Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag
28. Wa-immaa tu’ridhanna ‘anhumu ibtighaa-a rahmatin min rabbika tarjuuhaa faqul lahum qawlan maysuuraan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dan jika engkau berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang engkau harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah lembut.
TAFSIR AKTUAL
Ayat studi ini (28) seolah menyoal persamaan antara memberi pengemis maksiat atau pengemen amoral dengan perbuatan memubazirkan harta. Hal itu masuk akal, karena memubazirkan harta adalah menggunakan harta halal untuk obyek yang tidak halal, yang haram, atau yang tidak ada manfaatnya dalam agama.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Sementara memberi uang kepada pengamen atau anak Punk diduga untuk foya-foya, pergaulan bebas laki-perempuan secara liar. Itu berarti membantu kehidupan liar mereka terus lestari tanpa ada upaya rehabilitasi. Lalu, apa kata tafsir aktual soal ini?
Ayat studi ini adalah jawabnya. Ibn Zaid menuturkan sabab nuzul ayat ini. Suatu ketika sekelompok orang datang merayu nabi dan meminta uang. Dilihat dari gelagatnya, mereka adalah orang-orang fasiq, di mana kesehariannya suka berbuat maksiat dan durhaka. Lalu nabi Muhammad SAW tidak berkenan memberi dengan harapan untuk menghentikan mereka agar tidak terus terjerumus dalam kemaksiatan. “ibtighaa-a rahmatin min rabbika tarjuuhaa..”. Kemudian ayat ini turun membenarkan.
Dari paparan di atas terjadi dua terma wahyu yang nampak berlawanan pesan. Pertama, memberi hak kepada pengemis untuk diberi, walau dia datang naik kuda, mobil mewah. Tesis ini dikuatkan al-Dluha:10, “bahwa pengemis tidak boleh dibentak”.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Sedangkan wahyu kedua adalah ayat studi ini, khususnya sabab nuzul yang dikedepankan Ibn Zaid, yakni Nabi menolak memberi pengemis yang diduga pemalas dan pemaksiat.
Jalan komprominya adalah, bahwa tesis Hadis pertama untuk pengemis baik-baik, utamanya pengemis terpaksa. Sebaiknya atau harusnya diberi, karena tidak ada indikasi hasil ngemisnya dipakai maksiat. Sedangkan tesis kedua untuk pengemis fasiq, hasil mengemisnya untuk kemaksiatan. Memberi pelaku maksiat sama dengan membantu maksiat.
Untuk itu, dipandang benar, berdasar, dan bagus bila pemerintah daerah membuat undang-undang larangan mengemis, mengamen, dan sebangsanya. Utamanya di lampu merah atau perempatan jalan dan sebangsanya. Selagi masih dibolehkan mengamen, maka kehidupan anak-anak Punk liar akan tetap subur. Karena di situlah sandang-pangan mereka. Mereka adalah anak kita juga. Kita wajib berupaya membaikkan mereka dengan cara yang baik.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Jika larangan mengamen benar-benar dikawal oleh aparat yang berkewajiban secara sungguhan, disiplin, dan tegas, maka satu sumber dana utama mereka tertutup. Dengan matinya sumber makan ini akan dapat menekan keliaran mereka. Lalu diedukasi secara memadai.
Bertambah banyaknya anak-anak Punk yang liar dan meresahkan bukan karena hebatnya kenakalan dan keliaran mereka, melainkan lebih karena kurang baiknya kepedulian kita dan lemahnya kerja aparat pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News