Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag
29. Walaa taj’al yadaka maghluulatan ilaa ‘unuqika walaa tabsuthhaa kulla albasthi fataq’uda maluuman mahsuuraan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal
TAFSIR AKTUAL:
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Setelah membicarakan pembelanjaan harta yang berlebihan hingga mubazir, kemudian dirangkai dengan nasehat bercerdas-cerdas dalam memberi atau tidak memberi kepada orang yang meminta-minta, kini Allah SWT mengajarkan laku obyektif, agar tidak pelit, hingga dikecam masyarakat (Walaa taj’al yadaka maghluulatan ilaa ‘unuqika) dan juga tidak terlalu loyal, hingga fatal dan menyengsara diri (walaa tabsuthhaa kulla albasthi).
Pada ayat ini digunakan bahasa kiasan mengenai orang yang kikir dan orang yang terlalu royal yang diambil dari ideom tradisi Arab. Tangan dibelenggukan di leher berarti sangat kikir. Karena tangan itu terkunci hingga tidak bisa dibuka untuk memberi sesuatu. Sedangkan tangan terbuka lebar (tabsutha kull al-basth) berarti sangat derma, apa saja yang dimiliki terbuka bebas untuk diberikan kepada orang lain.
Pada ilmu balaghah, ayat ini bernada badi’, bahasa indah versi laff nasyr murattab. Disebut keseluruhan dulu, lalu diurai secara berurutan. Disebut jangan kikir dan jangan terlalu royal (Walaa taj’al yadaka maghluulatan ilaa ‘unuqika walaa tabsuthhaa kulla albasthi), baru disebutkan akibatnya secara urut. Yakni tercela (maluma) sebagai akibat kikir dan merugi, sengsara (mahsura) akibat dari terlalu royal.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Di kalangan mefassirin dipersoalkan, apakah ayat ini khusus nabi atau untuk seluruh umatnya? Hal itu mengingat pesan ayat ini menabrak amaliah totalitas dan habis-habisan yang dilakukan nabi Muhammad SWT dan beberapa sahabat kelas atas dalam hal bersedekah.
Beberapa sahabat punya keimanan tinggi hingga tidak pernah takut sedikit pun soal kemiskinan, sehingga seberapa saja uang, harta, emas harus disedekahkan demi agama, pasti dikeluarkan. Khadijah bint Khuwailid, istri nabi yang konglomerat papan atas, hartanya habis untuk dakwah Islam periode Makkah, utamanya untuk memerdekakan beberapa budak. Abu Bakr, Utsman ibn Affan, Abd al-Rahman ibn Auf dan lain-lain yang habis-habisan bersedekah untuk menegakkan agama Allah. Nabi mengetahui itu dan memuji mereka.
Sementara khusus diri Nabi jauh lebih derma dari semua itu. Bisa dibayangkan, membayar hadyu atau dam (hewan sembelihan) pada ibadah haji yang patokannya cukup seekor kambing, tapi Nabi mulia itu menyembelih seratus unta, termasuk untuk udhiyah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Suatu ketika ada anak kecil datang menghadap Nabi dan berkata: "ibuku menyuruhku menghadap tuan untuk meminta sesuatu". Nabi tertegun sejenak, lalu berkata: "hari ini aku sedang tidak punya apa-apa". Anak itu kembali ke ibunya dan sebentar kemudian balik lagi menghadap Nabi dan berkata: "ibuku bilang, agar engkau memberikan baju itu untukku..". Nabi masuk rumah dan langsung melepas gamis yang sedang dipakainya, kemudian diberikan kepada si anak tersebut.
Jabir R.A. bertutur, sebentar kemudian terdengar Bilal mengumandangkan adzan dan kami menunggu Nabi shalat berjamaah seperti biasa. Tapi lama sekali beliau tidak keluar hingga semua resah, ada apa dengan Nabi. Seorang sahabat tak sabar dan langsung memasuki rumah beliau. “subhanallah”, rupanya nabi sedang duduk di dalam tanpa mengenakan baju. Alias tidak pakai gamis, melainkan mengenakan kain atau izar seadanya. Nah, diduga, ayat ini turun menegur sikap Rasulullah SAW tersebut.
Jadi, jalan kompromi dari dua tesis wahyu yang nampak beda itu adalah, bahwa ayat ini untuk orang beriman yang keimanannya biasa-biasa saja, masih ada hitung-hitungan matematis dan kekhawatiran akan jatuh sengsara akibat sedekah totalitas. Maka, sedekahnya harus terukur dan wajar-wajar saja. Sementara bagi mereka yang berkeimanan tingkat tinggi dan sangat berserah total kepada Allah SWT semata, tanpa keraguan sedikitpun akan jatuh sengsara, maka silakan bersedekah kayak para sahabat terdahulu. Allahu a'lam
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News