SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Rencana pemerintah mengenakan pajak pada sembako dan Lembaga Pendidikan heboh. Ketua Lembaga Pendidikan Maarif NU, KH Arifin Junaidi, secara lantang menolak keras rencana pemerintah untuk mengenakan pajak pada Lembaga Pendidikan.
“Kami bukan Lembaga yang mencari keuntungan finansial. Jangankan menghitung komponen margin dan pengembalian modal, dapat menggaji tenaga didik kependidikan dengan layak saja merupakan hal yang berat. Karena hal tersebut akan sangat memberatkan orang tua murid,” kata Arifin Junaidi, Jumat (11/7/2021).
Baca Juga: Digawangi Perempuan Muda NU, Aliansi Melati Putih se-Jatim Solid Menangkan Khofifah-Emil
Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir juga menolak keras. “Pemerintah dan DPR mestinya tidak memberatkan organisasi kemasyarakatan penggerak Pendidikan dan Lembaga Pendidikan yang dikelola masyarakat dengan perpajakan yang nantinya akan mematikan Lembaga-lembaga Pendidikan yang selama ini banyak membantu rakyat kecil,” kata Haedar Nasir, Jumat (11/7/202)
(Prof. Dr. Haedar Nashir. foto: twitter)
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Seperti diberitakan, Kementerian Keuangan yang dipimpin Sri Mulyani berencana mengenakan pajak sembako dan pendidikan serta kesehatan. Rencana itu heboh setelah dokumen publik yang memuat rancangan Undang-Undang pengenaan pajak pada sembako, sekolah dan kesehatan yang akan disampaikan pada DPR RI itu bocor. Bahkan seorang pejabat dikabarkan kebakaran jenggot atas bocornya dokumen negara tersebut.
Sebelumnya, pemerintah berencana menghapus bebas pajak bagi Lembaga Pendidikan seperti PAUD, SD, SMP, SMA/SMK hingga Bimbel (bimbingan belajar), sebagaimana direncanakan pemerintah dalam revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketntuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
“LP Maarif NU PBNU menolak rencana penghapusan pajak Lembaga Pendidikan dan meminta agar pemerintah membatalkannya,” kata Arifin Junaidi dikutip Republika.co.id.
Baca Juga: Khofifah: Muhammadiyah Pilar Kemajuan Bangsa dan Umat
Ia mengungkapkan kondisi gaji tenaga didik kependidikan di lingkungan LP Maarif NU yang masih jauh dari layak karena dibawah UMK. Padahal tugas, fungsi dan posisi guru tak berada di bawah buruh.
(Enny Sri Hartati. foto: industry.co.id)
Baca Juga: Panas! Saling Sindir soal Stunting hingga 'Kerpek' Catatan Warnai Debat Terakhir Pilbup Jombang 2024
Haedar Nashir juga mengingatkan bahwa ormas telah menyelenggarakan pendidikan secara sukarela dan semangat pengabdian untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ormas, kata Haedar, juga telah ikut meringankan beban pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang belum sepenuhnya merata.
Menurut dia, pemerintah berkewajiban penuh untuk menyelenggarakan pendidikan dan kebudayaan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana perintah konstitusi.
Jika pemerintah tak melaksanakan secara optimal, kata Haedar, sama dengan mengabaikan konsitusi.
Baca Juga: Lazisnu Surabaya Jadi Perantara Kebaikan
Pantauan BANGSAONLINE.com, bukan hanya para guru dan pendidik yang menolak pengenaan pajak sembako, pendidikan dan kesehatan. Para ekonom juga ramai-ramai menolak.
Seperti ditulis Dahlan Iskan di Disway, HARIAN BANGSA, dan BANGSAONLINE.com pagi ini, Sabtu (12/7/2021), Prof. Anthony Budiawan mengaku sangat tidak setuju pendidikan dipajaki. Begitu juga pada sembako. Menurut dia, pengenaan pajak pada sembako dan hasil pertanian hanya akan menambah kemiskinan.
Anthony membantah pernyataan Yustinus Prastowo, staf khusus menteri keuangan bidang komunikasi strategis yang menyatakan bahwa sekarang ini ada kecenderungan baru di seluruh dunia: menaikkan PPN dan menurunkan PPh.
Baca Juga: Barisan Jawara Deklarasi Dukung Khofifah-Emil
(Prof Dr Anthony Budiawan. Foto: pajakonline.com)
Menurut Anthony, itu bukan kecenderungan umum seluruh dunia. "Itu terjadi di negara-negara yang belum maju, seperti Chili," ujar Anthony yang alumnus Amsterdam itu.
Baca Juga: Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan Jadi Tuan Rumah Monev Kanwil Jatim
Kesan Anthony, menaikkan PPn itu, pemerintah hanya cari gampangnya saja. Untuk menutup kekurangan pendapatan negara.
"Menaikkan PPn dan menurunkan PPh itu tidak sejalan dengan prinsip distribusi pendapatan," ujar Anthony. Ia juga mengatakan bahwa tax amnesty gagal total.
Pernyataan senada disampaikan Enny Sri Hartati. Direktur Indef itu juga tidak sependapat soal pajak pendidikan di RUU itu. "Maraknya sekolah komersial bukan harus diatasi dengan pajak," ujar ekonom berjilbab itu.
Baca Juga: Khofifah dan Eri Cahyadi Kompak Hadiri Ta’dzim Maulid Nabi Muhammad SAW di GBT
Ia juga mengatakan bahwa fasilitas pajak selama pandemic banyak dinikmati orang kaya.
"Fasilitas pajak selama pandemi ini lebih banyak dinikmati oleh pengusaha besar," katanya.
Lalu dari mana pemerintah harus mendapatkan pemasukan negara dalam kondisi sulit seperti sekarang ini?
Enny cenderung lebih memelototi sumber daya alam. Yang ada unsur merusak lingkungan itu. Termasuk perkebunan.
Demikian juga Anthony: melirik pajak sawit. Yang harganya sangat baik beberapa tahun belakangan. "Toh sifatnya sementara," ujar Anthony. Sedang lewat kenaikan PPn itu lebih bersifat permanen.
Sementara Dahlan Iskan menilai bahwa bocornya dokumen negara yang memuat rancangan Undang-Undang pajak sembako dan pendidikan itu justru positif sehingga bisa banyak pendapat yang didengar.
“Maka bagus juga dokumen negara ini bocor. Agar semakin banyak pendapat bisa didengar. Lalu jangan lupa membuat keputusan, ” tulis wartawan kawakan asal Takeran Magetan Jawa Timur itu. (mma)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News