SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Genre baru persuratkabaran dimulai dari Singapura. Koran terkemuka di negeri singa itu mengubah diri menjadi not for profit. Perubahan drastis ini dilakukan setelah mengalami kemerosotan yang terus terjadi.
Tapi apa bedanya dengan non profit? Nah, silakan simak tulisan Dahlan Iskan, wartawan terkemuka, di HARIAN BANGSA dan BANGSAONLINE.com hari ini, Sabtu 8 Mei 2021. Selamat membaca:
Baca Juga: Dituding Murtad, Dahlan Iskan Jawab dengan Shalat
SATU-SATUNYA surat kabar terkemuka Singapura banting setir. Drastis. Itulah yang dilakukan The Straits Times: menjadi lembaga not for profit.
Keputusan tersebut sudah diumumkan di halaman depan surat kabar itu kemarin. Dalam bentuk berita besar. Pelaksanaannya tinggal menunggu persetujuan rapat umum pemegang saham. Mungkin bulan depan.
Persetujuan itu diperlukan lantaran The Straits Times (TST) berstatus perusahaan publik. Tapi, para pemegang saham pasti akan bisa diyakinkan. Angka-angka kemerosotan bisnis media TST sangat nyata. Dan tiada harapan lagi.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
The Straits Times tidak hanya merosot, tapi merosot terus-menerus.Yakni, sejak era digital kian mendominasi kehidupan. Pendapatan iklannya tidak mencukupi lagi untuk biaya operasional. Kenaikan drastis pelanggan online-nya tidak bisa memberikan penghasilan yang cukup.
Cara TST berubah menjadi lembaga not for profit itu sangat menarik. TST selama ini berada di bawah holding bernama Singapore Press Holding (SPH). Holding tersebut juga punya bisnis hotel, mal, dan banyak lagi.
Bisnis nonmedia SPH masih menguntungkan. Karena itu, sang holding akan mengeluarkan bisnis medianya dari grup. Agar tidak mengganggu keuangan holding.
Baca Juga: Pemilu Dungu, Pengusaha Wait and See, Ekonomi Tak Menentu
Bisnis medianya itu tidak dicerai begitu saja. Kepadanya diberikan pesangon. Besar sekali. Untuk modal hidup sebagai lembaga not for profit. Nilai pesangon itu SGD 80 juta. Sekitar Rp 800 miliar. Masih pula diberi saham holding senilai SGD 30 juta. Dengan demikian, tiap tahun lembaga not for profit tersebut masih akan mendapat penghasilan dari dividen.
Demikian juga redaksi, percetakan, IT, dan kekayaan merek diserahkan ke lembaga not for profit itu. Termasuk gedung yang selama ini mereka sewa dari holding.
Baca Juga: Kantor Imigrasi Blitar Deportasi Gadis Berkewarganegaraan Ganda ke Singapura
Berarti, setelah pemisahan itu, media tersebut tidak lagi menjadi anak perusahaan holding. Ia menjadi perusahaan terpisah. Berdiri sendiri. Anak perusahaan tersebutakan didaftarkan sebagai perusahaan publik bergaransi.
Kita, rasanya belum mengenal status perusahaan dengan sebutan ”public company limited by guarantee (CLG)”.
Di Amerika Serikat dan Eropa sudah biasa.
Baca Juga: Tiongkok Banjir Mobil Listrik
SPH sengaja memilihkan masa depan bisnis medianya menjadi lembaga not for profit. Bukan lembaga nonprofit. Ada perbedaan antara not for profit dan nonprofit.
Lembaga not for profit boleh mencari keuntungan. Boleh berbisnis. Namun, keuntungannya tidak boleh dibagi ke pemegang saham.
Labanya hanya boleh untuk memajukan lembaga itu sendiri.
Baca Juga: Hati Rakyat Sulit Dibeli, Partai Penguasa Gagal Menang
Tapi, lembaga not for profit boleh menggunakan uang perusahaan untuk membayar gaji karyawan. Dengan gaji yang tinggi sekalipun. Untuk membuat lembaga tersebut maju.
Dengan The Straits Times menjadi lembaga not for profit, tidak ada lagi tekanan dari pemegang saham publik. Selama ini, sebagai perusahaan publik, pemegang saham terus menuntut laba, laba, dan laba. Dan itu tidak mungkin. Di era digital sekarang ini.
Apa bedanya dengan lembaga nonprofit? Ia sama sekali tidak boleh mempunyai kegiatan yang menghasilkan laba. Karena itu, jenis tersebut bukan yang dipilih SPH.
Baca Juga: Anak Muda Israel Full Stress
Setelah berubah menjadi perseroan terbatas bergaransi nanti, bisnis media itu tidak ada lagi hubungannya dengan SPH. Bahkan, bisnis media tersebut tidak akan punya pemegang saham. Yang ada adalah anggota lembaga. Merekalah yang menggaransi perusahaan itu akan tetap berjalan. Bahkan boleh saja pengurus dan anggota lembaga itu membubarkannya.
Sampai sekarang belum diketahui siapa yang akan menjadi pengurus dan anggota The Straits Times model baru itu.
Perubahan status dari perusahaan publik ke perusahaan bergaransi tersebut ternyata tidak hanya untuk menghindarkan media dari tekanan pemegang saham. Tapi, juga untuk mendapat perlakuan khusus dari pemerintah. Misalnya dalam hal pajak. Atau pemberian subsidi.
Baca Juga: Doni Monardo Bekerja Habis-habisan
Singapura, yang persnya tidak bebas, ternyata justru memiliki pemikiran untuk menyelamatkan pers. Tapi, mungkin saja pemikiran dasarnya bukan itu. Justru untuk menyelamatkan bisnis holding dari seretan kesulitan di bisnis medianya.
Apakah setelah ini The Straits Timesakan menjadi lebih independen? Rasanya tidak mungkin.
Yang juga masih ditunggu adalah: apakah ada pemegang saham baru yang masuk ke dalamnya. Mungkin juga tidak.
Apa pun, Singapura telah memberikan contoh ada pilihan baru bagi masa depan media. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News