GRESIK, BANGSAONLINE.com - Gilang Adiwidya (45), Anggota Perkumpulan Kaum Giri/Makam Sunan Giri menilai pembangunan landmark Gajah Mungkur di perlimaan Sukorame yang dibangun Pemkab Gresik dari dana corporate social responsibilty (CSR) PT. Petrokimia Gresik (PG), menghilangkan filosofi aslinya bangunan cagar budaya.
"Saya katakan bahwa bangunan fisik Gajah Mungkur telah keluar dari filosofi aslinya sebagai bangunan cagar budaya," ujar Gilang Adiwidya kepada BANGSAONLINE.com, Jumat (17/1).
Baca Juga: Berhasil Terapkan Sistem Merit dalam Manajemen ASN, Pemkab Gresik Raih Penghargaan dari BKN
Menurut Gilang, merujuk bangunan rumah gajah mungkur di Kelurahan Pekelingan Kecamatan Gresik, harus memenuhi kriteria-kriteria cagar budaya sebagaimana diatur dalam pasal 5 Undang-Undang No 11 Tahun 2010, tentang Cagar Budaya. Yaitu, (1) berusia sekurang-kurangnya 50 tahun, (2) mewakili masa gaya sekurang-kurangnya berusia 50 tahun, dan (3) dianggap memiliki arti penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan.
Namun, kata Gilang, bangunan landmark Gajah Mungkur di perlimaan Sukorame keluar dari ketentuan itu. Bangunan landmark Gajah Mungkur tidak memperhatikan poin-poin dalam pelestarian cagar budaya. Sebab, bangunan landmark Gajah Mungkur telah mengubah bentuk Gajah Mungkur jauh dari keasliannya yang justru menghilangkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sebagai hewan Gajah ada telinga lebar, mata sipit, dan 4 kaki seperti patung Gajah yang dibangun menghadap rumah dan membelakangi Jalan Nyai Ageng Arem-Arem Kelurahan Pekelingan Kecamatan Gresik.
"Gajah Mungkur itu mengandung filosofi sangat dalam dibangun sebagai penolak bala bencana, pelindung, pengetahuan, kecerdasan, pelindung, dan kebijaksanaan yang terkenal. Hewan ini adalah Ganesha sebagai hewan suci orang Hindu," ujar dia.
Baca Juga: Harapan Bupati Gresik di Musrenbang CSR 2025
Gilang lantas menceritakan sejarah rumah Gajah Mungkur, yang merupakan rumah keluarga besar Gajah Mungkur H. Oemar Bin Ahmad. Rumah berlantai 2 itu dibangun pada masa kolonial Belanda oleh putra keempatnya yang bernama H. Djaelani pada tahun 1896.
Ia menceritakan berdasarkan penuturan Kiai Mukhtar Jamil Gresik, bahwa H. Jaleani sangat sakti karena bisa membangun rumah besar dengan luas 2.000 M. "Pada zaman kemasan Gajah Mungkur sampai tahun 85-an banyak Sarang Walet yang bisa diunduh di lantai dua sebagai sumber utama perekonomian keluarga Gajah Mungkur pada saat itu," katanya.
Untuk itu, Gilang menyayangkan dibangunnya landmark rumah dan Patung Gajah Mungkur oleh Pemkab Gresik tanpa tidak membicarakan terlebih dahulu dengan ahli waris Rumah Gajah Mungkur saat ini, Akhmad Choiri (39) yang juga pengusaha batik Gajah Mungkur.
Baca Juga: Pembangunan Gedung Labkesmas Tahap I Dinkes Gresik Rampung
Gilang juga mengkritik pernyataan Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Sekda Gresik, Ida Lailatussa’diyah, yang mengatakan bahwa desain Gajah Mungkur sengaja dibangun dengan bentuk tidak sempurna sebagaimana bentuk gajah pada umumnya.
Menurut Ida, landmark patung Gajah Mungkur sengaja dibentuk abstrak. Hal ini untuk menghormati Kota Gresik sebagai Kota Wali yang menjunjung ajaran Islam, di mana ada larangan membuat patung sesuatu bernyawa yang mirip bentuk aslinya. (hud/ns)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News