Pembunuhan Massal di AS, Ada yang Cari Sensasi, Ada yang Kecewa pada Tenaga Medis

Pembunuhan Massal di AS, Ada yang Cari Sensasi, Ada yang Kecewa pada Tenaga Medis Dahlan Iskan di lahan gandum di Amerika Serikat (AS).

Turun dari bus kota, Gregory menenteng tas. Juga menyandang senjata. Ia pun masuk ke lobi klinik tersebut: Dor! Dor! Dor!

Tiga di bagian depan klinik itu tersungkur. Lalu Gregory masuk ke dalam: Dor! Dor! Dor!

Dua lagi roboh. Bersimbah darah. Yang satu meninggal.

Gregory lantas meledakkan bom pipa pertama. Kaca-kaca rontok. Lalu bom kedua. Lebih rontok lagi. Bom ketiga tidak bisa meledak.

Inilah catatan waktunya:

Jam 10.52 Gregory turun dari bus.

Jam 10.54 sudah ada telepon masuk ke 911. Dari banyak penelepon.

Jam 10.58 satu telepon lagi masuk ke 911. Yang menelepon mengaku bernama Gregory. Ia minta agar dikirim banyak ambulans. Ia juga minta agar dirinya ditangkap.

Selesai menelepon, Gregory tengkurap di lantai. Ia menunggu polisi datang untuk menangkapnya.

Di pengadilan Gregory mengaku hanya ingin bikin sensasi. Agar menarik perhatian. Ia mengaku tidak punya niat membunuh.

Apa yang ia harapkan dari sensasinya itu?

"Agar dokter ikut merasakan penderitaan orang yang sakit tulang belakang," katanya kepada hakim. Tujuan akhir Gregory: agar dokter mau terus memberikan resep narkotika kepada penderita sakit tulang belakang.

"Menjadi tua itu sakit sekali. Apalagi punya masalah di tulang belakang," ujar Gregory.

Saya bisa merasakan sakitnya Gregory. Saya pernah kecetit seperti itu. Lebih 40 tahun lalu. Ketika saya masih bisa bekerja 18 jam sehari. Demi memajukan media yang Anda sudah tahu itu.

Saya terkena masalah jam 4 pagi. Ketika baru saja bangun tidur di lantai ruang kerja –mulai tidur jam 02.00 bangun jam 04.00. Saya langsung ke meja komputer. Saya ingin menyalakan stavolt di bawah meja. Saya raih tombol itu. Dengan membengkokkan punggung.

Dor! Saya menjerit. Sakit sekali. Saya tidak bisa berdiri. Setengah jam saya menangis. Seorang diri. Di ruang kerja kantor yang sudah sepi.

Saya coba turun dari kursi. Ingin berbaring di lantai. Tidak bisa. Sakit sekali. Lalu saya jatuhkan badan saya ke lantai. Dengan rasa sakit yang sampai keluar air mata. Saya berhasil telentang. Terasa agak enakan. Lalu mencoba miring. Gagal. Tidak tahan. Sakit sekali.

Saya pun gagal menyiapkan materi rapat jam 7 pagi hari itu. Padahal peserta rapat itu para pimpinan bank cabang Surabaya.

Pelan-pelan saya berusaha menuju ruang rapat. Dengan penuh kesakitan. Dari ruang kerja ke ruang rapat itu perlu waktu dua jam. Tiap satu langkah berhenti. Sambil pegangan tembok. Tidak ada yang melihat.

Jam 6.30 saya sudah duduk di meja pimpinan rapat. Saya tidak bisa menyambut tamu di pintu masuk –seperti biasanya. Saya duduk saja di ruang rapat. Menunggu tamu di situ.

Saya ramah-ramahkan wajah saya. Saya simpan sakit itu di dalam penderitaan. Rapat pun selesai. Tanpa ada yang tahu siksaan itu.

Begitu tamu-tamu pulang, saya minta diantar ke rumah sakit. Yang terdekat: RS RKZ. Di situ saya ditraksi. Bahu saya diikat di tempat tidur. Telapak kaki saya juga diikat. Tempat tidur itu bisa dipanjangkan secara elektronik. Bagian tengah tubuh saya ditarik ke atas dan ke bawah.

Seminggu saya menjalani terapi itu. Setiap hari. Mulai enakan. Lalu saya mencoba main sepak bola. Besoknya sakit itu kumat lagi. Lalu diterapi lagi. Sehat. Sampai sekarang. Tidak pernah kumat lagi –dan tidak pernah main sepak bola lagi. Dan tidak ada toko senjata di Surabaya.

Tidak terungkap apakah keinginan membuat sensasi Gregory tersebut juga akibat konsumsi narkotika yang panjang. (Dahlan Iskan)

Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan memilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO