SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Manuver politik kekuasaan Luhut Binsar Pandjaitan makin berani menyerempet konsitusi yang seharusnya dijunjung tinggi dan dijaga bersama. Pria berusia 74 tahun itu diduga menyetting penundaan pemilu untuk perpanjangan masa jabatan presiden. Akankah Presiden Jokowi tunduk pada Luhut dan berani menentang Megawati Soekarnoputri?
Simak rangkuman wartawan BANGSAONLINE.com, M Mas'ud Adnan, yang disadur dari berbagai sumber. Selamat membaca:
Baca Juga: Alasan PDIP Pecat Jokowi dan Kelucuan Pidato Gibran Para-Para Kiai
HAMPIR semua media - baik cetak, digital maupun elektronik - menyebut bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan diduga berada dibalik skenario penundaan pemilu. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang menyuarakan kali pertama penundaan pemilu tak lebih sebagai “wayang” yang digerakkan dalang.
Begitu juga Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Bahkan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto yang kursinya perkasa di parlemen juga tak lebih sebagai “pion” atau “bidak”.
Ini memang ironis. Partai Golkar yang sebelumnya selalu menjadi inisiator politik nasional, ternyata dibawah kepemimpinan Airlangga Hartarto, justru menjadi pengekor para elit politik, terutama Luhut.
Baca Juga: Sidang Restitusi, Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Tuntut Rp17,5 M dan Tagih Janji Presiden
Lebih ironis lagi, Tempo melaporkan bahwa Airlangga Hartanto sempat diancam akan dicopot dari posisinya sebagai Menko Perekonomian RI. Ini berarti Partai Golkar sudah tak bertaring seperti pada kepemimpinan para ketua umum sebelumnya.
Tapi benarkah para ketum parpol itu tersandera? Inilah yang menarik. Muncul spekulasi bahwa tiga ketum parpol (Cak Imin, Zulkifli dan Airlangga) mudah tunduk dan bertekuk lutut karena diduga tersandera kasus dugaan korupsi. Terutama Cak Imin dan Zulkifli. Dua ketum parpol itu pernah dipanggil KPK. Bahkan tidak hanya sekali. Tapi beberapa kali. Sampai kini masih ada dem-demo yang mendesak agar KPK melanjutkan kasusnya.
Tapi Jodi Mahardi membantah. Juru bicara Luhut itu mengatakan Luhut tak menekan para ketua umum parpol.
Baca Juga: Rocky Gerung Ajak Pemuda di Surabaya Kritis Memilih Pemimpin
(Luhut Binsar Panjaitan. Foto: Tempo)
"Kalau untuk orkestrasi penundaan pemilu ya enggga lah. Masa sih Pak Luhut bisa tekan-tekan partai politik,” bantah Jodi Mahardi kepada wartawan, Sabtu (5/3/2022).
Baca Juga: Dukung Swasembada Pangan, Menteri ATR/BPN: Butuh Tata Kelola Pertanahan yang Baik
Meski demikian ia mengakui bahwa Luhut memang bertemu para ketua umum parpol. Menurut dia, dalam pertemuan itu hanya bicara masalah kebangsaan. Tapi – kata Jodi – Luhut memang mengutarakan pandangannya bahwa ia sangat mengagumi kepemimpinan Presiden Jokowi. Jodi menganggap itu wajar.
Nah, tampaknya “kekaguman” Luhut itu yang kemudian dikemas menjadi alasan penundaan Pemilu. Maka pimpinan parpol koalisi yang sudah tak berkutik secara hukum dan politik langsung “koor” menyanyikan lagu “setuju”.
Padahal mereka sendiri punya ambisi besar mencalonkan diri sebagai presiden. Kecuali Zulkifli Hasan - yang kabarnya diiming-imingi masuk kabinet tapi hingga sekarang belum ada realisasinya - para ketua umum parpol itu banyak memasang baliho dan menggerakkan para kader partainya untuk menggalang dukungan sebagai capres.
Baca Juga: Vinanda-Gus Qowim dapat Pesan Peningkatan Industri Pariwisata dari Jokowi
Yang paling menyolok tentu Cak Imin. Ia menggerakkan para kader PKB di Jawa Timur untuk deklarasi dukungan pada dirinya sebagai capres. Bahkan, meski hingga sekarang elektabiltasnya tak beranjak dari nomor sepatu, tapi Cak Imin terus mengklaim bahwa dirinya diminta jadi capres oleh kiai.
Demi elektabilitas itu juga, Cak Imin beberapa kali mengganti namanya. Pernah memperkenalkan diri sebagai Gus AMI, kini berganti lagi menyosialisasikan diri sebagai Gus Muhaimin.
Airlangga Hartarto juga begitu. Ia banyak memasang baliho di beberapa titik strategis di Jawa Timur. Tak tanggung-tanggung. Ia memasang gambar dirinya bersanding dengan Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur. Dibawahnya tertulis: kader Golkar.
Baca Juga: Warisan Buruk Jokowi Berpotensi Berlanjut, Greenpeace Lantang Ajak Masyarakat Awasi Prabowo-Gibran
Ironisnya, tampak tak da efek apa-apa. Buktinya hasil survei beberapa lembaga survei menunjukkan tingkat elektabilitas para ketum parpol itu – termasuk Airlangga Hartarto - tak beranjak signifikan.
Khofifah memang punya pendukung fanatik. Terutama Muslimat NU. Atau warga NU secara umum. Tapi dukungan itu hanya untuk Khofifah. Bukan untuk Airlangga Hartarto. Artinya, meski Airlangga Hartarto memajang foto bersanding dengan Khofifah, tidak otomatis dapat “barokah” dukungan suara dari pendukung Khofifah. Kecuali mereka menjadi capres-cawapres resmi.
Tapi sudahlah. Itu urusan mereka. Yang menjadi urusan kita - rakyat - adalah manuver politik penundaan pemilu. Karena pemilu, selain melibatkan semua rakyat, juga terkait langsung dengan konsitutusi yang harus kita junjung tinggi dan jaga bersama.
Baca Juga: Di Banyuwangi, Khofifah Ucapkan Selamat untuk Prabowo dan Gibran
(A. Muhaimin Iskandar. Foto: CNNIndonesia)
Apalagi, mayoritas rakyat Indonesia menolak manuver penundaan pemilu. Memang, Luhut mengklaim punya big data yang berisi percakapan 110 juta orang di media sosial mendukung penundaan Pemilu 2024. Menurut Luhut dan Muhaimin, berdasarkan Big Data itu 60 persen setuju perpanjangan masa jabatan presiden dan 40 persen menolak.
Yang lucu, Luhut juga mengklaim pemilih Partai Demokrat, Partai Gerindra, dan PDIP mendukung wacana peundaan pemilu. Padahal tiga partai politik tersebut menyatakan menolak usulan penundaan Pemilu 2024.
Baca Juga: Di Penghujung Jabatan Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Gebuki Mafia Tanah
Luhut juga mengklaim rakyat tidak mau uang Rp110 triliun dipakai untuk menyelenggarakan pemilu serentak.
“Nah, itu yang rakyat ngomong. Nah, ini kan ceruk ini atau orang-orang ini ada di Partai Demokrat, ada di Partai Gerindra, ada yang di PDIP, ada yang di PKB, ada yang di Golkar," klaim Luhut dalam siniar di kanal Youtube Deddy Corbuzier, Jumat (11/3).
Untungnya, klaim tak berdasar Luhut dan Muhaimin itu – karena tak disertai data pendukung - langsung dipatahkan oleh hasil hitung empat lembaga survei. Yaitu, Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Hasil survei lembaga yang dipimpin Denny JA itu menunjukkan bahwa sebesar 65,1 persen responden yang puas dengan kinerja Jokowi menentang penundaan Pemilu 2024. Sedangkan pemilih yang menyatakan tak puas dengan kinerja Jokowi, angka yang menentang penundaan pemilu jauh lebih besar yaitu sebesar 87,3 persen.
Hasil survei Indikator Politik juga menunjukkan mayoritas publik menolak penundaan pemilu. Mereka justru setuju pemilu 2024 tetap digelar meski dalam keadaan pandemi Covid-19.
Dalam survei akhir tahun 2021 itu menunjukkan 67,2 persen responden memilih pergantian kepemimpinan nasional melalui Pemilu 2024 tetap dilaksanakan meski tengah pandemi. Hanya 24,5 persen responden memilih pemilu ditunda hingga 2027. Sedang 8,3 persen sisanya tak menjawab.
Begitu juga hasil Lembaga Survei Indonesia (LSI). Hasil survei LSI menunjukkan 75,5 persen responden menolak usulan perpanjangan masa jabatan presiden maupun penundaan Pemilu 2024 karena alasan harus memastikan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur.
Lembaga Survei Nasional (LSN) juga menunjukkan sebanyak 68,1 persen atau mayoritas publik tidak setuju terhadap usulan penundaan Pemilu 2024 sekaligus perpanjangan masa jabatan presiden.
Walhasil, makin jelas posisi Luhut dalam manuver penundaan pemilu itu. Pertanyaannya, akankah Presiden Jokowi memilih mengikuti titah politik Luhut yang berarti akan berhadapan dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri? Bukankah Jokowi jadi presiden diusung PDIP?
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, Jokowi dan Megawati memiliki nafas yang sama. Tunduk pada konstitusi yang mengatur pemilu tiap lima tahun sekali. Artinya pemilu berikutnya tetap dilakukan pada 2024.
Hasto menjelaskan, pertemuan Megawati dan Presiden Jokowi dilakukan secara periodik. Kali ini dilakukan di Rumpin Bogor. Hal ini karena sejak awal, Megawati menaruh perhatian yang begitu besar terhadap gerakan penghijauan dan menjaga kelestarian alam raya.
“Nah terkait penundaan Pemilu, sikap Bu Mega dan Pak Jokowi kan senafas, taat, tunduk dan patuh pada konstitusi. Jadi karena sudah sama, ya tidak perlu dibicarakan. Nursery lebih penting bagi masa depan pembangunan yang pro lingkungan,” tegas Hasto.
Ketum Partai NasDem Surya Paloh meyakini usulan terhadap penundaan pemilu tidak akan terealisasi. Paloh yakin usulan itu akan game over sebelum sampai ke MPR.
"NasDem mampu memprediksikannya, sebelum sampai situ, game is over. Untuk apa kita buang energi pada hal-hal itu," kata Surya Paloh, Kamis (3/3).
Sementara Partai Demokrat menilai usulan itu melanggar konstitusi.
"Pertama, usul itu jelas melanggar konstitusi. Politik harus dijalankan menurut konstitusi. Bukan menurut selera kekuasaan. Menurut konstitusi, Pemilu dilaksanakan lima tahun sekali untuk pileg dan pilpres. Patuhlah pada konstitusi. Itu sehat untuk demokrasi," kata Waketum Partai Demokrat Benny K Harman kepada wartawan, Rabu (23/2).
Waketum Partai Gerindra Sugiono juga tegas menolak perpanjangan masa jabatan presiden melalui penundaan Pemilu 2024.
"Gerindra akan selalu taat kepada ketentuan dan asas konstitusional. UUD NRI tahun 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara luber dan jurdil setiap lima tahun sekali dan itu merupakan sebuah perintah yang jelas dari konstitusi kita," kata Sugiono kepada wartawan, Rabu (2/3).
Bagaimana menurut Anda? Monggo berpendapat. (M Mas'ud Adnan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News