Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
70. Walaqad karramnaa banii aadama wahamalnaahum fii albarri waalbahri warazaqnaahum mina alththhayyibaati wafadhdhalnaahum ‘alaa katsiirin mimman khalaqnaa tafdhiilaan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.
TAFSIR AKTUAL
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Setelah mewarning manusia durhaka dengan berbagai azab yang bisa datang sewaktu-waktu, baik saat di darat maupun di laut, kini Tuhan membelai anak cucu Adam tangan kasih dan menyervisnya dengan berbagai pemanjaan. Ada empat item ditutur pada ayat ini, yakni:
Pertama, al-takrim atau pemuliaan. "walaqad karramnaa banii adam". Pemuliaan manusia sebagai makhluq Tuhan berderajat paling tinggi. Lalu, apa bentuk "takrim" tersebut? Yang paling disepakati oleh ulama' adalah dianugerahi akal sehat dan bentuk fisik yang sempurna.
Dengan piranti demikian, maka manusia layak diamanati mengemban agama. Dengan agama itu, manusia yang taat akan mendapat kebaikan dan derajat tinggi, melampaui derajat malaikat. Sementara yang durhaka bakal sengsara dan ndelosor di bawah derajat hewan melata.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Sisi fisik, makhluq apapun tidak ada yang lebih sempurna melebihi manusia. Tampilan menjadi makin keren setelah dilengkapi dengan pakaian, aksesoris, dan perhiasan. Sekian ribu model pakaian dan aksesoris untuk pria dan wanita, tradisional, dan modern. Kacamata menambah tampan dan topi membuat trendy. Hal mana tidak akan seindah itu bila dikenakan pada binatang. Paling, membuat lucu dan terkesan dipaksakan.
Kedua, haml, (wahamalnaahum fii albarri). Diservis bisa menikmati segala fasilitas Tuhan, baik di darat maupun di laut. Di darat, sangat maklum. Kita bisa berbuat apa saja, bikin rumah, berdagang, rekreasi, berkendara, berolah raga, berpesta, tahlilan, yasinan, kampanye, dan lain-lain.
Kini, di laut juga serupa adanya. Manusia bisa plesiran, diving, snorkling, fishing, sailing, bahkan berbulan madu di kapal mewah. Malah ada yang melangsungkan akad nikah dan pesta di kedalaman laut. Tidak sama dengan hewan. Hewan darat tidak bisa menikmati alam laut, dan hewan laut tidak bisa menikmati alam darat.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Ketiga, rizq, (warazaqnaahum mina alththhayyibaati). Dianugerahi rezeki yang bagus-bagus dan sangat bervariasi. Sementara binatang hanya mengomsumsi makanan yang dicipta khusus baginya, lain tidak. Maka tidak ada ceritanya ayam makan rujak cingur meski selapar apapun. Ayam lebih ikhlas ditakdir mati kelaparan ketimbang makan makanan yang tidak sesuai dengan kurikulumnya.
Manusia justru layak disebut sebagai pemakan segala dan memang begitu adanya. Maka manusia bisa hidup sehat dan bagus karena mau makan segala dengan bijak dan benar, tetapi juga bisa cepat legrek dan mati karena memakan segala dengan nafsu dan ngawur.
Bahasa yang dipakai oleh ayat ini sangat mengagumkan, mengandung rahasia makna yang relevan dan matching. Parhatikan, bahwa bahasan pokoknya adalah soal makanan (rezeki). Bahasa sapa yang dipakai adalah anak Adam, manusia (bani Adam), lintas agama, dan lintas apa-apa.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Lalu, jenis makanan yang dikonsumsi dipakai kata " al-thayyibat ", makanan yang baik, yang bermanfaat bagi kesehatan, bukan dengan bahasa "halal" yang konotasinya kepada hukum syari'ah. Al-tahyyibat (bagus) lawannya al-khabitsat (buruk) yang mana konotasinya lebih pada materi atau bahan yang dimakan, sedangkan halal dan haram, konotasinya lebih kepada religi.
Artinya, soal makanan baik dan buruk, bergizi, dan tidak bergizi, bermanfaat bagi kesehatan dan tidak bermanfaat adalah lintas dan berlaku umum bagi semua manusia, tidak pandang agamanya apa. Di sini, hukum makanan berlaku sesuai sunnatullah. Yang taat, berefek baik dan yang melanggar berakibat buruk. Dan, Rasulullah SAW telah mencontohkan pola makan yang baik, maka wajar kesehatan beliau sangat baik.
Muslim atau kafir, bertaqwa atau durhaka, waktu mau makan pakai "bismillah" atau tidak, jika seseorag menjaga pola makan yang sehat dan bagus, maka tentu berefek kesehatan yang bagus. Meski dia waliyullah dan saat makan semua kalimah thayyibah dibaca, apalagi sekadar kiai atau ustadz, jika pola makannya ngawur dan buruk, maka kesehatannya akan memburuk.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Seorang teman piawai dalam bidang tilawah al-qur'an, santrinya bagus-bagus dan berprestasi. Walhasil, tak diragukan pengabdiannya kepada ngaji al-qur'an. Sayang, pola makannya sembrono. Malam hari menjelang tidur, masih saja menyantap makanan kesukaan, gule atau nasi kebuli. Maklum kiai, makanan yang disuguhkan selalu enak-enak, gule kepala kambing, otak, udang, cumi, dan lain-lain. Buah juga begitu, durian, anggur, mente, dan sebagainya.
Lalu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit dan sembuh. Telah diwanti-wanti, saat di rumah agar tetap menjaga pola makan. Ternyata sering bertengkar dengan istrinya gara-gara makan. Istri menasihati, dia malah memelototi. "Sudahlah, semua itu takdir... Mati yo mati".
Merasa gagal meminta makanan kesukaan kepada istri, lalu memaksa anaknya segera membeli gule di warung sebelah dan menyantap sepuasnya. Langsung dilarikan ke rumah sakit dan selesai. Di sini, Malaikat kebingungan, karena bertarung antara takdir ajal tiba dan aroma kesengajaan bunuh diri. Semoga Allah SWT mengampuni.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Uraian ini berfokus pada sunnatullah akaliah dan berorientasi pada hukum sebab-akibat, tanpa menafikan sunnatullah sisi lain. Bahwa benar, di samping sebuah sunnatullah ada sunnatullah yang lain. Di samping hukum rasional ada supra rasional. Memakan kaca, paku, dan silet, rasionalnya akan berdampak buruk dan kematian. Tapi beberapa adegan ternyata tidak demikian. Ya, tetapi begitu itu tidak bisa dijadikan general rule dan kebiasaan. Coba saja terus menerus makan silet... (?).
Manusia memang dikaruniai akal sehat, jauh lebih sempurna dibanding akal para binatang. Mestinya, dalam urusan makan lebih selektif dan bijak dibanding hewan. Tapi nyatanya tidak, justru umumnya manusia lebih ngawur ketimbang binatang dan binatang jauh lebih disiplin dan selektif.
Seorang ilmuwan yang kejengkelen dengan ngawurnya manusia terkait pola makan yang nyatanya membawa petaka dan berujung kematian. Lalu dia menulis buku tentang pola makan. Dijelaskan betapa perlunya pola makan yang sehat dan betapa bahayanya pola makan yang tidak sehat. Buku itu berjudul,"KUL wa MUT", Makan sesukamu dan setelah itu Matilah kamu.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Keputusan Bijak untuk Sengketa Peternak Kambing Vs Petani
Keempat, tafdlil (wafadhdhalnaahum ‘alaa katsiirin mimman khalaqnaa tafdhiilaan). Tafdlil itu unggul. Secara umum, manusia lebih unggul dibanding semua makhluq, termasuk atas jin, malaikat, hewan, dan semua alam. Keunggulan ini tidak secara spesifik, melainkan general. Lihat, manusia bisa menguasai hewan, termasuk gajah, singa, ular, dan lain. Tapi tidak ada hewan bisa menguasai manusia.
Tapi jangan dilihat secara per item, per spesifik. Contoh, kelebihan gajah ada pada kekuatannya. Tentu saja jika dengan tangan kosong, manusia diadu dengan gajah, maka pasti menang gajah. Begitu pula melawan singa. Kelebihan ayam jago ada pada kejeliannya melihat gaib. Ayam bisa melihat malaikat, karena dianugerahi ultra violet pada kornea matanya. Makanya Nabi Muhammad SAW bersabda: "You, jika mendengar ayam jago berkokok, maka memohonlah ampunan kepada Allah, karena dia sedang melihat malaikat lewat".
Kelebihan Jin ada pada kecepatan gaibnya, kekuatan dahsyat yang lintas fisik. Secara sendiri-sendiri kita bisa kalah cepat balapan lari dengan Jin. Tetapi jika antara manusia ahli dan jin ahli, maka manusia lebih unggul. Nabi Sulaiman A.S. bisa menguasai Jin, tapi Jin tidak bisa menguasai Nabi Sulaiman. Lha kok ada manusia dikuasai Jin, kesurupan, gila, dan lain?
Ya, banyak sebab. Bisa jadi, dia sengaja menghambakan diri sehingga tunduk kepada Jin yang dipuja. Bisa jadi karena kosongan dan tidak meminta perlindungan kepada Allah SWT dan bisa jadi dia main-main, bercengkerama, dan kalah.
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News