Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
4. Wayundzira alladziina qaaluu ittakhadza allaahu waladaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Dan untuk memperingatkan kepada orang yang berkata, “Allah mengambil seorang anak.”
5. Maa lahum bihi min ‘ilmin walaa li-aabaa-ihim kaburat kalimatan takhruju min afwaahihim in yaquuluuna illaa kadzibaan
Mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, begitu pula nenek moyang mereka. Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka hanya mengatakan (sesuatu) kebohongan belaka.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
TAFSIR AKTUAL
Awal surah bicara secara umum, tentang mereka yang kafir dan yang beriman. Masing-masing mendapat balasan sesuai kiprahnya. Ayat ini bicara secara khusus, mengancam mereka yang beranggapan bahwa Allah SWT punya anak. Orang yahudi meyakini bahwa Uzair adalah anak lelaki Tuhan, orang nasrani meyakini bahwa Isa ibn Maryam adalah anak lelaki Tuhan, dan orang kafir Quraisy Makkah meyakini, bahwa malaikat adalah anak perempuan Tuhan.
Lalu, dinyatakan oleh ayat nomor 5, bahwa keyakinan mereka itu asalnya dari mana?, dari kitab suci bukan, dari akal sehat juga bukan. Yang ada adalah dari pendahulu yang bodoh dan mengada-ada, entah siapa dia. Lalu diikuti begitu saja oleh generasi berikutnya tanpa pikiran yang waras dan tanpa akal yang sehat. "ma lahum bih min 'ilm wa la li 'aba'ihim".
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Mereka tidak akan bisa menyebutkan sumber teologisnya secara valid. Juga kakek siapa yang punya keyakinan tersebut, identitasnya apa, kapasitasnya bagaimana? Paling-paling emosi dan memutus, pokok'e nenek moyang dulu-dulu, titik. Dalam studi agama, keyakinan macam itu adalah ciri keyakinan primitif. Makanya, penghujung ayat menyatakan, apa yang mereka yakini adalah bohong 100 pesen. "in yaqulun illa kadziba".
Dikatakan sebagai Tuhan yang punya anak, Tuhan sangat kecewa berat, sehingga memandang ucapan mereka itu sungguh besar dosanya, besar bohongnya, besar efeknya kepada umat setelahnya. "kaburat kalimah takhruj min afwahihim". Maka para penyebar atau yang mempropaganda keyakinan itu sungguh kelak akan berhadapan dengan Allah SWT.
Di dunia saja tidak bisa mengutarakan alasan teologisnya, apalagi di hadapan Tuhan nanti. Sekarang, masih bisa bergaya, tapi nanti? Tidak main-main al-qur'an menyatakan, bahwa keyakinan mereka salah dan ucapan mereka itu bohong besar.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
Lihat, bagaimana keadaan orang bohong ketika di dunia ini. Pembohong, penipu, awal-awalnya bergaya dan elite, tapi setelah terbongkar kebohongannya dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya? Bisanya nangis, merunduk, dan menyesali. Dan sama sekali tak berguna. Apalagi jika dia pembohong keyakinan, malah parah lagi.
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News