Tafsir Al-Isra’ 36: Al-Imam Dawud Al-Dzahiry

Tafsir Al-Isra’ 36: Al-Imam Dawud Al-Dzahiry Ilustrasi

Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag

36. Walaa taqfu maa laysa laka bihi ‘ilmun inna alssam’a waalbashara waalfu-aada kullu ulaa-ika kaana ‘anhu mas-uulaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.

“Walaa taqfu maa laysa laka bihi ‘ilm ...”. Ayat studi ini memberi peringatan keras terhadap para akademisi, kaum intelektual, para ilmuwan agar tahu batasan dan membatasi diri terhadap kerja nalarnya. Tidaklah mentang-mentang diberi akal sehat, mentang-mentang ada perintah bernalar, perintah berpikir produktif, dan lain-lain, lalu bebas menggunakan nalar. Semua itu tidak berarti tanpa cost, melainkan dipertanggungjawabkan.

Bagi al-Dzahiry, ayat ini mengisyaratkan larangan menggunakan qiyas sebagai pijakan dalam menetapkan hukum. Jadi, hukum islam atau syari’ah itu ya terbatas pada apa yang sudah ditera oleh Syari’, al-qur’an atau al-Hadis saja. Yang tidak tertera, maka tidak termasuk dan tidak boleh dimasuk-masukkan, dianalogikan, disamakan, atau diqiyaskan. Walaa taqfu maa laysa laka bihi ‘ilm. Jangan sok tahu, berkomentar terhadap apa-apa yang anda tidak tahu. Bagi Dawud, qiyas itu sama halnya dengan mengada-ada atas hukum sesuatu yang memang oleh Allah sengaja tidak dibahas. Tujuannya untuk memberi kejembaran, keleluasaan bagi hamba-Nya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Dawud adalah seorang ilmuwan besar, bukan bodoh, dan bukan tumpul otaknya, melainkan memilih pola pikir, bahwa hukum syari’ah itu harus berdasar nash, bukan hasil rekayasa akal seenaknya. Jadi, jika anjing (al-kalb) tidak disebut dalam ayat pengharaman mengomsumsi hewan, maka anjing hukumnya halal. Jika babi tidak disebut dalam kenajisan binatang, maka babi tidak najis. Tidak bisa disamakan dengan kenajisan anjing, karena anjing bukan babi, dan babi bukan anjing. Masing-masing punya hukum sendiri-sendiri yang sudah ditegaskan oleh al-Syari’.

Tentu saja pola pikir macam ini tidak diterima oleh ulama pengguna qiyas sebagai dasar hukum. Mereka berdalil beberapa ayat al-Qur’an yang nadanya perintah bernalar dan bercerdas-cerdas, termasuk di dalamnya berqiyas. Nalar qiyas dianggap lebih melebarkan hukum hingga luwes.

Jadinya, dengan pola qiyas, anjing itu haram dimakan karena diidentikkan dengan babi. Tapi dengan hanya melihat dhahir ayat, maka anjing itu halal dikonsumsi karena tidak disebut dalam ayat al-qur’an. Allah a’lam.

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO