Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Al-Isra': 24
وَاخْفِضْلَهُمَاجَنَاحَالذُّلِّمِنَالرَّحْمَةِوَقُلْرَّبِّارْحَمْهُمَاكَمَارَبَّيٰنِيْصَغِيْرًاۗ
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Waikhfidh lahumaa janaaha aldzdzulli mina alrrahmati waqul rabbi irhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraan
Dan rendahkanlah dirimu terhadap
keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah
keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.”
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
TAFSIR AKTUAL:
Sesungguhnya pesan ayat ini sambungan dari ayat sebelumnya, yaitu tentang berbakti kepada kedua orang tua. Agar mereka sangat legowo dan terus-menerus dalam kelegowoan, maka tidak boleh ada tindakan yang bisa membuat mereka kecewa sekecil apapun. Disebutkan, berkata "uff" saja tak boleh. Uff adalah bunyi, suara "pyek" bukan kata-kata yang terangkai dari huruf-huruf, meski tidak bertata bahasa, tapi bisa dimengerti maksudnya, yaitu nada keengganan, gelagat keberatan, atau ekspresi ketidak-ikhlasan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Untuk itu, Tuhan memerintahkan agar jika berkata-kata kepada kedua orang tua wajib dipilihkan kata yang bagus, yang memuliakan dan yang menghormat. Itulah yang disbut "Qaula karima" (23). Maka benar orang Jawa mengajarkan keromo inggil, boso, bahasa santun yang mesti diucapkan oleh seseorang kepada orang yang di atasnya. Seperti anak kepada orang tua, murid kepada guru, santri kepada kiai, bawahan kepada atasan, dan sebangsanya.
Seperti kata tidur. Untuk sebayanya, dipakai kata: turu. Untuk kakaknya, pakai kata "tilem" dan untuk orang tua, "sare". Semua itu adalah bentuk penghormatan menurut tradisi Jawa. Beda daerah, tentu beda cara. Untuk itu, bagi wong Jowo seharusnya mengajari anaknya iso boso, bisa berbahasa kromo, meski tidak inggil-inggil banget.
Begitu juga ketika sang anak bersikap, berperilaku dan berakting di hadapan orang tua. Al-Qur'an memberi tuntunan agar lengan direndahkan sambil membunggkuk sedikit ketika lewat atau berjalan di hadapan orang tua, "Waikhfidh lahumaa janaaha aldzdzulli mina alrrahmati". Akting macam itu lebih mencerminkan kepribadian yang santun, akhlaq yang mulia dan wong Jowo menywebut si anak sebagai "andap asor".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Penghormatan terhadap kedua orang tua tidak mengenal batas, tidak hanya semasa hidup di dunia saja, bahkan hingga mereka wafat, tetap saja dituntut berbakti kepadanya. Tentu saja bentuknya berbeda antara penghormatan saat mereka masih hidup dan ketika sudah wafat. Tapi hakekat dan tujuannya sama.
Ketika masih hidup, maka yang dipersembahkan adalah kebutuhan hidup, seperti makanan, uang, belanja, kesehatan dan kebutuhan lain yang bersifat materi. Tapi ketika sudah wafat, ya apa saja yang menjadi kebutuhan orang yang sudah meninggal. Butuh didoakan, dimintakan ampunan atas segala dosa, dilunasi utangnya, baik utang kepada manusia, lebih-lebih utang kepada Allah SWT. Jika orang tua mendahului wafat dan belum menunaikan ibadah haji, maka bagi anak yang mampu wajib menghajikan, pakai haji badal. Itulah yang digagas firman-Nya "wa qul Rabb irhamhuma kama rabbayani shaghira".
Ada riwayat, bahwa Rasulullah SAW terus menyambung persaudaraan dengan teman-teman istri tercintanya, Khadijah bint Khuwailid, walau sang istri sudah meninggal. Bahkan sering memberi hadiah kepada mereka.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Abu Usaid bercerita, bahwa dia sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW, berbincang santai dan guyu, lalu datang seorang sahabat menghadap Nabi dan bertanya: "Ya Rasulallah, apakah kita masih diwajibkan berbakti kepada kedua orang tua setelah mereka wafat?". Rasul menjawab: "Ya". Berdoalah untuk mereka, mohonkan ampunan, penuhilah janji-janji mereka yang belum ditunaikan, (apalagi membayar utang) dan sambunglah persaudaraan dengan teman-teman mereka dulu.
Nah, mengadakan selamatan, kirim doa, yasinan, peringatan satu tahun atau haul adalah bentuk birr al-walidain, berbakti kepada kedua orang tua. Sebab, dalam haul, biasanya yang diundang termasuk teman-teman al-marhum atau al-marhumah. Karena susah silaturrahim kepada mereka satu-satu, maka dengan undangan lewat acara haul diangggap lebih lumayan mewakili, meskipun tidak sempurna. Menyambung teman-teman al-marhum hadir di rumah dengan acara kirim doa termasuk upaya "birr al-walidain".
Sebagai catatan, jika orang tua kita muslim, maka kewajiban berbakti kepada mereka mutlak adanya, baik saat mereka hidup di duia maupun sudah meninggal dunia. Tapi kalau mereka nonmuslim, beda keimanan dengan kita, maka kewajiban hanya sebatas saat mereka hidup di dunia saja. Tidak ada kewajiban berbakti setelah mereka wafat, walau berwasiat sebelum wafat.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Contoh, orang tua beragama Hindu sementara si anak beragama Islam. Sebagai keyakinan, setelah mati pemeluk agama Hindu dilakukan ngaben, dibakar. Tentu dengan sekian banyak biaya. Apakah si anak harus melaksanakan ngaben untuk orang tuanya?. Tentu tidak, tidak boleh, walau mereka berwasiat. Karena itu penyiksaan terhadap mayit dan menurut Islam hukumnya dilarang. Wasiat pada perkara terlarang tidak dibenarkan, tidak boleh dilaksanakan. Lalu?, ya dikubur saja. Allahu a’lam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News