Oleh: Dr. KH A Musta'in Syafi'ie M.Ag
42. qul law kaana ma’ahu aalihatun kamaa yaquuluuna idzan laibtaghaw ilaa dzii al’arsyi sabiilaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Katakanlah (Muhammad), “Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya, sebagai-mana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang mempunyai ’Arsy.”
43. subhaanahu wata’aalaa ‘ammaa yaquuluuna ‘uluwwan kabiiraan
Mahasuci dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka katakan, luhur dan agung (tidak ada bandingannya).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
TAFSIR AKTUAL:
Di negeri ini, masalah di atas sangat sensitif, selain menyangkut tradisi juga karena terkait keimanan. Ada yang hobi ziarah kubur, bahkan menjadi ajaran, anjuran, dan agenda kegiatan. Penulis pernah ditanya soal ucapan seorang penghobi ziarah: "Siapa yang sudah tujuh kali ziarah ke wali songo, maka pahalanya sama dengan satu umrah". Tentu itu salah dan mengada-ada, Hoax.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Memang ada dalil-dalil ziarah kubur, kuat, dan bisa dibenarkan. Ada dari sunnah qauliyah dan sunnah fi'ilyah, ada dari amalan sahabat dan para ulama shalih juga disebutkan. Juga ada hikmah yang bagus dan penting diambil.
Ziarah kubur berfaidah untuk mengingatkan kematian. 'tudzakkkir al-maut'. Dengan ziarah kubur diharap pelakunya semakin bertaqwa, makin-hati-hati dalam berbuat, makin shalih dan makin bagus Ibadahnya, makin tambah pula sedekahnya. Perkoro kenyataannya pancet, itu soal lain.
Sesungguhnya soal ziarah kubur, rata-rata ilmuwan memandang baik, meski ada catatan. Yang sering muncul dan panas adalah soal tawassul dengan orang mati, orang yang dikubur, yang diziarahi. Hal ini karena dekat sekali dengan kemusyrikan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Kaum sunny yang digemari oleh kaum nahdliyin negeri ini memandang baik dan sunnah. Makanya, ziarah kubur di desa-desa menjadi tradisi dan kuburan para wali marak diziarahi, bahkan menjadi obyek wisata. Agar terkesan beda dengan destinasi wisata maksiat, maka dilabel dengan nama "wisata religi".
Mereka tahlilan, yasinan, dan baca-baca kalimah tayyibah di kuburan, lalu bertawassul, wasilah, berdoa meminta kepada Allah SWT lantaran wali yang diziarahi itu. Beda-beda tipis, tapi tetap beda dengan gaya orang-orang musyrik yang ketika ditanya, kenapa menyembah berhala? Mereka menjawab: "kami tidak menyembah mereka, melainkan hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah".
Di sini, bagi penghobi ziarah wali songo, kiainya wajib melakukan edukasi yang tepat dan mantap kepada jamaah yang notabenenya kaum awam. Wajib mewanti-wanti, bahwa para wali itu manusia biasa yang shalih, tidak punya kuasa dan tidak boleh dimintai apa-apa. Tetap meminta kepada Allah SWT saja, lain tidak, sementara wali di kuburan hanyalah dijadikan peziarahan dan bukan tujuan permintaan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Edukasi ini wajib dilakukan secara intensif, utamanya setiap kali ziarah berlangsung. Jika tidak dan hanya dianggap sudah mengerti, maka jika ada blesetnya keimanan, maka yang berdosa tidak hanya peziarahnya, melainkan juga sang kiai pemimpin rombongan. Inilah teori "jalb al-mashalih" setelah "al-mafasid" dipastikan bisa dihindari, bersih dan tidak ada. Boleh ziarah, boleh tawassul, asal benar dan aman.
Sebagian kawan-kawan muslim tidak selera dengan pola di atas dan tidak mau mengambil risiko. Maka tidak suka ziarah kubur. Ya, karena risiko tersebut. Soal berdoa untuk sesama muslim yang sudah wafat, tetap mau karena ada dasar. Lha wong shalat janazah, shalat ghaib yang isinya memintakan ampunan, di mana yang dishalati juga sudah mati diyakini pahalanya tembus dan bermanfaat, maka apa bedanya dengan doa untuk orang yang sudah lama mati di kuburan?
Sebagian lagi ada sedulur muslim yang cukup keras dan mengharamkan ziarah kubur. Dasarnya, selain dalil-dalil menurut tafsir sendiri, juga adanya risiko kemusyrikan tadi. Daripada mengkhawatirkan adanya "masfadah dalam mashlahah", maka mereka memilih radikal dan frontal, haram dan ditinggalkan serta melarang umat berziarah kubur, juga tidak mau kirim doa, karena dianggap tidak ada manfaatnya bagi mayit. Mereka mengutamakan peniadaan sesuatu yang diduga ada mafsadah (syirik) meskipun dengan membabat bersih sisi maslahah (doa).
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Kita wajib menghormati perbedaan pendapat dan tidak boleh mengolok-olok pendapat orang lain. Yang sering terjadi adalah merasa pendapatnya paling benar sendiri dan satu-satunya, sehingga merasa wajib menyampaikan kepada umat dengan tegas dan terbuka seperti kewajiban melarang kemungkaran.
Ziarah kubur dan tawassul dianggap munkar yang harus dibasmi. Jika itu dipaksakan, maka yang dimusyrik-musrikkan tidak bakalan menerima, karena merasa beriman dan tidak merasa musyrik, masih shalat, masih puasa, dan seterusnya. Ketersinggunangan mayoritas dan kemapanan keyakinan umat perlu dijaga, meski dakwah juga wajib dilakukan. Berilmu saja tidak cukup, apalagi ilmu sepihak, masih perlu dilengkapi kearifan.
Lihat, kurang wahabi apa pemerintah Arab Saudi dan kurang benci apa mereka terhadap ziarah kubur, tapi tetap membiarkan para peziarah ke makam Rasulullah SAW, ke kuburan Baqi', ke Badar dan lain-lain. Tidak ada ulama wahabi yang berceramah di makam-makam tersebut dan melarang. Padahal mereka bisa melarang dan menutup, bahkan bisa menembaki peziarah yang membandel.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News