Dalam tulisan edisi kedua, M Mas’ud Adnan menjelaskan Gus Sholah sebagai kiai manager yang sukses membenahi Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy). Unhasy yang semula keuangannya defisit jadi surplus. Kali ini wartawan HARIAN BANGSA ini menulis tentang kegalauan Gus Sholah soal pejabat korupsi. Padahal sebagian pernah nyantri. Selamat menikmati.
Redaksi
Baca Juga: Polemik Nasab Tak Penting dan Tak Ada Manfaatnya, Gus Fahmi: Pesantren Tebuireng Tak Terlibat
10. Mendidik Santri Berakhlak dan Berkarakter
Suatu ketika Gus Sholah mengungkapkan keheranannya terhadap beberapa alumni pesantren yang terlibat korupsi ketika jadi pejabat. “Saya heran kenapa ya. Apa yang salah dengan pendidikan pesantren,” kata Gus Sholah kepada saya.
Gus Sholah sangat penasaran. Maklum, beliau selain pengasuh pesantren juga terkenal sebagai tokoh nasional bersih dan anti korupsi. Beliau terus berpikir tentang masa depan para santri sebagai generasi bangsa.
Baca Juga: Terima Dubes Jepang untuk Indonesia, Pj Gubernur Jatim Bahas Pengembangan Kerja Sama
Kebetulan saat itu terjadi peristiwa beberapa anggota DPR bahkan ketua DPRD yang alumni pesantren dipenjara karena korupsi. “Mungkin karena tidak ada internalisasi nilai agama, Gus. Agama hanya dipahami secara kognitif,” kata saya.
Gus Sholah menyatakan bahwa perlu mencari sistem pendidikan yang bisa menempa moral para santri sehingga punya karakter kuat.
Tak lama kemudian. Saya bertemu lagi dengan Gus Sholah. Saat itulah beliau mengaku sedang menyelenggarakan pelatihan untuk membentuk akhlak dan karakter santri.
Baca Juga: Silaturahmi ke Keluarga Pendiri NU, Mundjidah-Sumrambah Minta Restu
Nah, tampaknya Gus Sholah sudah menemukan jawabannya: pejabat korupsi – termasuk yang pernah nyantri – karena akhlaknya keropos dan tak punya karakter. Faktanya, banyak pejabat tapi tidak bermental pemimpin. Tak berkarakter. ”Kekuatan pesantren ada pada pembinaan akhlak atau karakter santri di pondok,” kata Gus Solah kepada saya, Rabu malam. Saat itu tanggal Juli 2016.
Adik kandung presiden ke-4 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu lalu bercerita tentang upayanya selama ini mencari pembina santri yang baik namun sulit ditemukan.
”Setelah pusing mencari pembina yang baik, tahun lalu saya punya ide membuat diklat (pendidikan dan latihan) kader pesantren,” tutur insinyur lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu. Pernyataan Gus Sholah itu lalu saya buat berita di BANGSAONLINE.COM.
Baca Juga: KPK Geledah Rumah Dinas Abdul Halim Iskandar
Gus Sholah serius sekali untuk membangun karakter santri ini. Buktinya, ia membangun gedung senilai Rp 1,5 miliar untuk sarana diklat kader pesantren ini.
Gus Sholah kemudian menyusun kurikulum khusus selama 6 hingga 7 bulan. Kurikulum ini ketat karena menyangkut kedisiplinan santri juga.”Dimulai dengan latihan militer,” katanya.
Agar latihan kader pesantren di Tebuireng ini efektif dan aplikatif, maka sistemnya dibuat perpaduan antara teori dan praktik. ”Dua bulan di ruang kelas. Satu bulan lagi magang di berbagai pesantren. Seperti di pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren Gontor Ponorogo, Pesantren Ploso Kediri dan sebagainya,” ceritanya.
Baca Juga: Babak Baru Kasus Korupsi Hibah Pokmas DPRD Jatim: KPK Periksa 18 Ketua Pokmas Gresik
Lalu yang satu bulan lagi secara khusus membahas hasil magang, fokus pada pembinaan karakter.
Gus Solah mengungkapkan bahwa diklat kader pesantren tersebut sudah berjalan efektif sejak Februari-Mei 2016.”Pagi ini sampai Desember angkatan ke-2,” tutur mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesa (PMII) itu.
Biaya untuk diklat kader pesantren ini cukup besar. ”Satu angkatan biayanya sekitar Rp 175 juta,” tutur mantan ketua PBNU dua periode itu. Tentu ini ditanggung pesanren Tebuireng.
Baca Juga: Ziarah ke Makam Pendiri NU, Khofifah: Gus Dur dan Gus Sholah itu Guru Saya, Beliau Sosok Istimewa
Siapa pesertanya? ”Mahasiswa semester 8 sampai 9 dari Ma’had Aly dan Unhasy atau yang baru tamat,” tutur Gus Solah. Unhasy adalah Universitas Hasyim Asy’ari di bawah naungan Pesantren Tebuireng.
Sedang Ma’had Aly adalah lembaga pendidikan tinggi di pesantren Tebuireng yang materi pelajarannya khusus ilmu agama tingkat tinggi. Ma’had Aly ini khusus mencetak kiai atau intelektual muslim dengan penguasaan kitab-kitab kuning secara mumpuni.
Ya, itulah salah satu watak Gus Sholah. Selalu berpikir tentang kualitas, akhlak dan karakter santri sebagai generani masa depan bangsa.
Baca Juga: Persiapan Konferwil NU Jatim Capai 100 Persen, Pembukaan Siap Digelar Malam ini
11. Waspada Santri Bertubuh Pendek Berotak Kecil
Gus Sholah memang sangat fokus dan detail dalam memimpin pesantren. Bahkan Gus Sholah mengamati para santri secara cermat. Pada tahun 2013, Gus Sholah mengaku melihat ada beberapa santri baru di Pesantren Tebuireng bertubuh pendek. Menurut Gus Sholah, tubuh pendek akan berpengaruh terhadap perkembangan otaknya “Anak bertubuh pendek berotak kecil,” kata Gus Sholah.
Karena itu, Gus Sholah minta agar santri baru di Tebuireng diukur tinggi badannya untuk memastikan sesuai standar normal atau tidak. “Mungkin baru Tebuireng satu-satunya pesantren yang melakukan ini,” kata Gus Sholah.
Baca Juga: Ponpes Tebuireng Siap Gelar Konferwil NU XVIII
Santri yang berbadan pendek, kata Gus Sholah, lalu diberi obat, nutrisi, dan zat besi agar normal. Mereka terus dipantau perkembangannya.
Gus Sholah tak hanya peduli pada kesehatan dan kecerdasan generasi santri di pesantren yang diasuhnya. Ia juga minta para pengurus pondok mencari ibu-ibu hamil yang kurang nutrisi dan gizi di sekitar Pesantren Tebuireng untuk dibantu agar bayinya lahir sehat.
“Alhamdulillah jumlahnya kecil,” tutur Gus Sholah saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional bertema “Menuju Indonesia yang Adil dan Makmur” di Guest House Institut KH. Abdul Chalim di Pondok Pesantren Amantul Ummah Pacet Mojokerto, Jumat (26/7/2019).
Saat itu saya (penulis) hadir dalam seminar yang juga menampilkan KH Asad Said Ali, mantan Wakil Kepala BIN dan mantan Wakil Ketua Umum PBNU itu. Hadir juga Prof Dr KH Asep Saifuddin Chalim sebagai tuan rumah.
12. Tak Punya Rasa Gengsi
Gus Sholah tak punya rasa gengsi. Buktinya, saat ditunjuk sebagai pengasuh Pesantren Tebuireng, beliau langsung melakukan studi banding ke berbagai pesantren. Padahal umumnya seorang kiai enggan “blusukan” ke pesantren lain, terutama karena merasa sudah jadi “raja” di pesantrennya sendiri. Apalagi pesantren besar dan populer sekaliber Tebuireng.
Gus Sholah justru sebaliknya. Beliau tanpa kenal lelah silaturahim ke pesantren-pesantren lain. Untuk mempelajari keunggulan-keunggulannya. Bahkan Gus Sholah tak segan-segan mengambil santri-santri senior dari pesantren lain. Untuk dijadikan pembina di Pesantren Tebuireng.
Hasilnya sangat positif. Terjadi akulturasi pesantren. Selain itu kebiasaan positif di pesantren lain bisa dipraktikkan di Tebuireng.
Nah,kecermatan Gus Sholah dalam melakukan proses akulturasi itu yang kemudian menjadi “nilai tambah” sistem pendidikan, disamping sistem pendidikan yang sudah mapan di Tebuireng. (m mas’ud adnan/bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News