Tafsir Al-Kahfi 29: Iman, Tidak Boleh Taqlid

Tafsir Al-Kahfi 29: Iman, Tidak Boleh Taqlid Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

29. Waquli alhaqqu min rabbikum faman syaa-a falyu'min waman syaa-a falyakfur innaa a’tadnaa lilzhzhaalimiina naaran ahatha bihim suraadiquhaa wa-in yastaghiitsuu yughaatsuu bimaa-in kaalmuhli yasywii alwujuuha bi'sa alsysyaraabu wasaa-at murtafaqaan

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty

Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (minum), mereka akan diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.

TAFSIR AKTUAL

Ayat kaji ini ada setelah Tuhan - panjang lebar - menasehati manusia agar beriman dengan mantap, selalu bersama dengan orang-orang tekun beribadah dan memproyeksikan seluruh hidupnya untuk mengunduh ridla Tuhan. Jangan sekali-kali terjerembap mencintai dunia, karena itu berpotensi melalaikan kita dari tujuan hidup yang sesungguhnya.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Teori Shalahiyah dan Ashlahiyah pada Putusan MK Terkait Batas Usia

Tuhan itu memberi dan berkonsekuensi. Tuhan itu tidak makan, tapi memberi makan. Tuhan juga tidak minum, tapi memberi minum. Tuhan sangat konsekuen dan mengapresiasi terhadap amal perbuatan hamba-Nya. Mereka yang patuh, ditempatkan di surga, dan yang durhaka ditempatkan di neraka. Kayak perlakuan kita: siswa yang prestasi diberi beasiswa, sedangkan yang melakukan tindak pinada dipenjara.

Karena kebesaran-Nya, Tuhan hanyalah menyediakan berbagai fasilitas dengan segenap konsekuensinya. Sesuai kemanusiaannya. Manusia diberi kemampuan berpikir secara sehat, kemampuan memilih secara bebas, dan kemampuan bertindak secara luas. Untuk itu, Tuhan sama sekali tidak mengintervensi manusia agar berbuat ini atau berbuat itu.

Dan terbacalah pada ayat ini, bahwa Tuhan bersikap sangat "demokratik" kepada hamba-Nya. Mau beriman, mau kafir, tidak ada urusan bagi-Nya. "fa man sya' falyu'min wa man sya' falyakfur". Ada beberapa yang bisa digali dari ayat kaji ini:

Baca Juga: Profil HARIAN BANGSA, Koran Lokal Jawa Timur, Kiai Jadi Pelanggan Setia Sejak Terbit Perdana

Pertama, tidak boleh ada paksaan dalam beragama. Beragama itu harus lahir dari kesadaran sendiri, pilihan sendiri, keputusan sendiri. Perkara penyebab, itu soal perantara belaka. Dirayu, didorong, dipaksa macam apapun, kalau hati menolak, ya tidak mau. Jika dipaksa, lalu mau, maka berarti bukan kesadaran.

Jangankan dipaksa, ikut-ikutan saja tanpa mengerti maksudnya, maka dianggap belum beriman. Al-Imam Ibn Araby berkata ", La yajuz al-taqlid wa al-muqallid kafir". Dalam beriman tidak boleh taqlid, ikut-ikutan. Yang taqlid masih dihitung kafir.

Anak kecil yang ikut-ikutan shalat, ngaji dll? Ya, dia tidak dihitung pelaku, tapi Tuhan memberikan reward pahala kepada orang tuanya, pendidiknya. Tapi tidak terhadap kejahatan. Si kecil berbuat jahat, dia tidak berdosa dan orang tuanya juga tidak tertimpakan dosa. Si kecil merusak barang orang lain? Orang tuanya wajib mengganti, karena itu hak adam. Kok dia dipenjara tatkala melakukan tindak pidana? Ya, itu aturan negeri ini, sifatnya edukasi.

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Tentukan Hak Asuh, Nabi Sulaiman Hendak Potong Bayi Pakai Golok

Kedua, tidak boleh "menyonyol-nyonyolkan", memurah-murahkan islam demi menarik orang lain masuk islam. Berdakwah sungguh diperintah, tetapi tetap dengan menampilkan kebesaran islam, keutuhan syariah secara kaffah, menyeluruh. Tidak sama ketika agama yang didakwahkan secara bertahap, maka ibarat proyek atau bangunan yang belum jadi. Jangan dinilai dulu.

Semisal "waktu telu" di Nusa Tenggara dulu, yang diartikan sebagai shalat tiga waktu. Hal demikian disinyalir karena keluwesan dan kesabaran pendakwah awal. Sang kiai baru mendidik shalat wajib tiga kali dalam sehari semalam, lalu beliau meninggal sebelum sempurna mengajari shalat lima waktu. Oleh umat, dipahami bahwa shalat wajib hanya tiga kali.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik Tafsir Alquran Aktual HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.   

Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Panduan dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman untuk Memutus Kasus Perdata

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO