SURABAYA, BANGSAONLINE.com – Perang memang tak menguntungkan. Termasuk perang Rusia-Ukraina. Indonesia juga terdampak. Harga terigu naik.Harga minyak mentah juga mulai melambung. Yang akan berakibat Pertamina tak kuat. Loh?
Simak tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, di BANGSAONLINE.com pagi ini, 3 Maret 2022. Selamat membaca:
Baca Juga: Ujicoba Pembelian dengan QR Code, Konsumen Pertalite di Jombang Beri Apresiasi
DULU, puluhan ribu orang Yahudi Rusia dibantai Jerman-Nazi. Sekarang, orang-orang yang sama dibunuh lagi –oleh Rusia-Putin.
Itu terjadi Selasa dini hari lalu. Yakni, ketika Rusia menembakkan roket ke antena utama TV Ukraina di dekat ibu kota Kiev. Roket itu juga mengenai kuburan orang-orang Yahudi korban Perang Dunia Ke-2 tersebut. Kuburan itu ikut rusak. Yang sudah mati di dalamnya mati lagi.
Berita itu salah: mereka bukan baru mati dua kali. Tahun 1961 mereka juga pernah mati lagi. Kala itu terjadi banjir lumpur yang luar biasa di Lembah Babi tersebut. Bahkan, lebih dari 2.000 orang yang masih hidup di sekitar kuburan ikut mati beneran. Itulah lumpur yang bertahun-tahun ditampung di situ: lumpur buangan pabrik keramik. Sudah dibuatkan dam untuk penahan. Tidak cukup kokoh. Dam itu jebol.
Baca Juga: SKK Migas Teken Kontrak Kerja Sama Wilayah Kerja Amanah dan Melati
Berarti, mereka yang di kubur di situ sudah mati tiga kali. Lembah Babi (Baby Yar) –Lembah Nenek– adalah saksi mati atas dibunuhnya 33.771 orang Yahudi. Hanya dalam dua hari pembantaian: 29 dan 30 September 1941.
Hanya di Kiev.
Belum termasuk pembantaian yang lebih besar di Odesa –kota pelabuhan terbesar di Ukraina yang sekarang juga diserang Rusia.
Baca Juga: PRPP Sabet Patra Nirbhaya Karya Pratama
Nasib Ukraina kelihatannya mirip dengan makna kata ukraina itu sendiri: perbatasan. Ia berada di perbatasan antara Slavia dan Rusia. Ia kejepit. Gabungan antar-ras. Karena itu, wanitanya cantik-cantik –tidak terhitung ”i”-nyi.
Kemarin saya rekaman podcast dengan gadis Belarus. Namanya Aleksandra Klintsevich. Panggilannya Sasha. Dia mahasiswi Belarus yang kuliah di Universitas Teknologi Sumbawa. Jurusan psikologi, semester ke-4.
Dari obrolan itu, saya bisa ikut merasakan kesedihan gadis Belarus tersebut. Sasha punya banyak teman di Ukraina. Dia sering ke Ukraina. Ke banyak kota di Ukraina. Dari ibu kota Belarus, Minsk, ke ibu kota Ukraina, Kiev, hanya tiga jam naik mobil.
Baca Juga: Pelayanan SPBU Mulung Tuban Tak Profesional, Pertamina Siap Turun Tangan
Sasha tiap hari kontak-kontakan dengan teman Ukraina-nyi. ”Sedih sekali,” kata Sasha yang mulai bisa berbahasa Indonesia.
Sasha tidak perlu visa untuk ke Ukraina. Demikian juga orang Ukraina, tidak perlu visa ke Belarus. Bahasa di kedua negara tidak banyak beda. ”Orang Belarus bisa mengerti bahasa Ukraina. Dan sebaliknya,” kata Sasha.
Kini Belarus sepenuhnya memihak Rusia. Pasukan yang akan menyerang Kiev datang melalui Belarus. Maka, Belarus juga menjadi sasaran sanksi ekonomi dari negara Barat.
Baca Juga: Ini Respons Bupati Kediri Soal Kelangkaan Tabung Gas Elpiji yang Dikeluhkan PKL
Kelak, kalau Ukraina menjadi anggota Masyarakat Ekonomi Eropa, hubungan itu akan berbeda. Apalagi kalau Ukraina akan menjadi anggota NATO. Orang Belarus tidak akan bisa lagi bebas ke Ukraina. Harus menggunakan visa.
Tentu sasaran utama sanksi masih tetap Rusia. Saya pun menelusuri perkembangan pengenaan sanksi di bidang sistem perbankan. Yang secara luas sudah diberitakan: bank-bank Rusia tidak boleh lagi menggunakan Swift –sistem pengiriman uang yang digunakan 11.000 bank di seluruh dunia. Itu diumumkan Selasa lalu. Mulai efektif Rabu kemarin.
Apakah ekonomi Rusia langsung runtuh?
Baca Juga: Pertamina EP Cepu Field Rawat Sumur di Distrik Tapen
Saya kaget. Ternyata hanya tujuh bank di Rusia yang dikeluarkan dari Swift. Yang besar hanya dua bank: VEB RF dan Bank Rossiya. Itu milik pemerintah Rusia.
Masih terlalu banyak bank di Rusia yang tetap boleh menggunakan sistem Swift.
Bank sangat besar seperti Sberbank dan Gazprombank tidak termasuk yang dikeluarkan.
Baca Juga: Warga Jenu Masih Was-Was, Khawatir Tangki BBM Pertamina di Tuban Bocor Lagi
Rupanya, Jerman, Prancis, dan Italia menentang pengenaan sanksi menyeluruh. Itu akan melumpuhkan pasokan energi bagi Eropa. Mereka tidak bisa membayar harga gas yang berarti tidak akan mendapat kiriman gas dari Rusia.
Tentu daftar bank yang terkena sanksi masih bisa berubah. Bergantung tarik-menarik kepentingan di antara sesama negara Barat. Yang tidak bisa menggunakan Swift juga masih bisa menggunakan jalan memutar. Hanya perlu waktu dan biaya.
Bisa juga menggunakan cara lama: pakai TELEX. Hanya saja tidak terlihat modern.
Baca Juga: Di IOG SCM Summit 2024, Pj Gubernur Jatim Tekankan Pentingnya Manajemen Rantai Pasok
Itu untuk transaksi internasional. Sedang untuk transaksi di dalam negeri sama sekali tidak ada hambatan. Rusia punya sistemnya sendiri. Seperti juga Tiongkok.
Bagaimana dengan Indonesia?
Yang pasti, Anda yang pro-Rusia maupun yang pro-Ukraina akan bernasib sama: sama-sama akan menerima akibat buruk. Yakni, kenaikan harga bensin. Harga minyak mentah sudah naik sampai USD 107 per barel. Pertamina tidak akan kuat menahan harga bensin yang ada sekarang.
Mungkin harga terigu juga akan ikut naik. Kiriman gandum dari Ukraina mulai terhambat.
Perang sebaiknya memang harus cepat selesai. Siapa pun yang menang. Mereka yang perang, kita yang tidak tahan. (Dahlan Iskan)
Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News