Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag
42. qul law kaana ma’ahu aalihatun kamaa yaquuluuna idzan laibtaghaw ilaa dzii al’arsyi sabiilaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Katakanlah (Muhammad), “Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagai-mana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai ’Arsy.”
43. subhaanahu wata’aalaa ‘ammaa yaquuluuna ‘uluwwan kabiiraan
Mahasuci dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka katakan, luhur dan agung (tidak ada bandingannya).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
TAFSIR AKTUAL:
Ayat sebelumnya bertutur tentang Tuhan Allah SWT dan segala sesuatu yang dihubungkan dengan-Nya. Penjelasan diungkap dengan gaya jidal, gaya dialog, gaya debat versi al-Qur'an, yang oleh para ulama ulum al-qur'an tidak sama dengan model jidal yang dipakai oleh ilmuwan ilmu al-Mantiq atau logika sains. Mereka biasa menggunakan premis (qadiyah) dan konklusi (natijah), baik premis mayor (qadiyah kubra) maupun minor (qadiyah shugra). Juga tidak sama dengan gaya filsuf kuno yang hobi menggunakan femenologi.
Dialah al-imam Ibn al-Araby, salah satu mufassir madzahab Maliky mindid yang mengedepankan teori fanqalah. Fanqalah adalah satu metode jidal yang dipakai al-qur'an, yaitu dialog "andai" yang menggunakan terma "tanya" seperti "sa'ala, yas'alu" dan sebangsanya yang disambung dengan terma "jawab" seperti kata "qul". Singkatnya, dialog itu pakai soal dan jawab. "Andai kamu bertanya begini, maka Kami menjawab begini".
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Soal jawab dalam al-qur'an tidak selalu dimuar dalam redaksi lengkap. Bahkan sering hanya diblow up jawabannya saja. Maka yang tertulis hanyalah kat "qul", (jawablah). Sementara pertanyaan tidak disebutkan, melainkan ada pada kondisi setempat, kejadian, konteks sosial waktu itu. Salah satunya adalah ayat kaji ini (42-43). Uraian ini menyorot metoda jidalnya dan bukan sabab nuzulnya.
al-Imam al-Qurtuby memandang ayat ini sebagai jawaban dari ayat sebelumnya, di mana para penyembah berhala jaman jahiliyah podo ngomong, bahwa Tuhan itu tidak hanya Allah saja, ada tuhan lain selain-Nya. Cara mengekspresikan tuhan buatan itu berbeda. Zaman nabi Nuh A.S. ada berhala (tuhan buatan) bernama Wadd, Suwa', Yaghus, Ya'uq, dan Nasr. Nama-nama itu berasal dari nama orang-orang yang sangat shalih pada zamannya. Lalu dipatungkan.
Jaman nabi Ibrahim A.S. mereka membuat tuhan-tuhan sendiri dan ada satu yang paling besar. Jaman nabi Musa A.S. ada yang langsung mengikrarkan diri sebagai Tuhan, itulah Fir'aun. Juga ada yang pakai gaya lama dengan membuat patung anak sapi yang terbuat dari emas, anehnya bisa bersuara. Itulah buatan Musa al-Samiry. Orang-orang Yahudi menyakini Uzair sebagai anak lelaki Tuhan, seperti halnya orang Nasrany yang meyakini Isa ibn Maryam. Orang-orang musyrik Makkah memilih pola lama, membuat patung sebagai Tuhan dengang paradigma baru. Patung dipuja, diyakini sebagai Tuhan tapi tidak disembah total, melainkan hanya sebagai perantara untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah belaka.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
"ma na'buduhum illa liyuqarribuna ila Allah zulfa" (al-Zumar: 3).
Ayat kaji ini menjawab itu semua: "Jika benar ada Tuhan lain selain Allah SWT seperti yang mereka yakini, maka kenapa tidak langsung saja meminta kepada tuhan itu? Allah SWT adalah Tuhan sungguhan dan satu-satunya serta bersih dari persepsi mereka. Lalu, orang yang berziarah ke wali songo dan meminta-minta di sana dengan dalih sebagai wasilah saja, itu hukumnya bagaimana?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News