wahab didampingi Shaikh Ghanaim al-Misri (Mesir, ia kemudian diangkat sebagai Mustasyar NU) dan KH Dahlan Abdul Qohar (pelajar Indonesia yang berada di Makkah)

Ketiga, faktor nasionalisme.Sebelum RI merdeka, para pemuda di berbagai daerah mendirikan organisasi bersifat kedaerahan, seperti Jong Cilebes, Pemuda Betawi, Jong Java, Jong Ambon, Jong Sumatera, dan sebagainya. Tapi, kiai-kiai NU justru mendirikan organisasi pemuda bersifat nasionalis. Pada 1924, para pemuda pesantren mendirikan Syubbanul Wathon (Pemuda Tanah Air). Organisasi pemuda itu kemudian menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) yang salah satu tokohnya adalah pemuda gagah, Muhammad Yusuf (KH M. Yusuf Hasyim -Pak Ud). (bersambung)

M Mas'ud Adnan, direktur HARIAN BANGSA, alumnus pesantren Tebuireng dan pascasarjana Unair

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO