LOMBOK (BANGSAONLINE.com) - Pemilihan Rais Am Syuriah NU yang hanya diwakili 9 orang kiai lewat sistem Ahlul Halli Wal Aqdi (Ahwa) tampaknya bakal gagal total. Buktinya, makin banyak PWNU dan PCNU yang menolak secara lantang Ahwa versi PBNU itu. Mereka justru lebih menghargai pendapat KH Ahmad Baghowi, Rais Syuriah PCNU Nganjuk Jawa Timur yang memaparkan Ahwa berdasarkan kitab kuning yang dikenal sebagai kitab muktabarah atau standar pesantren.
Yang menarik, penolakan itu justeru terjadi dalam acara Pra-Muktamar bertema "Penguatan NU melalui Sistem Ahlul Halli wal Aqdi". Acara itu digelar di Pesantren Al-Mansyuriyah Bonder Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat (NTB). Tema ini memang merupakan upaya elit PBNU untuk menyosialisasikan Ahwa.
Baca Juga: Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan
Dalam acara Pra-Muktamar itu, panitia selain menampilkan KH Miftahul Akhyar, Rais Syuriah PWNU Jawa Timur juga menampilkan Dr Mutawalli, akademisi dari IAIN Mataram NTB sebagai pembicara. Dr. Mutawalli membuat makalah dalam acara tersebut. Namun berbeda dengan Kiai Miftahul Akhyar yang pendukung utama Ahwa, Mutawalli justru khawatir kalau Ahwa diterapkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang akan ada hegemoni minoritas terhadap mayoritas.
”Jika hegemoni minoritas ke mayoritas itu terjadi akan ada kesan bahwa NU terkooptasi oleh kepentingan minoritas dan mengabaikan kepentingan mayoritas, ini perlu dicarikan solusi,” tegas Mutawalli.
Menurut dia, Ahwa yang dipersepsikan elit PBNU cuma diwakili 9 kiai bukanlah yang terbaik. ”Sampai kini belum ada rumusan yang valid bahwa Ahwa merupakan pilihan terbaik,” kata Dekan Fakultas Syariah IAIN Mataram itu.
Baca Juga: Kembangkan Kewirausahaan di Lingkungan NU, Kementerian BUMN Teken MoU dengan PBNU
Saat ditanya Ahwa versi PBNU itu untuk menghadang tokoh NU tertentu baik sebagai Rais Am maupun Ketua Umum PBNU, Dr. Mutawalli menjawab, “Wah itu bukan ranah saya selaku akademisi.”
Sebelumnya, diberitakan bahwa upaya PBNU mensosialisasikan sistem Ahwa sebagai pemilihan Rais Am Syuriah terus mendapat penolakan. Ini tampak dalam acara Pra-Muktamar yang digelar di Pondok Pesantren Al Mansyuriyyah, Bonder, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Kamis (9/4/2015). Saat itu tampil Rais Syuriah PWNU Jawa Timur KH Miftahul Akhyar tampil sebagai narasumber. Ia mengatakan bahwa Ahwa sudah diputuskan Munas-Konbes.
Pernyataan Kiai Miftahul Akhyar itu langsung ditentang Sekretaris PWNU Nusa Tenggara Timur (NTT), Abdullah Ulumando. ”Munas dan Konbes yang mana?,” kata Abdullah Ulumando dengan suara lantang. ”Saya ini peserta Munas-Konbes. Tak pernah ada keputusan soal Ahwa,” kata Abdullah Ulumando.
Baca Juga: Konflik Baru Cak Imin, Istri Said Aqil Mundur dari PKB, Akibat Khianat saat Muktamar NU?
Abdullah Ulumando memang peserta aktif dalam Munas-Konbes. Kebetulan ia masuk dalam komisi organisasi bersama Ketua PWNU NTT Jamaluddin Ahmad, dan Wakil Ketua PWNU NTT Ir Jalaluddin Betan. “Saya ini masuk komisi organisasi dalam Konbes . Saat itu tak ada keputusan soal Ahwa karena semua PWNU menolak,” tegas Abdullah Ulumando usai acara Pra-Muktamar di Lombok kepada BANGSAONLINE.com (9/4).
Menurut dia, seharusnya sudah tak ada pembahasan lagi soal Ahwa. ”Munas dan Konbes kan sudah jelas, Ahwa ditolak. Kok masih ada Ahwa dalam Pra-Muktamar,” kata Abdullah.
”Ini (NU) organisasi. Jangan dipaksakan begitu saja. Kalau kita paham berorganisasi kita harus melalui mekanisme dan prosedur. Munas-Konbes itu forum tertinggi setelah Muktamar. Kalau sudah ditolak di Munas dan Konbes seharusnya sudah tak ada Ahwa lagi dalam Pra-Muktamar,” tegas Abdullah Ulumando.
Baca Juga: Emil Dardak Dukung Muktamar NU ke-35 di Surabaya
Menurut Abdullah Ulumando, bukan hanya Ahwa yang ditolak oleh peserta Munas-Konbes yang terdiri dari PWNU seluruh Indonesia. “Draft PBNU yang mau menghapus PWNU dan diganti Konsul juga kita tolak,” tegas Abdullah Ulumando.
Soal dihapusnya PWNU ini memang menjadi perbincangan hangat di internal NU. ”Konsul itu nanti ditunjuk oleh PBNU. Jadi tak ada pemilihan,” kata Abdullah Ulumando. Artinya, hanya orang yang disukai PBNU yang ditunjuk.
Begitu juga draft PBNU yang mau menghapus Katib Am dan A’wan. ”Semua kita tolak,” kata Abdullah Ulumando. Yang paling parah soal rencana PBNU mau menghapus MWC dan Anak Ranting NU. ”Itu maunya apa. MWC, Ranting dan Anak Ranting itu kan kaki NU, kok mau dihapus,” kata Abdullah Ulumando. Dalam draft PBNU itu MWC NU menjadi sekedar wakil cabang, sedang anak cabang dihapus. Ironisnya, rencana PBNU yang mau mengubah struktur organisasi secara radikal ini tak pernah sampai ke PCNU. Menurut dia, sebagian PWNU sengaja menyembunyikan informasi ini kepada PCNU agar mereka tak tahu dan tak protes.
Baca Juga: Satu Abad Nahdlatul Ulama, Eri Cahyadi Ingin Surabaya jadi Tuan Rumah Muktamar NU ke-35
Sementara beberapa peserta Pra-Muktamar sependapat dengan pendapat KH. Ahmad Baghowi, Rais Syuriyah PCNU Nganjuk Jawa Timur. Dalam acara tersebut sempat beredar foto kopi berita wawancara Kiai Ahmad Baghowi yang dimuat BANGSAONLINE.com.
Seperti diberitakan BANGSAONLINE.com, Kiai Ahmad Baghowi mengingatkan BANGSAONLINE.com lewat sms. ”Pada waktu Rasulullah wafat jumlah sahabat 124.000 orang, kemudian mengangkat Khalifah Abu Bakar dengan (wakil pemilih/anggota Ahwa) berjumlah 5 orang,” tulis Kiai Ahmad Baghawi lewat SMS kepada BANGSAONLINE.com. Artinya, para sahabat yang saat itu berjumlah 124.000 orang diwakili oleh 5 orang untuk memilih Khalifah Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah SAW.
”Sekarang jumlah warga NU ratusan juta, kalau jumlah anggota Ahwa 500 orang sudah sesuai,” kata Kiai Ahmad Baghowi. Artinya, pemilihan Rais Am dan Ketua Umum PBNU yang selama ini diwakili 500 Rais Syuriah dan Ketua Tanfidziah seluruh Indonesia sudah sesuai Ahwa. “Silakan lihat kitab Qorthrul Ghaits halaman 12 dan kitab Al-Fiqhu Alaa Madzahibil Arb’ah halaman 1364,” kata Kiai Ahmad Baghowi.
Baca Juga: Muktamar NU, Yahya Staquf, Birahi Politik, dan Sandal Tertukar
Menurut dia, sangat tidak masuk akal kalau warga NU yang jumlahnya ratusan juta hanya diwakili 9 orang seperti konsep Ahwa PWNU Jawa Timur dalam memilih Rais Am dan Ketua Umum PBNU. Sebab konsep tersebut selain mengerdilkan NU juga menghambat semangat pengurus NU di daerah untuk berkhidmat pada NU. “Ini jelas mengurangi semangat PCNU,” tegasnya. Padahal, menurut dia, PBNU dan PWNU Jawa Timur seharusnya member support dan motivasi kepada PCNU agar semakin semangat untuk berkhidmat di NU, bukan malah menghambat dengan berbagai rancangan aturan.
Kiai Ahmad Baghowi juga mengingatkan agar Ahwa jangan dijadikan alat kekuasaan untuk tujuan diluar jalur agama atau syariat Islam. ”Ahwa jangan bertujuan untuk mendukung atau menjatuhkan calon Rais Am atau Ketua Umum PBNU. Tapi harus bertujuan mengikuti jejak Khulafaurrasyidin sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW,” katanya.
Kiai Ahmad Baghowi juga mengingatkan tentang upaya PBNU untuk melakukan perombakan struktur kepengurusan NU. ”Dengan alasan untuk merampingkan kepengurusan NU kini ada draft kepengurusan dari tim PBNU. Draft struktur kepengurusan tersebut mirip sekali dengan Syiah Imamiyah,” tegasnya.
Ia menyebut salah satu contoh dalam dratf tersebut. Yaitu PWNU mau diganti dengan istilah konsul yang hanya dikendalikan 5 orang pengurus. ”Itu pun yang nunjuk PB(NU). Ini kan persis dengan Syiah Imamiyah. Semuanya ditentukan dan harus patuh kepada pusat,” kata Kiai Ahmad Baghowi.
Baca Juga: Ketum PBNU yang Baru Diharapkan Mampu Menjawab Tantangan di Era Globalisasi
Ia menilai indikasi PBNU kerasukan paham Syiah semakin jelas. “Ini suatu tanda bahwa Syiah berkuassa di PBNU,” katanya.
Selama ini PBNU dianggap sangat “toleran” terhadap Syiah. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menghukumi Syiah paham terlarang, PBNU menganggap Syiah saudara. Padahal secara aqidah Syiah jelas bertentangan dengan paham Aswaja An-Nahdliah yang jadi dasar NU.
Meski Kiai Ahmad Baghowi tak menyebut siapa yang dimaksud elit PBNU “toleran” kepada Syiah, tapi tampaknya yang dituju adalah Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj. “Saya melihat di TV PBNU menyatakan bahwa Syiah saudara kita,” kata Kiai Ahmad Baghowi.
Ia berharap kepada para Muktamirin agar membersihkan NU dari unsur Syiah. “Orang yang berbau Syiah jangan sampai diberi tempat dalam kepengurusan NU,” katanya serius. Karena itu ia minta agar semua pengurus NU hati-hati dalam memilih pemimpin NU dalam Muktamar yang akan datang. ”Kita harus menjaga NU. Jangan sampai orang yang berbau Syiah, Islam Liberal dan Wahabi, jadi pengurus PBNU,” pintanya. (hms)
Baca Juga: Sepulang dari Muktamar NU, Ini yang Dilakukan Kiai Asep Saifuddin Chalim
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News