Tafsir Al-Isra' 20-22: Ngoyo Jadi Pemimpin, Apa yang Dicari?

Tafsir Al-Isra

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

Al-Isra': 20-22

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

20. kullan numiddu haaulaa-i wahaaulaa-i min ‘athaa-i rabbika wamaa kaana ‘athaau rabbika mahtsuuraan

Kepada masing-masing (golongan), baik (golongan) ini (yang menginginkan dunia) maupun (golongan) itu (yang menginginkan akhirat), Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi.

21. unzhur kayfa fadhdhalnaa ba’dhahum ‘alaa ba’dhin walal-aakhiratu akbaru darajaatin wa-akbaru tafdhiilaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Perhatikanlah bagaimana Kami melebihkan sebagian mereka atas sebagian (yang lain). Dan kehidupan akhirat lebih tinggi derajatnya dan lebih besar keutamaan.

22. laa taj’al ma’a allaahi ilaahan aakhara fataq’uda madzmuuman makhdzuulaan

Janganlah engkau mengadakan tuhan yang lain di samping Allah, nanti engkau menjadi tercela dan terhina.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana


TAFSIR AKTUAL

Ini kesekian kali, bahasan tafsir al-Qur'an aktual pas, antara pesan ayat studi dengan kondisi kini yang ada di masyarakat. 27 Juni 2018 kemarin adalah hari pilkada serempak, termasuk pilgub Jawa Timur. Sementara ayat yang tengah kita kaji bicara tentang al-madad, lung-lungan, pemberian Tuhan terhadap siapa saja, yang kafir maupun yang mukmin (20). Juga seruan berpikir, bagaimana Tuhan mengunggulkan seseorang di atas yang lain (21). Lalu, sebuah warning mengerikan, agar yang bersangkutan tidak merugi di akhirat nanti (22).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Ini bukan ketepatan, melainkan sudah menjadi kehendak Allah SWT. Dunia teologis tidak ada yang namanya ketepatan. Orang yang meyakini terjadinya suatu peristiwa hanya dengan tesis ketepatan, berarti mengenyampingkan peran Tuhan yang telah mendesain peristiwa itu. Itu kekufuran yang menyelinap dan seorang mukmin harus memahami ini, lalu merefleksi, bahwa segala sesuatu itu adalah atas kehendak-Nya.

Bahwa seorang mukmin sungguhan yang menyadari betapa besar tanggungjawab seorang pemimpin, baik di dunia, apalagi di akhirat nanti, lalu yakin pengadilan akhirat tak bisa dimanipulasi, lalu siksa neraka pasti menimpa pemimpin yang tidak menunaikan amanat, yang ingkar terhadap janji yang sudah diikrarkan saat kampanye, maka dia pasti tidak mau menjadi pemimpin, kecuali dipaksa, bukan karena sukarela. Lha kok malah banyak yang berebut? wa Allah a'lam, mungkin saking nafsunya pingin jadi pemimpin.

Para calon pemimpin, utamanya yang muslim, sebodoh apapun dia sudah pasti mengetahui hal di atas, tapi tetep nekat. Ya sudah tahu berbagai kisah soal keadilan dan amanah sosok pemimpin shalih masa lampau, semisal Abu Bakr al-Shiddiq, Umar ibn al-khattab, Umar ibn Abdil Aziz, Harun al-Rasyid, Sulaiman al-Qanuni dan lain-lain. Ya, tapi didengarkan di telinga saja tanpa masuk ke lubuk hati.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Semuanya menganggap kepemimpinan adalah amanah, maka pantas saat dipilih, mereka meneteskan air mata dan berkata: "Inna lillah wa inna ilaih raji'un", layaknya tertimpa musibah atau kematian. Makanya, tidak pernah ada sejarah mencatat sosok pemimpin shalih yang kampanye, apalagi mengadakan syukuran saat terpilih.

Kampanye dan mencari-cari dukungan bak mencari-cari rantai api yang bakal membelenggu leher sendiri. Syukuran setelah terpilih jelas menunjukkan pandangannya terhadap kepemimpinan yang dia emban. Kepemimpian baginya adalah rezeki yang mesti disyukuri, bukan sebagai amanah yang mesti dipertanggungjawabkan. Mudah-mudahan Allah mengampuni.

Al-madad (kulla numiddu) adalah pemberian Tuhan setara dengan rahmat. Rahmat itu diberikan kepada seluruh makhluq, sedangkan al-Ridha khusus bagi hamba Allah SWT yang dipilih, yang disenangi saja. Terpilih jadi pemimpin daerah adalah sekadar mendapat rahmat dan itu hak bagi semua titah dan belum mendapat Ridha-nya. Makanya, ada pemimpin terpilih yang kafir, bahkan brengsek. Dan yang tidak terpilih juga mendapat rahmat meski tidak dipahami oleh yang bersangkutan.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Pemimpin terpilih dan mendapat ridha-Nya terlihat ketika dia sudah mewujudkan amanah kepemimpinan dengan baik dan dia sendiri makin menjadi shalih, makin bertaqwa saat memimpin dan seterusnya. Begitu pula yang tidak terpilih. Jika dia makin shalih setelah kegagalan, maka itu tandanya dia mendapat Ridha-Nya. Andai ada orang yang berulang kali gagal dan nyalon lagi, maka apakah itu atas dasar keimanan? Itu hak pembaca berkomentar.

Meski hari ini "tidak ada" pemimpin shalih yang menangisi keterpilihannya, tapi jangan nemen-nemen mengkhianati amanah. Umar ibn al-Khattab yang karena keadilannya, karena kebijakannya yang sangat meninggikan islam dan umat islam hingga nonmuslim mengatur makar dan berhasil membunuhnya saat shalat berjamaah. Begitu diberi tahu bahwa si pembunuh nonmuslim, maka dia berucap: "al-hamdu lillah, aku mati di tangan musuh Allah".

Dialah Umar ibn Abdil Aziz yang sedang kerja di ruangan dinas kekhalifahan, lalu anaknya datang berkonsultasi masalah keluarga atas suruhan ibunya, seketika itu Umar mematikan lampu dan berbicara empat mata dalam kegelapan. Sang anak bertanya "mengapa?". Sang ayah menjawab: "minyak lampu ini milik rakyat untuk kerja dinas, bukan untuk pribadi atau keluarga"

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO