Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
70. Walaqad karramnaa banii aadama wahamalnaahum fii albarri waalbahri warazaqnaahum mina alththhayyibaati wafadhdhalnaahum ‘alaa katsiirin mimman khalaqnaa tafdhiilaan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.
TAFSIR AKTUAL
Kini persoalan terkhusus pada daging anak manusia. Bolehkah saat darurat, kita memakan manusia untuk mempertahankan hidup?
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Pertama, tidak boleh secara mutlak. Dasarnya adalah kemutlakan ayat studi ini (70), di mana Tuhan bersumpah sungguh telah memuliakan anak Adam (manusia). Kata memuliakan (karramna) tentu menjunjung tinggi dan menghormat, baik secara fisik maupun nonfisik. Artinya, fisik manusia itu terhormat dan bukan fisik dikonsumsi. Begitu halnya kata " Bani Adam " atau manusia yang lintas strata, agama maupun apa.
Dengan argumen ini, maka tidak boleh makan daging manusia, siapa pun dia, muslim atau kafir, apapun keadaannya, walau super darurat. Walau dia sudah memperhitungkan matang-matang: kalau makan, maka bisa hidup dan jika tidak makan, maka pasti mati.
Kedua, boleh dengan catatan. Yaitu, strata keimanan yang dimakan di bawah yang memakan. Jelasnya, jika yang dimakan itu wong kafir, maka boleh. Karena, meskipun sama-sama dihormat Tuhan, tapi penghormatan itu ada tingkatannya. Manusia yang beriman kepada Allah SWT tentu lebih mulia dibanding yang kafir. Lalu ayat kaji tersebut dipahami sebagai ayat umum yang masih perlu ada pemahaman khusus, seperti saat darurat. Di sinilah dipakai teori komparasi, mana yang mesti didahulukan, nyawa orang beriman atau menghormat orang yang tak beriman?
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Di samping itu, beberapa pernyataan ayat maupun al-Hadis menunjuk betapa Allah SWT sendiri telah mengizinkan menghabisi nyawa atas orang tertentu. Seperti orang kafir yang jahat dan memusuhi. Pembolehan menghabisi nyawa mereka berarti penghancuran terhadap martabat mereka sebagai anak Adam. Maka secara agama, hilanglah haknya sebagai untuk dihormati.
Seorang pejuang zaman penjajah dulu bercerita tentang betapa gurihnya daging tentara Belanda. Ceritane dos pundi pak?
Begini, dulu kita kan gerilya, masuk hutan dan lapar berhari-hari. Nah, saya berhasil menangkap seorang Belanda di pinggir hutan, saya bunuh, saya sayat pahanya, saya bakar, saya jadikan sate. Waw, kemrongsong, lemaknya banyak, dan rasanya gurih banget.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Di sini, hukum nyate paha belanda hukumnya boleh dan halal. Ya, karena yang makan pejuang santri dan muslim, sedangkan yang dimakan belanda kafir dan menjajah. Tapi sebatas kebutuhan. Tidak boleh sampai kenyang dan menikmati. Ini kan situasi darurat, maka sebatas bisa bertahan hidup saja. Siapa tahu nanti ada makanan halal. Kalau ternyata tidak kunjung ada makanan halal dan sangat-sangat lapar lagi, ya nyate lagi. Tapi tetap sebatas kebutuhan.
Dua orang atau lebih sama-sama kelaparan dan sama-sama muslim. Dengan pertimbangan, daripada mati semua, lebih baik mati salah satu. Satu orang dibunuh untuk dimakan dagingnya, bolehkah?
Jawabnya tidak boleh. Pertama, karena masing-masing berderajat sama dan sama-sama terhormat di sisi Allah. Persoalan kematian adalah urusan ajal dengan berbagai sebab. Nyawa tidak boleh dipertahankan dengan cara mengambil nyawa orang lain yang dihormati Allah. Muslim wajib menghormat muslim.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Kedua, dengan pasrah yang mentok kepada Allah SWT, disertai usaha sebisanya, sangat mungkin Allah akan memberi jalan keluar yang tak pernah terduga. Sehingga ada saja makanan halal yang bisa dikonsumsi untuk mempertahankan nyawa. Ikutilah cerita berikut:
Kawanan pemuda kelaparan di tengah hutan dan tak berdaya. Hanya bisa pasrah total kepada Tuhan tanpa pikiran membunuh temannya. Tiba-tiba ada seekor macam singa yang datang membawa rusa anakan yang sudah dicederai, masih hidup, tapi tidak bisa berjalan. Tinggal menyembelih saja. Rupanya sang singa diutus Tuhan memberi mereka konsumsi yang halal.
Ketika sedang ke pedalaman Riau, penulis bertemu sendiri dengan pemuda desa yang pernah dihadiahi oleh singa seekor anak rusa yang sudah dicederai. Hal itu sebagai ucapan terima kasih dari sang induk, karena si pemuda telah menolong anak singa yang terjepit di antara pepohonan. Kisah senada tidak asing lagi di kalangan orang pedalaman.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Dua orang terdampar di laut lepas karena perahu pecah. Semua kawannya sudah mati dan hilang, kecuali mereka berdua yang bertahan hidup di atas sebilah papan. Seorang di antaranya mati karena tidak mampu menahan dingin dan lapar. Seorang yang masih hidup terpaksa memakan jari kawannya yang telah mati. Tapi akhirnya dia menyesal bukan main. Lalu pasrah kepada Allah dan ikhlas andai ditakdir mati juga.
Subhanallah, tiba-tiba ada ikan melenggang lunglai, mendekat, dan menghampiri, seolah menyerahkan diri untuk ditangkap dan dikomsumsi. Ditangkaplah ikan itu dan dimakan seadanya. Akhirnya bertahan hidup dan selamat dengan pertolongan nelayan lain. Allah a'lam.
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News