Sumamburat: Suka-suka Kamu?

Sumamburat: Suka-suka Kamu? Suparto Wijoyo.

Lantas, kata kecurangan dan kehendak untuk menang menjadi tidak terbantahkan meski tidak dibicarakan. Pemeo biar curang asal menang dikukuhi dengan “cinta kursi” karena sekarang ini siapa yang “jujur akan hancur”. Begitu kata Mispon yang selanjutnya tetap bersuara bahwa kejujuran lah yang pada puncaknya akan menang dengan dalih abadi yang dipahami bahwa yang “curang jadi arang dan yang jujur pastilah mujur.

Sampai di sini, saya terus memantau dan sedikit memahami atas deklarasi-deklarasi yang beruntun karena memang pertarungan masih tetap berlangsung. Tetapi dunia medsos yang bisa diverifikasi tetap membuncahkan curiga bahwa ada “pembengkakan suara” yang sangat kentara. Atas itu semua, adakah rakyat disuruh bungkan atas nama perdamaian demi tampilan luar yang indah-indah. Kalaulah kebijakan itu disikapi sebagai bentuk ketertundukan kepada kecurangan dan membiarkan ketidakpatutan itu bergerilya, ini menjadi penanda lahirnya sinyal-sinyal bangsa yang memiliki bibit ketidakmampuan bertanggung jawab atas dirinya.

Siapa yang curang, siapa yang menginput data secara salah dengan konsisten, siapa yang melakukan “parade amplop”, siapa yang punya kuasa memaksakan kehendak untuk menang dengan segala cara. Biarlah arah zaman menuntunkan ke dalam pertanggungjawaban hukum. Hukum pemilu mengatur semua itu dalam norma yang dapat dibaca dalam UU Pemilu.

Kini semua orang yang merasa hak berdaulatnya dilecehkan dengan “data yang diinput” dengan dusta sedang meradangkan gelora. Terhadap hal ini janganlah dilawan dengan mengobarkan kekuatan yang seakan menghentak. Siaga satu itu mestinya untuk menindak yang berbuat inkonstitusional yaitu memasukkan data yang tidak sesuai dengan yang sejatinya. Mencoblos sendiri berpuluh kertas suara adalah tindakan melanggar hukum pemilu dan secara demokrasi telah melecehkan kedaulatan rakyat.

Dalam posisi itulah saya setuju berada dalam siaga satu untuk mengatasi berbuatan melanggar huukm pemilu. Bukan siaga satau untuk menghadapi pihak yang menunjukkan adanya kecurangan dengan mendistorsi bahwa akibat ulahmu kecurangan itu terketahui dan menimbulkan kegaduhan. Apabila itu yang dirasakan, maka kita mengalami tahapan baru utnuk menambah ciri khas orang Indonesia sebagaimana dilansir Mochtar Lubis dalam Ceramah pada tanggal 6 April 2019 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dengan judul Manusia Indonesia.

Dalam pidato itu diuraikan enam sifat manusia Indonesia: munafik atau hipokrit yang menampilkan dan menyuburkan asal bapak senang, enggan bertanggungjawab, bersikap feudal, percaya takhayul, artistik, dan lemah watak atau karakternya. Adakah kini bertambah secara terang “dapat berdamai dengan kecurangan”. Orang kampus tugasnya tetap saja, yaitu berkatalah yang benar dalam menjaga marwah moral dan intelektual.

Di lingkup inilah saya membaca kembalai tulisan Michel Foucault yang berjudul Prrhesiapada tanggal 10 Oktober 1983. Marilah kita semua Berani Berkata Benar (2018). Titik tekannya adalah di zaman sekarang ini, tidak bisa lagi kita harus bertindak sesuka-suka hingga kami rakyat membiarkan berbuatan “suka-suka kamu”. Jujurlah dan berdemokrasilah yang jurdil. Pada lingkup ini langit-langit negara selalu menorehkan berita demokrasi yang membuat jutaan rakyat memasuki etape sorak-sorak nestapa, bukan sorak-sorak bergembira, sebuah sorakan massa “setimpal” dari yang terlontar kepada sang pencari kuasa.

*Dr. H. Suparto Wijoyo, Coordinator of Law and Development Master Program Post Graduate School Universitas Airlangga, Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ketua Pusat Kajian Mitra Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO