Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*
21. Unzhur kayfa fadhdhalnaa ba’dhahum ‘alaa ba’dhin walal-aakhiratu akbaru darajaatin wa-akbaru tafdhiilaan
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Perhatikanlah bagaimana Kami melebihkan sebagian mereka atas sebagian (yang lain). Dan kehidupan akhirat lebih tinggi derajatnya dan lebih besar keutamaan.
TAFSIR AKTUAL
Ayat sebelumnya berkisah tentang pemuda goa bersama anjing mereka lari ke goa terpencil, demi menyelamatkan iman mereka. Lalu keluar ke desa membeli makanan setelah tidur 309 tahun. Kita tahu anjing itu tidak beragama, tapi ikut dimuliakan kayak majikannya, karena dia berbakti. Itu namanya keramat gandhul. Sama dengan ayam kiai yang lebih dihormat ketimbang ayam tetangga, yang terkenal jahat.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia
Budaya arab memandang anjing sebagai simbol kecerdasan dan kepatuhan tingkat tinggi. Mereka bangga sekali jika berjuluk "anjing". Di kalangan sahabat, ada Dihyah al-Kalby, di kalangan Tabi'in ada mufassir ulung berjuluk al-Kalby, ada syekh al-Kalbany, bahkan kakek Rasulillah SAW ada yang bernama Kilab. Bentuk jamak dari kata "kalb". Maknanya anjing-anjing.
Kontra banget dengan budaya negeri ini. Anjing justru binatang super najis atau mughalladhah. Seseorang menjadi sangat tersinggung dan marah besar bila diidentikkan dengan anjing. Rupanya ada efek dari doktrin fikih Syafi'iy yang me-najismughalladhah-kan anjing, hal mana tak kan terjadi demikian andai yang masuk di negeri fikih Maliky.
Anjing yang divonis sebagai najis mughalladhah itu tidak mengerti "najis itu apa". Juga tidak paham dirinya itu najis atau bukan. Andai bisa protes, maka anjing berkelas akan mengolok kita: Hai orang Islam, hai ustadz, kiai madzhab syafi'iy, mana lebih bersih, mana lebih harum di antara kita. Kami rajin ke salon, creambath, merapikan bulu, membersihkan telinga, dan memotong kuku. Sampoku mahal, sabunku bermerek, makananku bagus, dan seterusnya.
Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana
Al-Imam Ibn Araby, seorang sufi besar berteori emanasi (al-faidl), yakni memandang semua yang ada pada alam raya ini adalah pancaran Dzat Allah SWT yang memantul seperti reflektor. Sehingga, seorang sufi tidak lagi memandang sesuatu, kecuali yang terlihat hanya Allah SWT saja.
Sang imam bahkan pernah menggegerkan dunia teologis karena ucapannya yang kontroversi "wa ma al-kalb wa al-khinzir illa ilahuna". Tidaklah anjing dan babi itu, melainkan mereka adalah Tuhan kita.
Ya, karena sang imam sudah terbang ke zona ilahiah. Sehingga tidak ada dalam pandangan beliau, melainkan hanya Allah SWT belaka. Melihat anjing pun adalah Tuhan. Melihat babi pun juga melihat Tuhan. Yang dilihat bukan bodi anjing, melainkan cahaya Allah yang membungkus anjing itu. Lalu memantul ke penglihatan.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok
*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News