Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
110. Quli ud’uu allaaha awi ud’uu alrrahmaana ayyan maa tad’uu falahu al-asmaau alhusnaa walaa tajhar bishalaatika walaa tukhaafit bihaa waibtaghi bayna dzaalika sabiilaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Katakanlah (Muhammad), “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik (Asma‘ul husna) dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam salat dan janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.”
TAFSIR AKTUAL
' ... Wa la tajhar bi shalatik wa la tukhafit biha wa ibtaghi bain dzalik sabila". Saat shalat, bacaannya jangan keras-keras, tapi jangan terlalu lirih. Ya, yang sedang-sedang saja. Suara keras memang membuat semangat, tapi mengganggu lingkungan. Suara lirih, memang mendorong khusyu', tapi juga penyebab ngantuk.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Sabab nuzul ayat ini banyak versi, namun semua bermuara pada ibadah shalat atau berdoa dengan suara keras. Sesuai sifat surah yang Makkiyah, ayat ini turun ketika Rasulullah SAW melakukan ibadah shalat sendirian sambil umpetan, menyendiri dan di tempat sepi. Hal itu mengingat kondisi Makkah yang belum ramah terhadap Islam.
Tapi, ketika sebagian sahabat yang sudah memeluk Islam ikut bergabung atau shalat berjamaah, maka Nabi mengeraskan bacaannya. Saking semangatnya, hingga orang-orang kafir mendengar dan terganggu. Merasa kesal, para musuh Allah itu ngeluruk dan marah-marah. Nabi diumpat dan dicaci sebagai pengganggu ketenangan. Ayat ini turun menasihati nabi, agar bacaannya sedang-sedang saja atau kondisional.
Ayat ini sejatinya lebih fokus pada perkara etika, kepantasan, dan kepatutan. Bukan aturan mati, baku, dan kaku. Makanya, ketika Tuhan melarang bersuara keras (la tajhar) dan melarang juga bersuara sangat lirih (la tukhafit), Tuhan segera menyertakan perintah bersedang-sedang, sak madyo ae, (wa ibtaghi bain dzalik sabila).
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Ini adalah perintah cerdas, di mana seorang muslim mesti pandai membaca situasi. Kapan beribadah dengan suara keras dan kapan beribadah dengan suara lirih. Dari sabab nuzul tersebut bisa diteladani, baik sisi situasinya maupun gaya tegurannya. Itulah, maka para ulama' terdahulu memandang bagus, apabila kita sedang beribadah bareng, maka sang imam diperintah mengeraskan bacaan sewajarnya, yang kemudian diikuti oleh para makmum.
Tapi kalau sedang beribadah sendiri, maka cukup dengan suara lirih saja. Memimpin doa, harusnya dengan suara yang sekiranya bisa didengar oleh makmum. Jangan nggeremeng sendiri. Memang Tuhan maha mendengar, tapi jangan lupa anda sedang memimpin doa yang di-amin-i oleh orang bnayak. Mereka lega karena bisa mengikuti sekaligus mengontrol doa anda.
Dialah Abu Bakr al-Shiddiq, pribadi yang lembut dan berperangai sangat halus. Hal itu nular ke gaya ibadahnya. Abu Bakr suka sekali beribadah dengan suara lirih, bahkan sangat lirih. Seseorang bertanya: "Tuan kok lirih sekali kala beribadah?"
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Dia menjawab: "Ya, aku sedang membisik Tuhan".
Dialah Umar ibn al-Khattab, pribadi perkasa, keras, dan tegas tanpa kenal kompromi. Sikapnya ini ternyata nular ke gaya ibdahnya. Umar suka banget beribadah dengan suara keras. Ditanya: "Kok suara tuan keras sekali kala beribadah?"
Umar menjawab: "Ya, memangnya kenapa? Saya ini sedang mengusir setan dan membangkitkan semangat".
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata
Dua gaya bersuara itu berlangsung sesuai selera dan bebas-bebas saja. Begitu ayat kaji ini turun (110), ada anjuran khusus, agar Abu Bakar sedikit mengeraskan suaranya dan Umar menurunkan volumenya. Wa ibtaghi bain dzalik sabila. Rasanya tak bijak menggunakan dalil ayat ini untuk mem"BID'AH-BID'AH"kan wiridan bersama dengan suara keras. Sebab diam tanpa suara kala munajah bersama juga disayangkan.
Sekali lagi, ini ayat etika dan arahan kondisional. Meski begitu, sudah ada tasyri' yang mengikat, panduan baku, kapan suara dikeraskan dan kapan suara dalam bacaan ibadah dilirihkan. Semisal shalat maktubah di siang hari, dhuhur dan ashar, maka bacaannya lirih (sirriyyah). Tapi shalat Jum'ah tidak, malah dikeraskan. Kok begitu? Ya, itulah agama, titik.
Sedangkan shalat Maktubah malam hari, Maghrib, Isya', dan Subuh, bacaan dikeraskan (jahriyyah). Tapi kalau shalat sunnah, seperti witir dan tahajjud sendirian, dilirihkan. Tapi shalat tarawih berjama'ah, sunnah dikeraskan. Tuhan suka-suka memilih model dialog bersama hamba-Nya.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman
Kata pamungkas diutarakan Ibn Abbas: "inti ajaran ayat ini adalah ibadah itu ikhlas, hanya karena Allah SWT semata. Silakan keras dan terbuka, tapi jangan jatuh ke riya'. Dan jangan memburu lirih, sepi, lalu ibadah ditinggalkan".
Al-Hasan al-Basry menimpali: "Janganlah kalian membaik-baikkan shalat ketika shalat jahriyah, tapi buruk sekali saat shalat sirriyah".
Betul sekali nasehat syekh ini. Nyatanya, kalau kita sedang menjadi imam shalat jamaah, biasanya dibaik-baikkan, tertib, dan pelan. Shalat para makmum juga ikut baik. Tapi kalau kita shalat sendirian, biasanya cenderung agak cepat atau tidak sebaik saat shalat jamaah. Itulah hikmah shalat berjama'ah.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News