Andhika Ramadhani Calon Bintang, Ibunya Jualan Kopi, Inilah Kisah Hidup Kiper Persebaya itu

Andhika Ramadhani Calon Bintang, Ibunya Jualan Kopi, Inilah Kisah Hidup Kiper Persebaya itu Dahlan Iskan

Tinggi badan Andhika 182 cm. Kurang tinggi, tapi sudah cukup ideal untuk kiper di Indonesia. Kiper utama masih belum sembuh. Kiper cadangan masih lama di pemusatan latihan tim nasional.

Andhika mulai membuktikan kemampuannya. Ia punya kesempatan tampil lagi. Dan tampil lagi. Mentalnya kian kuat. Di umurnya yang 21 tahun.

Andhika adalah contoh klasik pesepak bola Indonesia: dari keluarga miskin. Sejak kecil ia hanya hidup berdua dengan ibunya. Ayahnya meninggal ketika Andhika masih balita.

"Ternyata ayah saya sebenarnya tidak meninggal," ujar Andhika kemarin.

Ia tidak pernah tahu kalau ayahnya sebenarnya masih hidup. Pindah dari Surabaya ke Jatiroto: kawin lagi di sana.

Sang ibu lantas jualan kopi, teh, dan kue: buka warung di dekat terminal di Perak, Surabaya Utara. Andhika ikut ke warung itu. Ikut membantu cuci gelas dan piring. Bertahun-tahun. Setelah lebih besar ikut melayani pembeli: menyajikan kopi atau teh.

Ketika Andhika sudah masuk ke SMA (Hang Tuah 1 Surabaya), ada orang yang memberi tahunya: ayahnya meninggal dunia.

Saat itulah sang ibu menjelaskan: dulu itu dia memang berbohong –untuk kebaikan sang anak. Andhika bisa menerima itu. Lalu ke rumah duka.

Ternyata istri kedua yang di Jatiroto itu sudah lebih dulu meninggal. Tidak lama kemudian sang ayah juga sakit keras. Lalu dibawa ke Surabaya lagi oleh anaknya yang lain lagi, dari istri yang pertama. Berarti yang di Jatiroto itu istri ketiga.

Berarti ibu Andhika adalah istri kedua. "Menurut ibu, ayah saya dulu tukang parkir," katanya.

Itulah untuk kali pertama Andhika tahu wajah ayahnya: sudah menjadi mayat. Andhika lantas ikut mengantarkan jenazah itu ke makam.

"Ibu saya juga ikut melihat jenazah ayah. Bersama saya. Ibu kan tidak pernah bercerai dengan ayah," ujar Andhika.

Kini sang ibu tetap jualan kopi dan teh. Tapi lokasinya sudah di ruko. Sedang rumahnyi tetap di sebuah gang sempit di kawasan Kalimas Baru. Di situ pula Andhika tinggal bersama sang ibu. Kalau lagi tidak ada kegiatan sepak bola ia masih membantu sang ibu di warungnyi itu.

Sebelum dikontrak , Andhika sempat jadi tukang parkir. Juga sempat setahun menjadi driver Gojek.

Kini, sebagai pemain sepak bola profesional, Andhika mulai punya penghasilan yang lumayan. Kemampuannya sebagai kiper terlihat oleh publik. Ia bisa menjadi bintang –kalau tetap bisa rendah hati dan tidak mudah tergoda yang aneh-aneh.

"Ibu bangga sekali saya bisa dikontrak ," ujar Andhika. Ia tahu betapa besar pengorbanan ibunya. Yang harus hidup seorang diri. Sampai bisa menyekolahkannya hingga tamat SMA.

Andhika tahu sang ibu tidak mau menonton dirinya tampil di TV. "Ibu merasa tidak kuat. Deg-degan terus," ujarnya.

Tentu Andhika masih punya waktu untuk memperbaiki kondisi badannya. Ia harus tahu: di masa kecilnya kurang asupan gizi. Ibunya sering harus menangis. Andhika-kecil sering sudah membawa piring untuk minta makan. Tapi tidak ada nasi yang bisa diberikan.

Saya ingat kejadian di Inggris beberapa tahun lalu. Ketika begitu banyak pemain bola di sana yang cedera.

Seorang tokoh oposisi langsung menuduh. "Semua ini salah Margaret Thatcher," ujarnya.

Apa hubungannya?

Inilah penjelasan sang oposisi: "Duluuuuu, ketika Margaret Thatcher menjadi Perdana Menteri Inggris, dia menghapuskan ransum susu di sekolah-sekolah dasar." (Dahlan Iskan)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO