Tafsir Al-Kahfi 1-3: Penerima Kitab Suci itu Bergelar "Hamba"

Tafsir Al-Kahfi 1-3: Penerima Kitab Suci itu Bergelar "Hamba" Ilustrasi kursi untuk tamu VIP.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

1. Alhamdu lillaahi alladzii anzala ‘alaa ‘abdihi alkitaaba walam yaj’al lahu ‘iwajaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok;

2. Qayyiman liyundzira ba/san syadiidan min ladunhu wayubasysyira almu/miniina alladziina ya’maluuna alshshaalihaati anna lahum ajran hasanaan

Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik,

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

3. Maakitsiina fiihi abadaan

Mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.

TAFSIR AKTUAL

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Allah SWT membuka surah ini dengan pujian untuk Diri Sendiri. Dialah Tuhan yang menurunkan kitab suci al-qur'an kepada hamba-Nya, Muhammad Rasulullah SAW. Kitab suci yang lurus (qayyima), memandu manusia ke arah kebenaran dan kebahagiaan hidup dunia-akhirat. Tidak sedikit pun ada kebengkokan ('iwaja) maupun kesalahan.

Dalam ayat tersebut, kata "iwaja" didahulukan dan kata "qayyima" mendampingi. Meski berdempetan, tapi beda fungsi dan tidak berbanding lurus antar keduanya. Melainkan fungsi anti tesis demi memperjelas. Kata 'iwaja adalah obyek dari kata kerja sebelumnya (lam yaj'al lahu). Artinya, Tuhan tidak menjadikan al-qur'an sebagai kitab yang salah, menyimpang atau bengkok.

Lalu disambung dengan kata "qayyima" yang lepas dari statement itu dan kembali ke tema sentral, yakni al-qur'an. Jadinya, al-qur'an itu (bukan bengkok, melainkan) lurus (qayyima). Untuk itu, di celah-celah antara kata "iwaja" dan "qayyima", dalam al-mushaf diberi tanda "saktah", diam sejenak saja, tanpa napas, sebagai isyarat ada jedah makna.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Antara "waqaf" (berhenti membaca) dan "saktah" (diam sejenak) susah dibedakan dalam praktik, apalagi jika bacaannya cepat. Tapi secara kaidah digambarkan dengan tanaffus. Waqaf, berhenti membaca dan ambil napas, sedangkan saktah hanya diam sejenak tanpa ambil napas. Andai keduanya tanpa ambil napas? Ya boleh-boleh saja. Andai sama-sama ambil napas, ya tidak dosa. Pokok ngerti intinya, ya sudah.

Soal didahulukan pernyataan "tanpa ada salah" atau "walam yaj'al lah 'iwaja" dalam al-qur'an dan mengakhirkan pernyataan "qayyima" (lurus, benar) untuk menghapus keraguan meraka. Menghapus hal negatif yang bisa mengganggu keimanan wajib dilakukan terlebih dahulu sebelum langkah pemantapan. Anda hendak mengecat dinding? Demi menghasilkan pengecatan yang lebih baik, maka memberisihkan kotoran atau noda-noda harus dilakukan terlebih dahulu.

Teori ini ada pada langgam kalimah tawhid "La ilah illa Allah". Semua tuhan-tuhan palsu harus ditiadakan lebih dahulu, disteril hingga bersih dan kosong (nafyu al-jami'), baru dilakukan langkah itsbat, langkah penetapan, bahwa hanya Allah SWT sebagai Tuhan satu-satunya (illa Allah).

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

"al-hamd li Allah al-ladzi anzal 'ala 'abdih al-kitab". Pada awal surah ini, terbacalah bahwa Allah SWT yang menurunkan al-qur'an adalah Dzat yang maha terpuji (al-hamd Li Allah). Sedangkan nabi Muhammad SAW yang dianugerahi al-qur'an adalah hamba-Nya.

Itu artinya, hanya Tuhan saja yang secara hakiki berhak dipuji, lain tidak. Meski sederajat nabi dan dipilih sebagai manusia yang dianugerahi al-kitab, tetap saja seorang hamba. Nabi tidak berhak menerima pujian secara hakiki. Pujian bagi Tuhan itu mutlak dan memang selayaknya, sementara bagi selain-Nya, meski dia seorang nabi, itu hanyalah penghormatan belaka.

Maka, tidak pantas orang beriman senang dipuji, suka dielu-elukan, bangga disanjung dan sebagainya. Merasa besar jika disanjung, seketika itu dia menyaingi Tuhan secara tidak disadari. Maka benar fatwa sufistik yang menyatakan bawa "riya'" itu perbuatan syirik yang tak terlihat.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Cara Hakim Ambil Keputusan Bijak, Berkaca Saja pada Nabi Daud dan Sulaiman

Untuk menguji diri, apakah diri ini pribadi yang menyaingi Tuhan, suka dipuji atau tidak, silakan mengetes diri sendiri, ketika diri ini sedang tidak dihormati, di mana semestinya dihormati.

Jika anda seorang ustadz, kiai, atau penggede yang diundang menghadiri acara dan tidak ditempatkan di kursi depan, atau tangan anda tidak dicium kala salaman, lalu anda merasa sedikit kurang pas, atau anda sangat menikmati jika didudukkan di kursi penghormatan paling depan atau senang tangan anda diciumi hadirin, maka kala itu hati anda sedikit rusak, terindikasikan ada virus congkak di dalamnya.

Untuk itu, ayat berikutnya berbicara soal orang durhaka yang diancam dengan "ba's syadid", siksa yang pedih dan orang yang beramal kebajikan bakal mendapatkan pahala yang bagus, di surga kekal selamanya. Artinya, kita diperintahkan menghindari hal-hal kecik yang menyebabkan Tuhan murka dan beramal baik semurni mungkin, hanya dipersembahkan untuk Tuhan semata.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Memetik Hikmah dari Kepemimpinan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO