SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Rata-rata sastrawan Surabaya berasal dari kampus. Hal itu diungkapkan Nanda A Rahmah, Anggota Tim Kreatif Majelis Sastra Urban.
Menurutnya, Surabaya memang berbeda dibanding kota-kota lain. Di Surabaya, kampus menjadi ladang subur munculnya sastrawan baru. Sebab, kampus kerab menjadi tempat diskusi sastra hingga pembacaan puisi.
Baca Juga: Temu Alumi Tebuireng, Gus Kikin: Kalau Tak Ada Resolusi Jihad Tak Ada Perang 10 November
"Di kampus mereka memulai atau mematangkan proses kreatif. Status mahasiswa membuka luas penjelajahan eksplorasi sastra sebagai bagian dari kerja intelektual. Infrastruktur dan situasi kampus turut menunjang pula," ucap penyair muda asal Surabaya tersebut, Sabtu (25/6/2022).
Adapun kampus-kampus di Surabaya yang merupakan penghasil sastrawan, menurut Nanda, antara lain Unair, UINSA, Unipa, Unesa, UMS, Unusa, STKW, AWS, serta kampus lainnya.
Baca Juga: Keren! D Zawawi Imron dan 15 Penyair bakal Baca Puisi di Festival Pesantren Tebuireng
Karena itu, pihaknya berupaya memberi kesempatan mahasiswa yang memiliki minat ataupun hobi menulis sastra melalui Majelis Sastra Urban. Termasuk mahasiswa yang bergiat di bidang seni, turut difasilitasi. Sehingga, mereka mendapatkan wadah untuk bereksplorasi, sharing gagasan, untuk mematangkan kreativitasnya.
"Kerap kali, Majelis Sastra Urban itu menjadi tempat pertama mahasiswa membacakan puisi ataupun menjadi narasumber di hadapan publik. Bertemu audiens umum. Sebelumnya mereka hanya berkutat di kampus atau di ruang maya," kata Nanda yang kebetulan memulai kepenyairan di Teater Gapus Unair ini.
Majelis Sastra Urban sendiri aktif kembali dengan menggelar diskusi puisi dan pertunjukan seni, pada Sabtu (25 Juni 2022) malam di pelataran Taman Budaya Jatim, tepatnya depan Kantin Heri Lentho. Acara itu pertama kali digelar, setelah sempat vakum akibat pandemi Covid-19.
Baca Juga: Perjalanan Fathurrohman Hartono, Pelukis Sketsa yang Bisa Terawang Kehidupan Seseorang
Pergelaran bertajuk 'Mahmoud Darwish dan Tradisi Puisi Kita' itu merupakan edisi kelima belas. Diskusi puisi kali ini membahas karya Mamoud Darwish.
Menurut Ribut Wijoto, Koordinator Majelis Sastra Urban, puisi karya Mahmoud Darwish mengandung dua aspek penting sehingga layak untuk diperbincangkan. Dari aspek puitik, Ribut menilai Puisi Mahmoud Darwish telah berkontribusi terhadap tradisi sastra Arab modern.
Kemudian dari aspek ketajaman pandangan atas tema, secara konsisten Puisi Mahmoud Darwish memerjuangkan kemerdekaan Palestina. Perjuangan yang membuat dia, bahkan, terusir dari negerinya (eksil) sampai ajal menjemput.
Baca Juga: Puisi Butet dan Buset
"Saya membaca buku puisi Mahmoud Darwish 'Surat dari Penjara' terjemahan Brah Muhammad. Saya rasakan, di situ, puisi memiliki gelora untuk memerjuangkan sesuatu. Suara dari suatu wilayah, suara dari suatu kultur, suara dari suatu kaum, suara dari gejolak sosial politik. Juga suara dari kesepian, senyap, dan impian-impian personal. Puisi yang mungkin ideologis atau propaganda tapi tetap hadir sebagai sebuah puisi," kata Ribut.
Adapun diskusi sastra itu dimoderatori oleh Nanda A Rahmah. Dengan narasumber pertama Brah Muhammad, penerjemah buku puisi Mahmoud Darwish berjudul Surat dari Penjara. Narasumber kedua Fahruddin Al-Mustofa, kritikus sastra lulusan Université Hassan II Casablanca, Maroko. (ari/rev)
Baca Juga: Tiga Hari di Turki, Pelukis Sket Hamid Nabhan Jadikan Tempat Peninggalan Bersejarah sebagai Obyek
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News