Oleh: Prof. Dr. KH. Imam Hambali, M.Pd.* --- NU telah berusia hampir 100 tahun. Perkembangan dari masa ke masa, yang ditandai oleh muktamar satu ke muktamar berikutnya memiliki dinamika yang selalu berubah dan sering tidak linier.
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap perubahan dinamis yang bersifat periodik tersebut, namun sifatnya tidak signifikan bagi eksistensi NU sendiri. Sehingga, keberadaan NU masih kokoh dan sangat diperlukan, terutama dalam rangka mengawal pembinaan stabilitas kaum nahdliyin yang sangat banyak jumlahnya di Indonesia.
Baca Juga: Digawangi Perempuan Muda NU, Aliansi Melati Putih se-Jatim Solid Menangkan Khofifah-Emil
Hal tersebut sangat dipahami oleh para pelaku ekonomi, politik, kekuasaan lokal Indonesia, maupun pemain strategis regional dan global. Tidak tanggung-tanggung, sebagian mereka menganggap kebesaran NU, yang muslim moderat akomodatif sangat menarik sekaligus dikhawatirkan menjadi kekuatan besar Muslim dunia di masa yang akan datang.
Karakter khas Muslim nahdliyin yang sulit diadu-domba dan diajak kekerasan menjadikan mereka semakin gemas dan ketar-ketir. Sulitnya diadu dan dibuat keras kepala oleh kaum orientalis, NU semakin ditakuti, dan mereka memerlukan stategi baru. Nah akhirnya, mereka merubah strateginya dengan istilah baru merangkul-mencium-mendepaknya.
Adu Domba vs Soft Cutting
Baca Juga: Rais Aam PBNU Ngunduh Mantu dengan Pemangku Pendidikan Elit dan Tim Ahli Senior di BNPT
Memang strategi adu-domba yang telah berhasil diterapkan di timur tengah, sangat sulit diterapkan untuk mengurai dan melemahkan kaum nahdhiyiin di Indonesia. Kepatuhan ummat kepada ulama dan sikap no profile para ulama yang ditunjukkan dalam kegiatan sehari-hari semakin menyulitkan mereka.
Sulit mencari ulama NU yang mudah diadu domba. Dibarengi keberhasilan Christiaan Snouck Hurgronje yang mengecoh rakyat Aceh zaman kolonial Belanda, nampaknya sratrategi ini dilirik lagi untuk melumpuhkan kaum nahdliyin. Saya mengistilahkan soft cutting.
Go Internasional ala NU
Baca Juga: Khofifah: Muhammadiyah Pilar Kemajuan Bangsa dan Umat
GO internasional yang telah dirintis oleh pengurus NU 2 periode terakhir, yang sebagian ditandai banyaknya Pengurus Cabang Istimewa/Internasional (PCI) yang tersebar di seluruh dunia, merupakan salah satu bentuk langkah maju NU sebagai organisasi yang tidak hanya berorientasi local regional.
Kenyataan tersebut seharusnya disambut gaut bersambung dengan pengurus NU di era belakang ini. Penguasaan bahasa resmi PBB, atau minimal Inggris dan Arab sudah seharusnya menjadi standard baku bagi terjadinya linieritas pertumbuhan dan perkembangan NU yang ditunggu.
Nah, dengan demikian, bahasa global yang dipersiapkan nampaknya belum menunjukkan hasil yang memadai, terutama dengan sambutan iftitah yang dengan menggunakan bahasa non PBB. Hal itu tidak berlebihan jika dipertanyakan oleh para muktamirin, dan tidak boleh diabaikan begitu saja seperti tidak bermakna.
Baca Juga: Panas! Saling Sindir soal Stunting hingga 'Kerpek' Catatan Warnai Debat Terakhir Pilbup Jombang 2024
Oleh sebab itu, para ulama dan kaum intelektual NU harus bergerak dinamis menyambut internasionalisasi NU itu sendiri sebagai bagian perluasan wilayah jangkauan Rohmatan Lil Alamin ala NU. Kelompokan serta keselarasan bersinergi ulama NU dan kaum intelektual NU harus diwujudkan.
Pascasarjana muktamar, harus ada ide mendasar para Ilmuwan NU dan Profesor NU, menyatu padu untuk mengawal bersama perkembangan NU dalam proses go internasionalnya, agar Aceh di zaman kolonial tidak terjadi lagi. Amien
*Penulis adalah Guru Besar Universitas Negeri Malang dan Ketua Asosiasi Dosen NU.
Baca Juga: Bang Udin, Pemuda Inspiratif Versi Forkom Jurnalis Nahdliyin
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News