BANGSAONLINE.com - Dalam Pra-Muktamar NU di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) KH Chalid Mawardi, Mustasyar PBNU, membuat geger peserta. Pasalnya, di tengah situasi panas karena peserta menolak sistem pemilihan Ahlul Halli Wal Aqdi (Ahwa) diterapkan dalam Muktamar NU ke-33 di Jombang, tiba-tiba Chalid Mawardi berdiri dan menyatakan, “Suka tak suka Ahlul Halli Wal Aqdi harus dilaksanakan dalam Muktamar di Jombang.”
Tentu saja situasi makin panas dan penolakan pun makin menjadi-jadi. Tapi moderator langsung menutup acara karena sudah memasuki istirahat. Siapa sebenarnya Khalid Mawardi?.
Baca Juga: Mitos Khittah NU dan Logika Kekuasaan
Chalid Mawardi adalah mantan ketua umum GP Ansor. Ia salah satu pelaku sejarah NU saat terjadi tarik-menarik antara kubu KH Idham Chalid yang dikenal sebagai kubu Cipete dengan KH As’ad Syamsul Arifin yang dikenal sebagai kubu Situbondo yang kemudian populer sebagai kubu khitah.
Bahkan ketika para kiai-kiai kharismatik NU seperti KH As’ad Syamsul Arifin, KH Moenasir Ali, KH Ali Ma’shum, KH Machrus Aly, KH Masjkur, KH Ahmad Shiddiq dan KH Saifuddin Zahri dan bersama para ulama NU lain menggelar Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan kemudian menunjuk KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai ketua panitia Muktamar NU ke-27 pada 1984 di Situbondo, kubu Cipete atau KH Idham Chalid menunjuk Chalid Mawardi sebagai ketua panitia Muktamar NU tandingan.
Namun para kiai itu kemudian bisa menyelesaikan konflik NU dengan baik sesuai kultur NU sehingga dua kubu itu kembali bersatu untuk menyukseskan Muktamar NU ke-27 di Situbondo yang kemudian melahirkan duet Rais Am KH Ahmad Shiddiq dan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Jadi, meski mereka terlibat konflik, tapi selalu bisa menyelesaikan secara baik dan tak ada dendam bahkan bahu membahu berjuang dan membesarkan NU.
Baca Juga: Kembangkan Kewirausahaan di Lingkungan NU, Kementerian BUMN Teken MoU dengan PBNU
Belum lama ini, usai acara Pra-Muktamar di Lombok NTB, KH Faisholi Harun (Gus Faisholi) dari Banyuwangi melakukan silaturahim ke kediaman Chalid Mawardi di Jl Masjid Al-Ittihad Kelapa Dua RT 005 RW 006 No. 9 Kelurahan Kelapa dua Kebun Jeruk Jakarta Barat.
Gus Faisholi adalah aktivis Ansor saat Chalid Mawardi jadi ketua umum GP Ansor. Nah, dalam percakapan dengan Gus Faiholi itulah banyak sekali poin-poin pemikiran Chalid Mawardi yang sangat positif dan perlu diketahui publik, terutama warga NU. Ia bicara banyak tentang NU, termasuk politik uang dalam Muktamar NU ke-32 di Makassar. Selain itu ia juga bicara tentang ma'unah (pertolongan) yang menyelamatkan negara ini melalui tokoh-tokoh NU.
”Saya melihat sendiri saat muktamar di Makasar permainan uang. Ini jangan sampai terjadi lagi di NU. Muktamar Makassar Muktamar terjelek karena ada oknum yang bermain uang untuk meraih jabatan di NU,” katanya. Produk Muktamar NU Makassar tentu saja sudah diketahui bersama.
Baca Juga: Konflik Baru Cak Imin, Istri Said Aqil Mundur dari PKB, Akibat Khianat saat Muktamar NU?
Chalid Mawardi mengaku setuju Ahwa karena alasan peristiwa buruk Muktamar di Makasar. Tapi praktiknya, menurut dia, harus tokoh NU yang betul-betul disaring dari PCNU, PWNU, lalu di ambil 9 orang untuk menentukan PBNU. Jadi bukan langsung menunjuk 9 orang begitu saja.
Saat ditanya apakah mungkin Ahwa model itu bisa dilaksanakan dalam Muktamar NU ke-33 mengingat waktu yang sudah dekat?. Chalid Mawardi tidak menjawab tegas karena Ahwa masih kontroversial: PCNU dan PWNU belum bisa menerima.
Chalid Mawardi mengingatkan bahwa Pancasila ini bisa kuat jadi dasar negara RI karena ada NU. ”Jadi NU jangan sampai dimasuki aliran/paham lain seperti Syi’ah, HTI, Wahabi atau organisasi lain yang tidak menerima Pancasila. Kalau NU sudah lepas dari ulama Ahlussunnah wal Jama’ah saya yakin 10 tahun lagi Pancasila akan lenyap,” tegasnya.
Baca Juga: Emil Dardak Dukung Muktamar NU ke-35 di Surabaya
Tapi, menurut dia, Allah SWT selalu memberi ma'unah (pertolongan) dengan munculnya orang hebat yang menggerakkan NU. Artinya, disamping keberadaan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Idham Chalid dan para kiai-kiai pondok pesantren, selalu ada tokoh seperti KH Mahfudz Shiddiq yang ahli dibidang administrasi, sehingga NU menjadi organisasi yang memiliki manejemen.
Selain KH Mahfudz Shiddiq juga ada KH. Wahid Hasyim yang memiliki pemikiran politik kebangsaan yang dikagumi tokoh tokoh nasional. Ada H. Subhan, ZE yang memiliki pemikiran politik nasional yang dapat memberi pencerahan dan pemahaman politik pada warga NU. Ada KH. Abdurrahman Wahid yang memiliki pemikiran keagamaan, kebangsaan, politik dan pluralisme yang dikagumi masyarakat nasional maupun internasional.
”Lalu ada KH. Hasyim Muzadi yang memiliki kemampuan memperjuangkan missi Islam rahmatan lil’alamin, Islam yang moderat hingga ke dunia internasional melalui NU dan ICIS-nya. Dan selalu aktif dalam mengikuti perkembangan dan menangani masalah keagamaan, kebangsaan dan politik nasional maupun internasional,” katanya.
Baca Juga: Satu Abad Nahdlatul Ulama, Eri Cahyadi Ingin Surabaya jadi Tuan Rumah Muktamar NU ke-35
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News