Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag
32. Walaa taqrabuu alzzinaa innahu kaana faahisyatan wasaa-a sabiilaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.
TAFSIR AKTUAL:
Ayat larangan berzina ini diapit oleh dua ayat larangan pembunuhan. Ayat sebelumnya (31) tentang larangan pembunuhan terhadap anak. Sedangkan ayat setelahnya (33) tentang larangan pembunuhan terhadap anak manusia secara umum. Sisi munasabah, korelasi pesan dan efek makna cukup kuat sebagai ada keterkaitan antara zina dan pembunuhan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Petama, keterkaitan dengan ayat pembunuhan anak sebelumnya. Bahwa perbuatan zina yang mengakibatkan kelahiran anak, maka kelahiran anak tersebut cenderung tidak diinginkan dan membuat aib, maka jalan sederhana adalah dibunuh atau digugurkan. Ini umum, meskipun tidak munutup mata terhadap kasus spesial.
Contohnya, istri dengan sengaja merebahkan diri untuk pria lain dengan tujuan bisa hamil dan punya anak, mengingat sang suami mandul fatal. Itu terjadi pada istri al-Mughirah, tokoh jahiliah yang sangat berpengaruh, ayahnya al-Walid alias neneknya Khalid bin al-Walid, panglima perang terhebat zaman Nabi Muhammad SAW.
Al-Walid impoten, tidak bisa memberi keturunan, lalu istrinya diam-diam meminta seorang pengembala menyetubuhi hingga berhasil melahirkan anak, dialah al-Walid. Al-Walid tumbuh sebagai anak super cerdas, pinter, ganteng, gagah, kaya raya dan berstatus sosial tinggi.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Ketika dewasa dan menjadi tokoh sentral, oleh masyarakat arab digadang-gadang bisa dipilih Tuhan sebagai nabi akhir zaman. Tapi Tuhan punya kehendak lain. Justru Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Muttalib SAW yang dipilih. Al-Walid geram bukan main, tapi tak bisa berbuat banyak.
Kedua, keterkaitan dengan ayat sesudahnya, juga masalah pembunuhan. Tuhan melarang pembunuhan secara umum. Tidak ada yang boleh merenggut nyawa seseorang kecuali Allah SWT, sang pencipta manusia. Kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh Allah sendiri, seperti berperang melawan musuh Allah atau pelaksanaan hukuman qisas.
Perzinaan yang dilakukan dengan istri teman atau istri tetangga berpotensi pertengkaran dan sangat mungkin terjadi pembunuhan. Rebutan cewek dalam dunia pelacuran sering berujung pembunuhan. Untuk itu, benar sekali Tuhan mengaitkan ayat zina dengan ayat pembunuhan, baik pembunuhan bayi maupun antar orang dewasa.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Dua efek dari perbuatan zina dikatakan pada ayat kaji ini, yakni: “fahisyah” dan “sa’a sabila”. Fahisyah adalah perbuatan keji yang tidak patut dilakukan oleh orang beriman. Sedangkan sa’a sabila adalah pelaku zina tertimpa jalan hidup yang buruk. Bila lahir anak, maka anak itu tidak bernasab secara sah yang tentu mengakibatkan ketidak jelasan status. Seperti tidak punya hak waris kepada ayah, tidak punya wali nikah dari nasab, jika anak itu perempuan.
Apalagi jika dikaitkan dengan zaman sekarang yang serba administratif. Anak itu tidak punya akte kelahiran yang sah. Tentu menyulitkan, seperti mau sekolah, pemberkasan, menikah dan lain-lain. Anak yang lahir dari perzinaan sungguh anak yang suci, tanpa dosa, sama dengan anak manusia yang lahir dari pernikahan yang sah atau dari budak wanita miliknya. Yang berdosa adalah orang tuanya, bukan anak. Tapi anak ikut tertimpa status buruk akibat perbuatan orang tuanya.
Begitu halnya dengan nama baik pelaku zina dalam tatanan masyarakat bermoral. Pelaku zina akan menjadi rendah dalam pandangan publik, meskipun Allah SWT selalu membuka pintu tobat seluas-luasnya. Tidak ada dosa yang tidak diampuni, asal serius bertobat.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Tidak sama dengan hukum tatanan manusia yang cederung mengeksekusi dan final. Orang terhormat bisa direndahkan gara-gara berzina. Di Amerika, seseorang bisa batal menjadi calon presiden karena diketahui punya skandal seksual. Itulah arah pesan firman-Nya “wa sa’a sabila”.
Untuk itu, benar sekali jika larangan berzina ini diantar dengan bahasa antisipatif, “jangan mendekati” atau “ wa la taqrabu”. Tidak dengan larangan langsung obyek, seperti: “jangan berzina”. Artinya, zina itu punya zona.
Pertama, zona utama, yakni zina. Memasukkan zakar ke dalam vagina wanita bukan mahram (istri atau budak wanita). Kemudian zona satu, zona yang terdekat dengan zina, seperti mengesek-esek, tindakan seksual tanpa memasukkan penis ke dalam vagina. Zona dua, seperti berciuman, meremas dan sebangsanya. Ketiga, berduaan, saling bertukar pandangan dan sebangsanya. Zona berikutnya bisa seperti chatting seksual lewat media sosial, video call, dan lain-lain.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Pesan ayat ini berbentuk larangan berjarak, “wa la taqrabu”, jangan mendekat. Tujuannya agar orang beriman jauh-jauh sudah terhindar dan selamat. Sebab zina itu adiktif dan nagihi, membuat orang keenakan dan ketagihan, ingin lagi dan ingin lagi. Untuk itu, disteril jauh-jauh. Kayak rokok, minuman keras, pil koplo dll. Lihat, betapa susahnya perokok menghentikan kebiasaan buruknya. Kehebatan rokok, hingga sekelas kiai, profesor dan guru besar, akal sehatnya kalah dengan nafsunya, meski kenafsuannya itu sering dibungkus dengan dalil dan argumentasi.
Yang logis adalah zina itu ibarat api. Jangan mendekat, panas, dan membahayakan. Jika anda masuk ke dalamnya, pastilah keadaan makin bertambah buruk, terbakar dan binasa. Bukan bahasa plesetan yang menyesatkan, bahwa zina itu kayak kereta api. Anda mendekat bisa keserempet dan tewas. Tapi jika anda naik langsung di dalamnya, maka akan uenak tenan. Na’udzu billah minaz zina.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News