JOMBANG, BANGSAONLINE.com - Pesantren Tebuireng memang sering kontroversial dalam melakukan pembaharuan pendidikan Islam. Namun kontroversi itu kemudian justru banyak ditiru bahkan jadi “contoh model” yang secara massif ditiru dan praktikkan pesantren-pesantren lain.
Sejarah mencatat, tahun 70-an dunia pesantren masih menganggap tabu menghadirkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di pondok pesantren. Saat itu lembaga pendidikan formal pesantren identik dengan Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA).
Baca Juga: Digawangi Perempuan Muda NU, Aliansi Melati Putih se-Jatim Solid Menangkan Khofifah-Emil
Pengasuh Pesantren Tebuireng saat itu KHM Yusuf Hasyim mengambil langkah berani. Ya, Pak Ud – panggilan akrab KHM Yusuf Hasyim – pada 1975 mendirikan SMP dan SMA di Tebuireng dengan memberi nama SMP dan SMA A Wahid Hasyim, nama kakak tertua Pak Ud, yang tak lain, putra pertama Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari. Kiai A Wahid Hasyim juga ayahanda KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Gus Sholah.
Bagaimana respons masyarakat terutama para kiai pimpinan pesantren?
Seperti sudah diduga, sindiran dan kecaman mengalir. Saya masih ingat ketika kiai-kiai menyindir Pak Ud selaku pengasuh pesantren Tebuireng. Mereka menilai Pak Ud telah melakukan pendangkalan ilmu agama di pesantren.
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Namun sejarah membuktikan, kini mindset para kiai pesantren berbalik 180 derajat. Sekarang hampir semua pesantren mendirikan SMP, SMA, SMK dan lembaga pendidikan lainnya.
Begitu juga soal film. Pada tahun 80-an hampir semua kiai mengharamkan nonton film, apalagi memproduksi film. Tapi lagi-lagi Pak Ud melawan arus. Pak Ud menerima tawaran main film bertitel “Sembilan Wali” (Wali Songo) pada 1985.
Apa alasan Pak Ud menerima tawaran jadi “figur wali” dalam film itu? “Film itu ibarat gelas. Tergantung isinya,” kata Pak Ud penuh keyakinan. Artinya, kalau gelas itu diisi racun, maka akan mematikan, tapi kalau diisi madu, akan menyehatkan.
Baca Juga: Khofifah: Muhammadiyah Pilar Kemajuan Bangsa dan Umat
Film “Wali Songo” itu disutradarai Djun Saptohadi. Dalam film yang diproduseri Ram Soraya itu Pak Ud berperan sebagai Syaikh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik). Film ini bercerita tentang dakwah Wali Songo di tanah Jawa dengan latar belakang pemerintahan (kerajaan) Majapahit yang mulai suram.
Tapi sayang dalam film yang naskahnya ditulis H Alim Bachtiar itu Pak Ud ditampilkan hanya dalam beberapa menit. Padahal dalam promo baliho, wajah Pak Ud yang bersorban itu paling besar dan menonjol. Bahkan santri-santri senior Tebuireng yang dilibatkan dalam shoting film tersebut hanya terlihat dalam sekejap.
Tentu banyak penonton kecewa, karena Pak Ud hanya dijadikan figur promo. Padahal publik umumnya ingin menonton figur Pak Ud yang kharismatik. Meski demikian gaung film ini luar biasa pada tahun 80-an itu. Maklum, selain penuh kontroversi tentang keterlibatan seorang kiai dalam film tersebut juga dalam poster itu foto Kiai Yusuf Hasyim dipampang secara menyolok dan paling besar di antara deretan pemeran walisongo lainnya.
Baca Juga: Menangkan Pasangan SAE, Ratusan Kader dan Pengurus DPD PAN Sidoarjo Rapatkan Barisan
Jadi jelas, film “Jejak Langkah 2 Ulama” yang diproduksi Pesantren Tebuireng sejatinya “kesinambungan kultural” dari lompatan besar kebudayaan pesantren, terutama pesantren yang kini diasuh Gus Sholah ini. Bahkan jauh sebelum Kiai Yusuf Hasyim, juga muncul alumni Pesantren Tebuireng yang eksis sebagai sutradara film. Namanya Abnar Romli, singkatan dari Abu Nawar Romli.
Seniman asal Pakembaran Slawi Jawa Tengah itu telah menyutradarai puluhan film pada tahun 70-an. Antara lain: Babat Tanah Leluhur, Mayat Hidup, Donat Pahlawan Pandir, Setitik Noda, Batas Impian dan banyak lagi.
Dalam curriculum vitaenya, Abnar Romli disebut santri Pesantren Seblak Jombang. Letak Pesantren Seblak sekitar 300 meter ke arah barat Pesantren Tebuireng. Pesantren Seblak didirikan oleh KH Ma’shum Ali atas perintah Hadratussyaikh KHM Hasyim Asy’ari untuk menampung santri putri. Kiai Ma’shum Ali adalah santri generasi awal Hadratussyaikh yang kemudian diambil menantu. Kiai Ma’shum Ali dinikahkan dengan Nyai Khoiriyah, putri pertama Hadratusyaikh. Kiai Ma’shum Ali sendiri cucu KH Abdul Jabbar, pendiri Pesantren Maskumambang Gresik Jawa Timur.
Baca Juga: Panas! Saling Sindir soal Stunting hingga 'Kerpek' Catatan Warnai Debat Terakhir Pilbup Jombang 2024
Kakak kandung KH Adlan Ali (pendiri Pesantren Walisongo Cukir Jombang) ini selain dikenal sebagai ahli falak dan hisab juga pengarang Kitab Al- Amtsilah at-Tashrifiyyah (Sharaf) yang sangat populer di dunia pesantren.
Karena itu tidak heran jika kini banyak santri Tebuireng kreatif dan produktif, baik sebagai penulis, pengarang, wartawan, sutradara maupun kreator budaya lainnya. Barakallah. (em mas’ud adnan/habis)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News