Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag
41. Walaqad sharrafnaa fii haadzaa alqur-aani liyadzdzakkaruu wamaa yaziiduhum illaa nufuuraan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dan sungguh, dalam Al-Qur'an ini telah Kami (jelaskan) berulang-ulang (peringatan), agar mereka selalu ingat. Tetapi (peringatan) itu hanya menambah mereka lari (dari kebenaran).
TAFSIR AKTUAL:
Begitulah, al-Qur’an sudah menjelaskan berbagai hal yang telah mereka butuhkan, bahkan di luar yang mereka ketahui, tetapi mereka sengaja menutup hati. Andai mereka mau mengosongkan pikirannya sejenak saja, lalu membiarkan pikiran itu bekerja sendiri memahami pesan dan mencari, maka pasti menemukan kebenaran, lalu pasti beriman kepada al-qur’an, pasti beriman kepada Allah SWT.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Karena belum-belum sudah apriori dan sengaja menutup diri, maka ibarat rumah yang pintunya terkunci kuat-kuat. Ibarat telinga yang ditutup karena takut mendengar suara yang tidak diinginkan. Andai suara itu menembus secara perlahan ke dalam telinga, mereka segera berlari menjauh. “wamaa yaziiduhum illaa nufuuraa”.
Dari ayat ini terbaca, bahwa orang islam itu orang yang sangat jujur dan bersedia menggunakan akal sehatnya, bersedia memberi kebebasan hati nuraninya memilih keimanan yang sesuai. Keimanan yang tidak paradok dengan akal sehat, keimanan yang mapan tanpa prombem dan ganjalan.
Al-Qur’an menyebut islam sebagai agama fitrah. Silakan dibuktikan, apa benar Allah SWT itu sudah ada dan bersemayam di dalam jiwa setiap insan sejak dia dicipta, sejak dia dilahirkan. Caranya, ambil bayi nol usia, lalu rawatlah di tempat kosong tanpa pengaruh apa-apa, tanpa ada informasi apa-apa. Biarkan hingga dewasa, hingga perkembangan otaknya bisa bekerja mencari sesuatu. Sudah pasti menemukan Tuhan, Tuhan yang menguasai alam semesta.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Andai ditawari Tuhan yang tidak bisa mencipta, umpama Tuhan Yengki, Johny, Budhi yang notabenenya tidak bisa kuasa apa-apa, malah bisa mati, maka pasti menolak. Sadarlah, sejarah sudah pernah membuktikan itu berkali kali, sejak zaman nabi Nuh A.S. yang terkenal dengan Tuhan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, Nasr, juga zaman nabi Musa, muncul Tuhan rekaan al-Samiry dengan Tuhan berupa patung anak sapi yang terbuat dari emas murni.
Termasuk nabi Uzair A.S. karena kecerdasannya yang luar biasa dan diberi pengetahuan alam ghaib dan masa lalu, lalu dia dianggap anak Tuhan oleh orang-orang Yahudi. Juga nabi Isa yang lahir dari vagina seorang wanita, Maryam seperti kita lahir, hanya saja tanpa ayah biologis, lalu dianggap anak Tuhan (tuhnan) oleh orang-orang nasrani. Dilanjutkan orang kafir jahiliah yang menyekutukan Tuhan yang menuhankan berhala Hubal, Lata, Uzza, Manat dan lain-lain.
Semua itu boleh-boleh saja dan silakan. Tapi landasan pemikirannya hanyalah keyakinan sepihak, kepercayaan tertutup, dan itu sah menurut hak asasi manusia. Tetapi pasti gugur bila diuji oleh akal sehat dan dialog ilmiah yang menggunakan kriteria ketuhanan absolut. Bahwa Tuhan harus berkuasa dan mampu mencipta, Tuhan harus hidup abadi tanpa awal dan tanpa akhir.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Bagaimana mungkin seorang tuhan lahir dari kalangan manusia yang lahir sendiri saja tidak biasa, lalu mati. Kalau tuhan mati, lalu siapa yang mengurus alam ini. Orang tak bertuhan akan menjawab begini, "Ya berjalan saja sesuai hukum alam". Ini pun masih bisa diuber: "Lalu siapa yang mencipta hukum alam tersebut?".
Tuhan juga harus maha sempurna. Menyempurnakan diri sendiri saja tidak bisa, mana mungkin bisa mengurus alam semesta. Di sini, konsep tuhan-tuhanan selain Allah SWT pasti gugur. Perkara masih ada yang meyakini, itu hak mereka.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News