TRENGGALEK, BANGSAONLINE.com - Kejaksaan Negeri Trenggalek, untuk pertama kalinya menerapkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Restoratif Justice yang telah disahkan oleh Kejaksaan Agung Sanitiar Burhanudin pada bulan Juli yang lalu.
Kepala Kejaksaan Negeri Trenggalek, Darfiah, S.H., M.H., mengatakan bahwa restoratif justice tersebut diberlakukan pada kasus penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku inisial ADM (19) Warga Desa Gandusari, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek terhadap korban DR yang masih berusia di bawah umur.
Baca Juga: Diduga ada Orang Ketiga, Pendeta di Surabaya Aniaya Istrinya
Darfiah menceritakan kronologi peristiwa penganiayaan yang terjadi pada tanggal 20 Agustus 2020 tersebut.
Saat itu, sekitar pukul 01.30 WIB pelaku ADM beserta beberapa teman sejawatnya sedang berada di Perempatan Jalan Gandusari-Kampak. Setelah itu, melintaslah korban DR dengan mengendarai sepeda motor sembari mem-bleyer sepeda motornya dengan suara yang cukup keras.
"Kemudian terdakwa (ADM) ini tidak senang dan mengejar korban dan melakukan pemukulan ke arah wajah korban," kata Darfiah di Gedung Kejari Trenggalek, Kamis (22/10/2020).
Baca Juga: Pelaku Pengeroyokan di SPBU Sidoarjo Ditangkap Polisi
Dikatakan oleh Darfiah, atas peristiwa ini, upaya perdamaian telah dilakukan dua kali, yang pertama dilakukan di rumah korban di Desa Gandusari, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek pada 22 Agustus 2020 lalu.
Akan tetapi, perkara tetap dilanjutkan dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Trenggalek. Karena itu, kejari pelimpahan kasus itu.
"Oleh karena itu, pada tanggal 12 Oktober 2020 Kejaksaan Negeri Trenggalek memanggil para pihak yang terlibat dalam perdamaian yang pertama untuk dilaksanakan proses perdamaian kembali dengan menganut restoratif justice," kata Darfiah.
Baca Juga: 3 Pelaku Penganiayaan Hingga Tewaskan Korban di Tanggulangin Sidoarjo Ditangkap
"Jadi hukum itu sekarang tidak lagi paradigmanya menghukum pelaku yang setimpal dengan perbuatannya, namun saat ini kita berada di tengah dan me-restore atau memperbaiki seperti semula, sehingga tidak ada lagi orang yang mencuri batang kayu di hukum. Mungkin adil bagi korban tapi tidak adil bagi masyarakat umum," terangnya.
Sementara itu, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Trenggalek, Fajar Nurhesdi, S.H., mengatakan bahwa ada tiga syarat dalam penerapan restoratif justice. Pertama, pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana. Kedua, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun. Ketiga, nilai kerugian perkara tidak lebih dari dua juta setengah rupiah.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa ada 3 perkara yang tidak bisa dihentikan penuntutannya dalam penerapan restoratif justice. Pertama, tindak pidana keamanan negara, martabat presiden dan wakil presiden, mengganggu ketertiban umum dan kesusilaan. Kedua, tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana minimal. Ketiga, tindak pidana narkotika, lingkungan hidup, dan korporasi.
Baca Juga: Anggap Kehidupan Korban Lebih Baik, Seorang Pria di Tenggumung Surabaya Bacok Tetangganya
Masih menurut Fajar, tersangka ADM mengaku bersyukur karena berkat penerapan restoratif justice dirinya dibebaskan dari hukum. Selain itu, pelaku ADM juga menyampaikan terima kasih pada aparat dan pihak korban atas keputusannya menerima perdamaian hingga dirinya bebas dari tuntutan.
"Penghentian penuntutan tersebut dikarenakan kehendak pelaku dan korban sudah berdamai dan antarmereka merupakan tetangga. Di samping itu juga memenuhi syarat sebagaimana disebutkan Perja 15 Tahun 2020 dengan ancaman 5 tahun ke bawah," pungkasnya. (man/zar)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News