Menakar dan Menalar Kebutuhan

Menakar dan Menalar Kebutuhan Muchammad Toha.

Oleh: Muchammad Toha*

Terlalu pagi saya mendarat di Bandara Hang Nadim, karena untuk sampai di Batam tanpa transit di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng Jakarta dapatnya pesawat pagi. Maka, cukup alasan hotel untuk tidak memberikan kamar pada saya. Bahkan, panitia penyelenggaranya juga belum datang. Maka kami dengan beberapa kawan yang datang kepagian memutuskan untuk berjalan jalan sebagai pengisi kekosongan kegiatan. Tujuan kami acak saja karena memang tidak ada agenda khusus hendak menuju ke mana. Singkatnya, sampailah kami di daerah Nagoya, terlihat deretan pertokoan yang sebagian besar memasarkan aneka tas serta dompet pria atau wanita, ikat pinggang, sepatu, parfum, jam tangan dan beberapa barang elektronik lainnya.

Baca Juga: Pengkhianat, Waktumu Sudah Habis

Kami masuk ke salah satu toko agak besar dengan arsitektur lumayan indah. Saat di dalam, saya melihat aneka model dan warna tas yang dipamerkan. Seorang perempuan belia berkulit sangat putih dibandingkan ukuran warna kulit pada umumnya penduduk Indonesia menghampiri saya dengan bahasa dan intonasi khas seorang pedagang. Ia menunjukkan sebuah tas wanita warna merah jambu berhias logam keemasan pada pelipitnya yang cukup berkilau sembari menjelaskan pada saya bahwa tas yang ditunjukkan pada saya adalah model terbaru dengan harga cukup miring dengan menyebut angka dua juta setengah. Tergolong orang yang tidak maju saya bilang, “kenapa harganya tinggi?”. Perempuan putih tadi meyakinkan saya, “tas ini sangat murah pak, mereknya hermes, aslinya ratusan juta”. Maka saya bertanya lagi, “jadi tas ini kawe ya?”, langsung tangkas menjawab perempuan yang terus mendekat ke saya itu, “bukan pak, di sini tidak ada kawe, ini premium, yang ada di sini produk premium”. Walaupun dengan berapi-api dia menjelaskan, tetapi saya juga belum benar-benar paham tentang apa maksud produk premium.

Berangkat dari harga tas, sekilas saya berpikir ternyata daya beli masyarakat Indonesia ternyata tidak rendah. Tas-tas mahal pun tetap ada pembelinya. Bahkan penjaga toko itu sambil meledek saya, “Bapak kurang mengikuti berita ya, tas Syahniri itu harganya miliaran”. Ternyata tas bukan saja hanya sarana untuk membawa barang barang keperluan saja, tapi lebih dari itu, menunjukkan status seorang pembawanya. Bagi orang macam saya, tas jatah ketika mengikuti diklat, sarasehan, dan seminar, sudah terlalu cukup untuk dibawa ke mana-mana. Namun bagi yang senang membeli tas mahal juga bukan hal yang salah, karena ada pepatah dalam Bahasa Jawa “ono rego ono rupo" yang artinya "ada harga ada rupa” sehingga yang senang harga mahal tentunya orientasinya pada baiknya kualitas.

Sebaliknya, ada juga orang yang berpikir praktis dan irit untuk membawa benda-benda ketika bepergian dengan tidak usah pakai tas mahal dan melihat merek, yang penting manfaatnya dan bisa mengamankan barang miliknya. Serta, tidak repot membawanya. Maka tidak heran bila di kalangan masyarakat tertentu dahulu kita saksikan membawa bursak bila bepergian atau berbelanja ke kota. Kendatipun, sekarang pemandangan orang membawa bursak ketika bepergian relatif jarang kita temukan, dan tentunya bagi kalangan muda sekarang melihat bursak adalah sesuatu yang aneh dan memalukan. Bahkan dengar namanya saja baru sekarang ini. Begitu sederhana bursak ini, karena bahannya berasal dari bekas karung tepung warna putih yang ujungnya dilengkapi tali dari kain yang dipasang menyerupai tali celana kolor untuk membuka dan menutupnya. Tanpa merek apapun, bursak ini yang kelihatan hanya gambar segitiga warna biru pada bagian tengah bursak, dan gambar itu tidak lain adalah merek tepung terigu yang paling populer di waktu itu.

Baca Juga: Kejam dan Rakus, Pengusaha Sarang Burung Walet Rampok Rumah Pasangan Mau Kawin

Dulu mendapatkan bursak ini tidak susah karena masyarakat masih banyak yang menggunakan. Cukup datang saja di pasar tradisional atau beli saja di toko pracangan yang menjual beras atau tepung, karena umumnya masyarakat saat itu membeli tepung secara eceran, sehingga karung tepungnya dapat dijual sebagai tambahan laba penjualan. Pada zaman itu, orang bepergian membawa bursak sudah biasa, berangkat ke pondok pesantren, mengunjungi keluarga, atau hadir di acara acara yang memerlukan perbekalan. Seperti hadir di pengajian umum di tempat yang agak jauh, bursak ini hampir selalu dibawa. Karena benda ini juga bisa digunakan untuk mewadahi sandal ketika pelaksanaan kegiatan harus lepas alas kaki. Sungguh simpel dan sederhana sekali bursak ini. Dan jika kembali acara tidak ada barang yang dibawa pulang, maka bursak dapat dilipat dan dimasukkan saku.

Pengguna bursak ini cukup fleksibel, bisa laki laki atau perempuan. Yang membedakan adalah cara membawanya. Kalau perempuan biasanya digendong dengan selendang di belakang bila bursak berisi penuh, sebaliknya bursak di gendong dengan selendang di depan bila isinya tidak penuh, ringan, atau di dalamnya adalah barang-barang berharga. Sedangkan cara membawa kaum laki-laki biasanya bursak disunggi (dipanggul di pundak) sambil dipegangi tangan kanan atau kiri. Pemandangan sering disaksikan adalah bursak dipanggul di pundak kiri sambil dipegangi tangan kiri, tangan kanan menenteng ikatan nanas, petai, atau kiso (anyaman daun kelapa berbentuk tas) untuk membawa ayam dalam kondisi hidup.

Kenapa begitu sederhananya tas yang berupa bursak digunakan oleh sebagian masyarakat waktu itu? Atau mungkin juga bursak ini masih digunakan masyarakat pinggiran macam etnis Badui dalam. Kiranya alasan yang mungkin dan mudah adalah karena si pemakai tidak memburu gengsi, tapi hanya mendahulukan fungsi, sehingga yang muncul dibenak pemakai, kalau dengan bursak barang dapat dibawa, kenapa harus pakai tas mahal-mahal, toh fungsinya sama. Tentunya ini berbeda dengan kalangan yang memandang merek sesuatu yang penting, dan harus diburu walau harganya mahal. Bila si pemburu tas adalah pengusaha, tentunya akan menunjukkan keberhasilan usahanya, sehingga makin menguatkan kepercayaan mitra bisnisnya yang akan membangun kekaryaan bersama. Begitu juga para eksekutif, aktivis, maupun politikus dengan perlengkapan (tas) mahal akan menambah wibawa dan kepercayaan masyarakat pada dirinya. Dan jika dikaji lebih dalam lagi, pada pembahasan ilmu sosial yang cukup terkenal tentang teori interaksi simbolik oleh George Herbert Mead, kiranya cukup beralasan. Adanya benda atau perlengkapan yang dibawa oleh seseorang tidak hanya sebagai sarana yang memudahkan saja, tapi lebih dari itu akan menjadi simbol dan penilaian dari orang lain ketika melakukan interaksi.

Baca Juga: Angka Vaksinasi: Jakarta 120 Persen, Surabaya 89,24 Persen, Jatim Kalahkan Jateng dan Jabar

Maka benar adanya bila ada yang mengatakan gaya perlu biaya, gengsi perlu materi, dan tentu saja yang paling murah adalah gaya hidup sederhana dan bersahaja walaupun tidak mudah untuk mengambilnya menjadi pilihan hidup kita. Apalagi jika dihubungkan dengan kondisi masyarakat sekarang yang lebih memandang kehormatan dan kemuliaan manusia dari segi penampilan fisik belaka, pasti akan menjadi ujian berat bagi orang yang bergaya hidup sederhana dan bersahaja. Sehingga demi untuk meraih kehormatan yang harus ditunjukkan melelui materi dan merek barang yang dimilikinya, seseorang rela mengorbankan kehormatannya. Sehingga dara puspita cantik jelita rela menjual dirinya untuk dipertukarkan dengan benda-benda bermerek berkelas dunia. Seorang politikus akan terjerembab dalam penjara kehilangan kehormatannya karena menyalahgunakan kewenangannya, demi memenuhi kebutuhan menjaga merek benda benda miliknya.

Merek itu bukan ada pada tas saja, karena seiring dengan tinggi dan pentingnya posisi dan jabatan itu, maka kehadiran merek selalu menyertainya. Kendaraan harus merek tertentu karena bagi kalangan ini kendaraan bukanlah hanya alat yang dapat memindahkan diri saja, tapi lebih dari itu, kendaraan akan menunjukkan prestise, kemampuan dan kedudukan pemakainya, kendatipun alasan positif pun masih dapat dicari kenapa harus berkendaraaan merek mahal. Yaitu, hanya semata-mata mencari keamanan, bukan kemewahan karena kendaraan yang berlevel rendah dalam harga kurang memperhatikan keamanan penggunanya. Sehingga akan melahirkan anekdot begitu susahnya menjadi orang miskin. Sudah sengsara, naik kendaraan yang tidak aman dan rawan celaka.

Merek juga ada dalam sarana perawatan tubuh. Ketika belum berada pada posisi yang prestisius, seorang akan mencari kebugaran dengan biaya yang murah dan terjangkau untuk ukuran masyarakat pada umumnya. Namun itu akan berubah bila posisi dan jabatan itu bergerak naik ke eskalasi yang lebih tinggi. Betapa yang dulu jika letih dan lelah hanya diterapi tukang pijat tetangga sebelah yang dipanggil ke rumah dengan ongkos tidak lebih tinggi dari tenaga mreman (kerja harian) di sawah, kini berubah harus repot hadir di tempat perawatan diri yang jauh di kota dengan lumayan biayanya. Perbedaan biaya perawatan tubuh yang sangat tidak setara itu tentunya juga bisa diterima dan tidak menjadi masalah karena baik dari usia, busana, maupun kehalusan tangan terapisnya tentunya sangat berbeda. Sehingga beda harga itu memberikan penghargaan bagi spesialisasi sebuah karya. Biaya mahal untuk seorang terapis muda belia dinilai logis karena sangat profesional. Terbukti jarinya lentik dan indah, telapak tangannya halus, berarti kerjanya khusus hanya memijat saja. Sedangkan terapis yang di kampung memang murah, tapi kerjanya bercabang-cabang. Selain memijat, juga ke sawah, bahkan kadang-kadang mencetak bata. Maka, tidak heran bila tangan kasar luar biasa.

Baca Juga: Tiga Tipe Ulama Era Jokowi: Oposan, Pragmatis, dan Idealis

Tidak masalah seseorang memburu merek dan mengambil pilihan hidup mewah. Namun, tentunya itu akan menjadi masalah. Bisa sejatinya tingginya selera itu tidak berbanding sama dengan tinggi penghasilannya. Sehingga untuk memenuhi kehidupan mewahnya, orang akan melakukan perbuatan nista dan menghalalkan segala cara. Dan bila itu ada pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparat Sipil Negara (ASN) yang gajinya sudah dapat diukur setiap bulannya, tentunya yang terjadi pada kondisi yang paling buruk adalah korupsi atau menjadikan apa yang seharusnya dilayani tanpa biaya dirubah menjadi ladang penghasilan tambahan untuk menutupi kebutuhannya. Atau mungkin ada dalih lain sebagai penghindaran terhadap perbuatan korupsi di kalangan pangreh praja pelayan publik untuk menutupi kekurangan penghasilan karena selera hidup yang glamour dan mewah, yaitu melakukan pekerjaan sampingan seperti bisnis online atau bentuk usaha-usaha lainnya.

Namun kiranya perlu diperhatikan dan benar-benar dipahami, bahwa keberadaan ASN sekarang begitu disorot oleh masyarakat, terutama kalangan LSM yang begitu kritis sebagai usaha perbaikan dalam memberikan pelayanan prima kepada user. Sehingga walaupun fisiknya seorang ASN, berada di tempat kerja, tetapi perhatian dan konsentrasinya terus pada smartphone atau alat komunikasi lainnya. Pasti masyarakat yang dilayani akan komplain, karena pelayanan yang diberikan tidak maksimal, dan yang pasti lagi durasi penyelesaian pekerjaan pasti akan lebih lama karena ASN tersebut berpikir ganda.

Maka sebaiknya kita kembali mengambil pilihan hidup yang sederhana dan bersahaja sebagaimana yang diteladankan Rasul kita Muhammad SAW. Dikisahkan beliau juga menjahit terompahnya sendiri, dan kisah luhur lainnya, ketika seorang sahabat mengunjungi Rasulullah dan ditemuilah oleh Syayidah Fatimah Azrah yang mengatakan bahwa ayahnya sedang istirahat. Namun setelah sahabat mengutarakan maksud kehadirannya, Sang Putri Mulia masuk membangunkan istirahat ayahandanya, dan sungguh menunjukkan keteladanan agung, sungguh begitu mudahnya untuk dapat bertemu kekasih Allah SWT. Dan yang lebih mengharukan lagi, ternyata pada pipi Sang Junjungan terlihat garis-garis merah anyaman daun kurma sebagai alas tidur beliau. Sungguh ini merupakan wujud kesederhanaan yang cukup nyata.

Baca Juga: Buzzer, Radikalis Kristen vs Radikalis Islam

Bukankah di kalangan masyarakat Jawa juga cukup populer ungkapan urip mung sakmadya wae (hidup sedang-sedang saja) jangan terlalu bermewah-mewahan, tapi nikmati sesuai kebutuhan dan kemanfaatan, dalam kajian teori tokoh filsafat Jawa yang bernama Ki Ageng Suryo Mentaram yaitu enam sa, sabutuhe, saperlune, sacukupe, sabenere, samesthine, sakpenake. Kata filosof kelahiran Yogyakarta yang hidup semasa dengan Raden Mas Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) ini, bahwa untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup, maka manusia seyogyanya mengambil pilihan hidup, yaitu secukupnya, seperlunya, sebenarnya, seharusnya, dan enaknya bagi dirinya dan sesama. Dan yang paling penting lagi bukankah dalam agama telah dijelaskan bahwa berlebihan adalah dosa. Dan yang sering kita dengar di kalangan masyarakat Jawa adalah ungkapan ora elok yang artinya luas sekali yaitu tidak baik, tidak pantas, tidak manusiawi, maka maksud sak madya adalah tengah-tengah, mungkin dalam tatar berpikir Jawa, ketinggian itu tidak baik namun kerendahan juga tidak baik. Begitu juga terlalu kanan tidak baik namun terlalu kiri juga tidak baik, maka tidak asing dan sering kita dengar dalam masyarakat Jawa, tengah bener (tengah tepat), sehingga sak madya adalah tengah-tengah karena yang keterlaluan adalah ora elok. Maka ada baiknya memilih tas ya tengah-tengah, berideologi juga tengah-tengah.

*Muchammad Toha – Kepala Balai Diklat Keagamaan Surabaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO