​Tubi Burek, Istri Pilih Mati, Ayah Gantung Diri: Cara Dahlan Iskan Asah Kepekaan Sosial?

​Tubi Burek, Istri Pilih Mati, Ayah Gantung Diri: Cara Dahlan Iskan Asah Kepekaan Sosial? Dahlan Iskan

Sebenarnya ada secuil tanah di depan rumah itu. Yang bisa saja ditanami 10 batang kaliandra hijau. Begitu banyak tanaman jenis itu di pekarangan tetangga-tetangganya. Cepat sekali tumbuhnya. Subur sekali daunnya. Bisa dijual untuk makanan kambing. Banyak yang memelihara kambing ottawa di desa itu.

Saya lihat ada satu rumah yang lebih beruntung dari rumah Tubi. Hanya sepelemparan batu jaraknya. Rumah itu lebih mentereng –untuk ukuran desa pinggiran kebun teh. Rumah itu punya penghasilan tetap dari pohon di halamannya: pohon teh yang tingginya lebih menjulang dari atap rumah.

Saya kaget. Saya kira pohon teh itu ya seperti yang kita lihat: pendek-pendek. Maafkan Anak Alay, ternyata pohon teh itu, kalau dibiarkan, bisa seperti pohon pada umumnya. Tinggi-besar. "Dijual. Benalu teh," bunyi tulisan di papan yang menempel di pohon itu.

Saya pun mendongak. Ups...banyak benalu tumbuh di rerantingan pohon teh besar itu. Daun benalu teh itu laku: saya tidak tahu. Bisa untuk obat: saya tidak tahu. Semua teman yang ikut ke rumah Tubi ternyata tahu mengenai khasiat daun benalu teh.

Pada saatnya saya akan bertanya ke Prof Dr Mangestuti Agil, peneliti herbal di Unair: benarkah daun benalu teh bisa untuk menyembuhkan banyak penyakit. Saya memang selalu mem-forward postingan di medsos mengenai khasiat yang dibilang hebat dari satu tumbuhan, umbian atau buah.

Tubi juga pernah mencoba minum benalu daun kelor itu. "Mungkin terlalu banyak. Justru nyesek," katanya. Begitulah kalau air terlalu banyak di tubuh Tubi. Ginjal tidak bisa memprosesnya jadi air kencing. Paru-parunya ikut dipenuhi air. Dan lagi Tubi kan takut kencing.

Tubi sebenarnya pernah mencoba pekerjaan lain: kuli bangunan. Pindah-pindah. Selama tiga tahun. Juga pernah mencari rumput. Untuk dijual ke peternak kambing. Tapi hatinya sudah sepenuhnya pindah musik. Pekerjaannya sebagai membuatnya kenal musik. Ia diajari sesama memegang gitar.

Perannya pun naik: dari hanya tepuk-tepuk tangan di pinggir jalan ke jreng-jreng pegang gitar. Lalu jadi vokalis. Ternyata ia suka sekali menyanyi. Lalu menciptakan lagu. Di antara banyak sekali ciptaannya, Rindu Tak Sampai itulah yang dianggapnya bernilai 10. Yang di setiap menyanyikannya mendorong linangan air matanya.

"Sebenarnya dia ingin kembali ke saya. Tapi ayahnyi melarangnyi," ujar Tubi. Sampai pun Tubi menantingnyi: pilih ia atau pilih ayahnyi. "Kalau pilihannya itu saya pilih mati," ujar sang istri seperti ditirukan Tubi.

Sejak itu Tubi berusaha melupakannyi. Apalagi, dua tahun lalu, si dia sudah menjadi istri orang. Tubi ketemu gadis itu ketika sang gadis masih SMP. "Saya sering lewat depan sekolahnyi," kata Tubi.

Begitu si gadis tamat SMP mereka pun menikah. Tubi kini tinggal berdua dengan sang ibu. Ia masih punya sepeda motor. Ia masih bisa naik sepeda motor. Termasuk bila harus ke rumah sakit untuk cuci darah.

Kami pun membicarakan kemungkinan transplantasi ginjal. Tubi memilih menerima takdir. Sambil seminggu dua kali cuci darah. Ia tidak rela kalau harus menerima salah satu ginjal sang ibu. Sampai kapan Tubi akan cuci darah? "Ada orang yang sampai 23 tahun," ujar Tubi. Orang yang dimaksud adalah sesama penderita yang tergabung dalam satu grup WA. Kalau malam Tubi juga masih bisa ikut diba'an –ritual menyanyikan lagu-lagu pujian pada Nabi Muhammad– bersama para tetangga. Meski mengaku tidak bisa membaca quran, Tubi bisa diba'an atau tahlilan.

Teman-teman Tubi juga masih sering ke rumah ini. Terutama kalau Tubi ingin membuat video untuk YouTube. Temannyalah yang merekamnya dengan HP Samsung miliknya. Tubi memang wakil ketua Komunitas Musik Jalanan (Komjal) Jawa Timur.

Istri saya minta Tubi menyanyikan lagu Rindu Tak Sampai itu. Tubi pun meraih gitar di sebelahnya. "Oh maaf, senar gitarnya putus. Senar paling kecil," katanya sambil hendak meletakkan kembali gitar itu.

Saya lihat memang senarnya kurang satu. "Tidak apa-apa. Seadanya," jawab istri saya. Kami pun mendengarkan lagu itu. Ikut terharu. Cinta yang kandas. Ayah yang pergi ke atas pohon. Kakak yang terlempar ke makam. Istri yang ingin kembali. Kini ibu dan anak adalah pengabdian dan harapannya. Kalau lagi kangen pada si anak, Tubi meneleponnya. Kadang si anak sendiri yang menelepon Tubi. Untuk dijemput. Kangen. (Dahlan Iskan)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar .id/.">http://.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO