Harga Minyak Goreng Belum Turun, Haruskah Salahkan Idul Fitri dan SBY?

Harga Minyak Goreng Belum Turun, Haruskah Salahkan Idul Fitri dan SBY? Dahlan Iskan

Atau menunggu siklus dunia minyak goreng. Akan sampai saatnya harus turun.

Siklus itu agak panjang. Dimulai dari putusan sapu jagat itu.

Ekspor dilarang.

Pabrik minyak goreng merespons. Yang punya kebun memilih menggunakan buah sawit dari kebun sendiri. Lebih murah. Juga bisa mengurangi resiko kebun. Buah sawit yang masak kan harus dipanen.

Pabrik minyak goreng yang tidak punya kebun, merespons dengan ini: hanya mau membeli sawit dari rakyat dengan harga turun.

Siklus berikutnya: harga sawit rakyat turun.

Seminggu setelah larangan ekspor CPO/Migor itu, sudah turun dari Rp 2.450 ke Rp 2.350. Sekitar itu. Tergantung lokasi.

Minggu kedua setelah larangan ekspor turun lagi. Jadi Rp 2.150.

Petani sawit mulai menjerit. Terutama yang kebunnya belum berumur 8 tahun.

Kebun sawit itu, belum menghasilkan di umur 3 tahun. Setelah itu, sampai umur 5 tahun pun, hasilnya belum banyak. Baru sekitar 1,5 ton/hektare.

Baru setelah berumur 8 tahun bisa menghasilkan 3 ton/hektare/bulan.

Maka, ketika kebun masih belum 6 tahun, hasilnya belum banyak. Harga yang turun terus menyulitkan petani.

Bagi yang sudah 8 tahun, harga sekarang pun belum rugi. Untungnya yang berkurang banyak.

Dengan harga sekarang, berarti harga sawit sudah turun sekitar 12 persen.

Apakah otomatis harga jual minyak goreng bisa turun 12 persen? Anda sudah tahu: tidak. Perlu satu siklus tersendiri. Yakni siklus stok bahan baku, siklus produksi, siklus gudang dan siklus distribusi.

Pabrik minyak goreng hanya bisa berproduksi. Mereka tidak punya jaringan distribusi sampai toko di dekat rumah Anda.

Saya tidak punya kebun sawit. Maka saya tidak bisa cepat menghitung: sampai di angka berapa petani bisa menerima penurunan harga itu.

Yang pasti tidak mungkin bisa kembali seperti dulu: Rp 1450/kg. Harga pupuk sudah naik banyak. Harga BBM juga naik banyak. Upah buruh pun naik banyak.

Kalau dipaksa berhemat yang jadi korban pertama adalah upah buruh.

Kalau harga sawit menjadi Rp 2.000/kg berarti sudah turun 20 persen. Cukup. Asal juga bisa turun 20 persen.

Tapi hukum pasar tidak begitu. Siklus itu terlalu panjang. Kerugian negara juga terlalu besar. Apalagi kalau penurunan harga itu sampai berpengaruh pada menurunnya kualitas pemupukan dan perawatan. Kebun akan rusak. Untuk jangka yang panjang.

Maka tetaplah lebih baik ekspor dibuka lagi. DMO dijalankan dengan disiplin –termasuk sanksi yang keras. Subsidi diberikan sewajarnya. Dan BLT diteruskan.

Selebihnya: tugas sepenuhnya pemerintah untuk menaikkan pendapatan rakyat. (Dahlan Iskan)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Lihat juga video '2 Jam, 2.500 Liter Minyak Goreng Murah Ludes Terjual':


Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO