Oleh: M Mas’ud Adnan --- Polarisasi politik DKI Jakarta gamblang. PDIP dan PSI satu barisan. Menyerang Anies Baswedan. Yang kini Gubernur DKI Jakarta.
Partai lain berwarna: Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, dan Demokrat. Ada yang pro Anies. Ada yang abu-abu. Menunggu arah angin.
Baca Juga: Tafsir Al-Anbiya' 78-79: Life Begins at Fourty
Yang paling getol nyerang Anies tentu PSI. Kita maklum. Partai ini cenderung sosialis. Setidaknya ini pendapat sebagian orang.
Nah, sejarah Indonesia mencatat. Kelompok sosialis selalu bertentangan dengan kelompok Islam. Terutama santri.
Apalagi pendukung utama PSI penganut Kristen. Terutama etnis Tionghoa. Fakta ini, setidaknya, bisa kita baca pada hasil suara pileg 2019. Suara PSI kebanyakan berada di perumahan etnis Tionghoa dan Kristen. Dan itu terjadi di mana-mana. Terutama Surabaya.
Baca Juga: Laporkan Fufufafa dan Esemka ke Layanan "Lapor Mas Wapres", Pakar Forensik Ini Kecewa, Kenapa
Apakah sikap parpol DKI itu cermin para pimpinan partai untuk pilpres? Bisa ya, bisa tidak. Tapi khusus PDIP dan PSI jawabannya: ya. Mereka pasti no way bagi Anies Baswedan.
Kenapa? Karena Anies mengalahkan Ahok. Dalam Pilgub DKI Jakarta. PSI, meski mengklaim partai anak muda, tapi sulit move on. Mereka tak bisa menerima kekalahan Ahok. Maka, mereka tak pernah surut. Menyerang Anies. Secara vulgar dan blak-blakan.
Publik pun akhirnya menilai. Tentang moral demokrasi mereka.
Baca Juga: Saluran Pengaduan Ala Gibran, Manuver Politik yang Bumerang
Khusus PDIP lebih kompleks. Selain faktor kekalahan Ahok juga punya calon sendiri untuk pilpres. Siapa? Ada Puan Maharani, juga ada Ganjar Pranowo. Namun tak tertutup kader PDIP yang lain.
Yang pasti bukan Anies Baswedan. Entah lagi kalau peta dan cuaca politik berubah. Yang jelas, untuk saat ini bukan Anies Baswedan.
Maka publik pun kaget ketika Gibran tiba-tiba memuji Anies Baswedan. Setinggi langit.
Baca Juga: Presiden BEM Unair Dapat Intimidasi, Dekan Bagong Suyanto Cabut Pembekuan BEM
“Yang saya jadikan contoh pasti Jakarta. Vaksinasinya sudah di atas 100 persen. Solo juga harus mengejar,” kata Gibran Rakabuming Raka yang wali kota Solo.
“Mohon maaf kami masih di angka 98 persen. Kita juga lihat stok plasma di Jakarta juga sudah melimpah. Ini kita kejar biar Solo juga makin berlimpah,” kata putra Presiden Jokowi yang kini berusia 33 tahun itu.
Pujian Gibran memang sangat vulgar. Menurut dia, sukses vaksinasi di Jakarta tak lepas dari keberhasilan Anies dan wakilnya: Ahmad Riza Patria.
Baca Juga: Prabowo-Gibran Resmi Dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029
“Jadi sekali lagi luar biasa kerja keras Pak Anies dan Pak Riza untuk Jakarta. Benar-benar ini jadi percontohan untuk kami yang ada di daerah,” kata Gibran yang maju pilwali Solo diusung PDIP.
Publik langsung riuh. Termasuk buzzer dan influencer! Banyak komentar berhamburan. Namun rata-rata positif. Mereka ingin para elit Indonesia bersatu dan bekerja keras untuk Indonesia.
Namun ada yang tetap nyinyir. Tendensius. Saya kutip salah satu komentar yang nyinyir.
Baca Juga: Ditanya tentang Akun Fufufafa, Kini Menkominfo Bungkam
“Lu pada mikir ya, anak Junjungan lu tahu kerja kerasnya Anies,” tulis netizen yang tetap nyinyir itu sembari menyolek akun Ferdinand Hutahean, Denny Siregar, dan Eko Kuntadhi.
Tapi apakah pujian Gibran pada Anies itu akan mengubah peta pilpres? Pertanyaan itu harus dibalik. Benarkah pujian Gibran itu merupakan simbol perubahan peta pilpres?
Gibran memuji Anies Baswedan itu sikap politik. Dan sikap politik niscaya tidak secara tiba-tiba. Atau ujug-ujug, kata orang Jawa. Pasti ada background dan konteksnya.
Baca Juga: Pemilik Akun Fufufafa Diduga Alami Problem Psikologis, Kecanduan Pornografi
Apalagi Gibran putra seorang presiden. Yang jelas-jelas diusung PDIP. Pasti Gibran telah melakukan konsultasi politik dengan para ”stakeholder”.
(Gibran Rakabuming Raka. foto: ist)
Baca Juga: Analisis Konten Fufufafa, Cermin Karakter Gelap Manusia
Atau justru sebaliknya. Para “stakeholder” itu yang “mendelegasikan” Gibran untuk melontarkan simbol atau sinyal politik pilpres? Sulit dijawab. Apalagi dijelaskan.
Yang pasti, dalam 10 bulan terakhir ini Anies Baswedan banyak sekali terlibat komunikasi politik dengan para elit politik yang sebelumya berseberangan. Di antaranya dengan Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Anies dan Luhut bertemu di ruang kerjanya pada Rabu pagi, 10 Maret 2021. Luhut bahkan memposting foto pertemuannya dengan Anies di facebook.
(Anies Baswedan di ruang kerja Luhut Binsar Pandjaitan. foto: Facebook Luhut)
Dengan Jokowi? Tak perlu ditanya lagi. Semua warga bangsa yang punya insting politik tinggi pasti paham. Banyak sekali informasi dan indikator politik yang menunjukkan “kesepahaman” Jokowi dan Anies belakangan ini.
Sekarang bagaimana dengan para buzzer dan influencer yang selama ini gencar dan brutal menyerang Anies Baswedan? Nah. Yang jelas, serangan brutal itu tak memberi efek samasekali.
Kenapa? Karena Anies selalu diam. Tak pernah merespons. Tak terpancing. Maka buzzer dan influencer pun mati kutu.
Ya, misi para buzzer dan influencer gagal total. Faktanya, hasil survei hampir semua lembaga survei membeberkan popularitas dan elektabilitas Anies kian kuat.
Namun sangat naif, jika kita berkesimpulan bahwa Anies Baswedan capres terkuat. Pilpres masih jauh. Peta politik pilpres akan terus mengalami fluktuasi yang sangat dinamis.
Pemimpin memang ibarat pohon. Makin tinggi makin banyak diterjang angin. Namun justru terjangan angin itulah yang akan menjadi ujian seorang pemimpin. Apakah akan tumbang atau justru semakin kokoh! Wallahu'alam bisshawab.
M Mas'ud Adnan, alumnus Pesantren Tebuireng, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) dan Pascasarjana Unair.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News