​Temuan ITS, Tes Covid-19 Lewat Bahu Ketiak, Dahlan: Hampir Masuk Jurang Kematian

​Temuan ITS, Tes Covid-19 Lewat Bahu Ketiak, Dahlan: Hampir Masuk Jurang Kematian Dahlan Iskan. Foto: ist

Riyanarto terus melakukan riset terkait dengan test Covid tapi yang tidak berisiko tertular virus. Lalu ia menemukan ada video itu: bandara Dubai mengerahkan anjing untuk mendeteksi Covid-19. Lewat bau badan penumpang pesawat.

Riyanarto tidak tahu dari mana referensi bahwa dari bau badan bisa dibedakan mana yang mengandung Covid dan mana yang tidak.

Pada bau badan manusia yang paling terdeteksi adalah di ketiak. Maka Riyanarto memfokuskan penelitian lewat keringat dari ketiak manusia.

Riyanarto ingin tahu ada berapa variasi bau badan. Maka, untuk tahap awal, Riyanarto harus menjaring bau badan di spektrum yang luas: ia menggunakan 32 jenis sensor. Agar semua variasi bau badan terdeteksi.

Dari bulan ke bulan Riyanarto kian tahu lebih spesifik. Ia menyisihkan jenis bau ketiak yang terlalu jauh dari indikasi Covid. Itu ia buang. Kini Riyanarto tinggal menggunakan 10 sensor. Dan finalnya nanti mungkin tinggal 8 sensor.

Prof Riyanarto sadar benar bahwa dalam dunia invention ada yang dikenal dengan istilah ''lembah kematian penemuan''. Begitu banyak penemuan yang terkubur di lembah jenis itu. Tidak sedikit hasil penelitian yang berakhir di lembah itu.

Pun I-Nose. Kalau tidak ada JICA, penemuan Prof Riyanarto ini pun bisa terkubur di jurang itu. Ia sudah mencari dana ke mana-mana. Gagal. Lalu mengajukan ke lembaga kerja sama internasional milik Jepang itu. Berhasil. Sebenarnya sang dewa hanya mengucurkan dana USD 50.000. Tapi itu sangat menentukan. Bisa mengantarkan penemuan I-Nose ini menapaki tebing jurang.

Awalnya JICA pun berat: tidak ada referensi yang mendukung penelitian ini. Tapi Riyanarto terus meyakinkan: ini memang hal baru di dunia.

Akhirnya JICA setuju dengan dana sekitar Rp 700 juta itu –-duh betapa kecilnya dibanding, misalnya, ehm, bansos yang itu.

I-Nose kini sudah kelihatan wujudnya. Tapi ia baru melewati tahap satu dari proses panjang menjadi penemuan yang final. Masih harus menghadapi tahap uji coba diagnostic. Lalu masih beberapa lagi.

Setiap tahap itu memerlukan dukungan dana. Tidak besar sebenarnya. Tapi ada saja penyebabnya. Padahal kalau dewa-dewa berikutnya tidak turun ke bumi bisa jadi I-Nose akan terguling lagi ke jurang kematian.

Rumah Sakit Islam Surabaya sudah menyediakan diri untuk membantu penelitian ini. Tiga mahasiswa S-3 di informatika membantu penuh: Shoffi Izza Sabilla, Kelly Rossa Sungkono, dan Irzal Ahmad Sabilla.

Pasien Covid yang menjalani test PCR di RSI Surabaya juga dilakukan tes di I-Nose. Ketua Yayasan RS Islam itu, Prof Dr. Mohammad Nuh DEA, memberikan komitmen tertinggi. Ia adalah mantan mendiknas yang juga mantan Rektor –sekarang masih menjadi ketua majelis wali amanat.

Kalau saja I-Nose nanti lolos dari "lembah-kematian-penemuan", maka keunggulannya jelas: inilah test Covid yang tidak berisiko penularan. Tidak seperti yang dari cairan hidung/tenggorokan maupun yang dari napas.

Dan murah sekali. Sekali test mungkin hanya Rp 10 ribu.

Juga cepat: 3 menit ketahuan hasilnya. Yang pertama harus dilakukan adalah mengelap ketiak. Dengan tisu. Agar bersih. Lalu, ujung kabel yang ada kapasnya dimasukkan ketiak. Dikempit selama 2,5 menit. Sensor langsung membaca.

Hasilnya, saat itu juga, dikirim ke HP kita –dalam bentuk QR yang bisa diverifikasi. Jadilah QR itu sejenis sertifikat. Yang bisa digunakan untuk naik pesawat atau kereta.

Rumah-rumah sakit bisa juga menggunakannya untuk melihat tren kesembuhan pasien Covid. Tiap hari pasien bisa dites. Dengan mudah dan murah. Tidak menimbulkan masalah biaya maupun kekhawatiran penularan.

Masalahnya: kapan I-Nose siap dipakai untuk umum.

"Mungkin 6 bulan lagi," ujar Prof Riyanarto. Itu pun kalau ada dewa yang datang.

Setidaknya harus selalu ada harapan di negara ini. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO