Oleh: M. Aminuddin --- Kabar baik datang dari Kementerian Kesehatan yang menampilkan data bahwa pada 28 Agustus hingga 4 September 2021 jumlah tambahan kasus Covid-19 mencapai 67.263 kasus. Jumlah ini turun 47% dibandingkan selama 20 Agustus hingga 27 Agustus 2021 tercatat bertambah 126.054 kasus baru. Sejak 2 September hingga 4 September 2021, angka penularan positif Covid-19 terus melandai. Pada 2 September angka penularan tercatat 8.955 orang, 3 September 7.797 orang.
Tren penyebaran Covid-19 yang melandai merupakan kabar baik untuk memulai normalisasi kehidupan masyarakat baik aktivitas pendidikan, aktivitas ekonomi, aktivitas keagamaan dan aktivitas lain kehidupan. Makanya cukup tepat kebijakan pemerintah memutuskan untuk mengakselerasi pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas dengan tetap menjalankan protokol kesehatan.
Baca Juga: Merdeka Belajar akan Terkubur?
Melalui SKB Empat Menteri yang diumumkan pada 30 Maret 2021, pemerintah mewajibkan satuan pendidikan untuk menyediakan dua layanan, yakni PTM secara terbatas dengan tetap menerapkan protokol kesehatan serta pembelajaran jarak jauh.
Kebijakan pemerintah mengakselerasi pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas cukup tepat walaupun kehawatiran akan menciptakan klaster baru. Sebab jika pemerintah tidak segera menggelar PTM terbatas maka menghadapi tiga risiko dampak negatif seperti banyaknya putus sekolah, penurunan capaian belajar, serta kekerasan pada anak dan risiko eksternal.
Dampak sosial negatif yang pertama adalah putus sekolah. Selama pandemi, putus sekolah menjadi risiko yang besar karena anak terpaksa ikut bekerja untuk membantu keuangan keluarga di tengah krisis ekonomi karena pandemi Covid-19. Selain itu, banyak orangtua yang tidak dapat melihat peranan sekolah dalam proses belajar mengajar apabila proses pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka.
Baca Juga: Pramuka Tak Lagi Wajib, Kwarda Jatim segera Surati Mendibudristek
Data dari Badan Pusat Statistik pada Desember 2020 menunjukkan adanya penurunan pendapatan sebesar 2,53 persen. Sementara itu, publikasi Bank Dunia pada Agustus 2020 menunjukkan penurunan pendapatan di Indonesia mencapai 1,1 persen. Akibatnya diperkirakan ada 91.000 anak putus sekolah (Kompas, 2/3/2021).
Dampak negatif yang kedua adalah penurunan capaian belajar. Pelaksanaan PJJ selama pandemi terjadi secara berbeda baik dari sisi akses maupun kualitas. Hal tersebut dapat mengakibatkan kesenjangan capaian belajar, terutama bagi anak dari latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda. Selain itu, penelitian terhadap PTM dan PJJ menunjukkan bahwa capaian akademik dengan PTM lebih baik dibandingkan dengan PJJ.
Selama pelaksanaan PJJ, para peserta didik kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi dan berbagi di lingkungan sekolah, demikian pula dengan para guru. Dalam beberapa kasus, timbul resiko kehilangan pengalaman belajar (learning loss) dan ancaman ketidakmampuan belajar (learning poverty) (Kompas, 22/2/2021).
Baca Juga: Komitmen Majukan Pendidikan Jatim, Gubernur Khofifah Raih Anugerah Pemda Transformasi Digital
Dampak sosial yang ketiga adalah kekerasan pada anak dan risiko eksternal. Ketika anak tidak mengikuti kegiatan persekolahan tatap muka, banyak anak yang kemudian terjebak dalam situasi kekerasan di rumah tanpa terdeteksi oleh guru.
Beban orang tua yang bertambah berat selama pandemi karena merangkap pekerjaan sebagai guru bagi anak anak. Ketika orangtua tidak memiliki keterampilan mengajar maka baik anak dan orangtua menjadi tertekan. Akibatnya menimbulkan beban psikologis keluarga menjadi besar juga anak semakin tertinggal dengan kelurga lain yang lebih terpelajar.
Selain itu, ketika anak tak lagi ke sekolah, terjadi peningkatan risiko untuk pernikahan dini, eksploitasi anak terutama perempuan, serta kehamilan remaja. Dari temuan KPAI, terdapat 119 peserta didik yang menikah dengan usia kisaran 15-18 tahun, serta di sejumlah daerah terjadi persoalan yang sama yaitu sejumlah siswa berhenti sekolah karena membantu perekonomian keluarga.
Baca Juga: Kemendikbudristek Rilis Platform Rapor Pendidikan Versi 2.0
Bank Dunia menyatakan bahwa penutupan sekolah dianggap dapat mengakibatkan hilangnya pendapatan seumur hidup dari generasi yang saat ini berada di usia sekolah sebesar paling tidak 10 triliun dollar AS. Selain itu, menurut WHO, penutupan sekolah berdampak negatif pada kesehatan anak, pendidikan dan perkembangan, pendapatan keluarga dan perekonomian secara keseluruhan.
Sejalan dengan itu, Unicef menyatakan bahwa anak-anak yang tidak dapat mengakses sekolah secara langsung akan semakin tertinggal. Sedangkan, anak yang paling termarjinalisasi adalah yang paling terdampak. Oleh karena itu, lembaga tersebut kemudian berpesan kepada para pemimpin dunia untuk mengupayakan agar sekolah tetap buka atau memprioritaskan agar sekolah bisa kembali buka
Berdasarkan evaluasi potensi dampak sosial yang berkepanjangan di atas serta hasil kajian berbagai lembaga dunia cukup tepat pemerintah memutuskan untuk menyelenggarakan pembelajaran tatap muka (PTM) secara terbatas dengan tetap menjalankan protokol kesehatan.
Baca Juga: Nono Sang Juara Olimpiade Matematika Ditawari Beasiswa Pendidikan oleh Dua Menteri
Tapi beberapa saat PTM berjalan, muncul kesimpangsiuran baru isu klaster pembelajaran tatap muka (PTM) yang apa disebut Dirjend PAUD Disdakmen Kemendikbudristek Jumeri disebut Miskonsepsi.
Miskonsepsi pertama adalah mengenai terjadinya klaster akibat PTM terbatas. Padahal Angka 2,8% satuan pendidikan itu bukanlah data klaster Covid-19, tetapi data satuan pendidikan yang melaporkan adanya warga sekolah yang pernah tertular Covid-19. Sehingga, lebih dari 97% satuan pendidikan tidak memiliki warga sekolah yang pernah tertular Covid-19. Jadi, belum tentu klaster.
Miskonsepsi kedua, belum tentu juga penularan Covid-19 terjadi di satuan pendidikan. Data tersebut didapatkan dari laporan 46.500 satuan pendidikan yang mengisi survei dari Kemendikbudristek. Satuan pendidikan tersebut ada yang sudah melaksanakan PTM Terbatas dan ada juga yang belum,
Baca Juga: Peringatan Hari Guru Nasional 2022: Nadiem Singgung Pengangkatan Guru Honorer dan Penggerak
Miskonsepsi ketiga, angka 2,8% satuan pendidikan yang diberitakan itu bukanlah laporan akumulasi dari kurun waktu satu bulan terakhir, tetapi 14 bulan terakhir sejak tahun lalu yaitu bulan Juli 2020,
Miskonsepsi keempat adalah isu yang beredar mengenai 15.000 (lima belas ribu) siswa dan 7.000 (tujuh ribu) guru positif Covid-19 berasal dari laporan yang disampaikan oleh 46.500 satuan pendidikan yang belum diverifikasi, sehingga masih ditemukan kesalahan.
Klarifikasi yang dilakukan Kemendikbudristek sudah tepat tapi persoalan serupa ke depan kemungkinan lebih banyak. Akan lebih baik jika Kemendikbudristek memiliki solusi ke depan, mengembangkan sistem pelaporan yang memudahkan verifikasi data terutama menggunakan teknologi digital atau informatika.
Baca Juga: Dukung Rekomendasi Pergunu Terkait RUU Sisdiknas, RDPU Komisi X DPR RI Tambah Waktu Dua Kali
Persoalan lain walau secara nasional penularan covid 19 sudah melandai tapi kondisi setiap daerah berbeda dan ke depan bisa fluktuatif naik turun yang ini pasti berimbas kembali ke dunia pendidikan. Di atas kertas masalah itu sudah di antisipasi Pemerintah melalui penerapan PTM terbatas bukan tatap muka penuh. Antisipasi juga nampak dalam SKB Empat Menteri yang diumumkan pada 30 Maret 2021, pemerintah mewajibkan satuan pendidikan untuk menyediakan dua layanan, yakni PTM secara terbatas dengan tetap menerapkan protokol kesehatan serta pembelajaran jarak jauh.
Dengan rangkaian kebijakan tersebut semoga proses transfer pengetahuan di dunia pendidikan bisa lebih baik lagi dibanding masa PSBB dengan tetap mengatisipasi ancaman penyebaran virus yang berasal dari Tiongkok itu.
Peneliti Senior Institute for Strategic and Development Studies (ISDS).
Baca Juga: Bupati Gresik Dampingi Gubernur Khofifah Tinjau PTM di Cerme
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News