Tafsir Al-Kahfi 79-81: Membunuh Atas Nama Tuhan

Tafsir Al-Kahfi 79-81: Membunuh Atas Nama Tuhan Ilustrasi.

Oleh: Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag*

79. Ammaa alssafiinatu fakaanat limasaakiina ya’maluuna fii albahri fa-aradtu an a’iibahaa wakaana waraa-ahum malikun ya/khudzu kulla safiinatin ghashbaan

(Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang akan merampas setiap perahu.)

80. Wa-ammaa alghulaamu fakaana abawaahu mu/minayni fakhasyiinaa an yurhiqahumaa thughyaanan wakufraan

Dan adapun anak muda (kafir) itu, kedua orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran.

81. Fa-aradnaa an yubdilahumaa rabbuhumaa khayran minhu zakaatan wa-aqraba ruhmaan

Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).

TAFSIR AKTUAL

Drama yang diperankan Nabi Khidir A.S. dan A.S. terkait proses belajar-mengajar, di mana Khidir sebagai guru dan Musa sebagai murid, sungguh tidak sejalan dengan pendidikan sekarang yang orientasinya angka-angka, lulus dengan predikat terbaik, dan sebagainya.

Materi tes yang tidak lazim dijadikan standar untuk mengukur kelulusan. Murid disuguhi realita, kejadian nyata di depan mata dan benar-benar berlawanan dengan disiplin ilmu yang dimiliki si murid. Tapi disuruh diam saja tanpa berucap apa-apa. Memang tiga kali diuji dan tiga kali tidak lulus, tapi Musa justru tumbuh menjadi nabi yang hebat.

Jelas, bahwa kepatuhan, kedewasaan, kematangan, kesabaran, yang menjadi standar kelulusan menurut guru besar Khidir A.S.. Bukan potensi akademik dalam angka-angka. Rupanya Khidir melihat sisi inilah yang kurang dimiliki Musa sebagai nabi, pemandu umat manusia ke depan.

Dunia juga membenarkan pola pendidikan ala Khidir ini. Banyak orang besar: pengusaha, politikus, ilmuwan, budayawan yang tidak lulus sekolah. Sementara di sebelah sono segudang sarjana bloon dan lontang-lantung. Ilmunya tidak bisa menghidupi dirinya.

Khidir juga sadar bahwa Musa harus banyak-banyak waktu mendampingi umat, meski Musa sedia berlama-lama belajar bersama Khidir. Maka pertemuan singkat dimanfaatkan dengan pemberian materi yang paling dibutuhkan. Meski singkat, tapi padat dan penuh hikmah. Musa pulang dengan pengalaman baru yang sangat berharga. Singkatnya, Musa menjadi makin piawai menghadapi setiap problem.

Dua tindakan destruktif yang melanggar syari’ah dan satu perilaku humbelistik yang sangat mulia yang dilakukan Khidir sesungguhnya bukan atas kehendak sendiri, melainkan suruhan Tuhan. Ketiganya dibahasakan dengan sangat sopan dan fatalistik. Perhatikan permainan kata yang dipilih Khidir terkait tiga peristiwa tersebut, yakni:

Pertama, ketika merusak perahu milik orang-orang miskin, Khidir memakai kata: “fa aradTU an a’ibaha..”. Digunakan dlamir mutakallim wahdah “tu”, “a’ibaha”, saya pribadi. Khidir melimpahkan tindakan perusakan perahu pada diri sendiri. Suatu sikap sangat sopan di hadapan Tuhan. Meski itu atas perintah-Nya, tapi sekadar senilai perahu yang dirusak, maka cukuplah diri sendiri saja yang menanggung. Tuhan terlalu Mulia untuk dilibatkan.

Kedua, tidak sama ketika membunuh anak yang tidak berdosa, kata yang dipilih adalah penggabungan antara dia dengan Tuhan. “ fa aradNA an yubdilahuma khair minh…”. Dlamir “NA” mutakallim ma’ al-ghair (kami, kita) sebagai subyek pelaku. Artinya, pembunuhan terhadap anak kecil dengan harapan diganti dengan anak lebih baik itu adalah kehendak bersama antara Tuhan dengan Khidir. Tuhan yang memerintah dan Khidir eksekutornya.

Karena ini masalah besar menyangkut nyawa mansuia, kayaknya Khidir merasa berat bila harus dipikul sendirian, diakui sendiri seperti pada kasus pertama. Di hadapan Musa, Khidir lalu menyatakan diri bahwa bukan hanya dirinya peribadi yang terlibat, melainkan ada back up dan campur tangan Tuhan.

Ketiga, terkait pagar roboh yang diservis gratis. Ternyata pagar itu milik dua anak yatim. Orang tuanya sangat shalih, sementara kondisi masyarakat waktu itu sangat bobrok hingga tidak ada yang bisa dipercaya dititipi harta untuk bekal kedua anaknya guna menuntut ilmu kelak. Lalu harta itu ditanam dan ditandai pagar.

Kali ini, bahasa yang dipilih kebalikan dari tesis pada kasus pertama, yakni pelimpahkan total kepada Allah SWT sebagai subyek tanpa keterlibatan diri Khidir. “ fa arad Rabbuk…”. Ya, karena ini masalah super misterius dan sangat ghaib menyangkut keadaan masa depan, di mana Khidir tidak menjangkaunya, mungkin sudah mendahului wafat sebelum anak yatim itu tumbuh dewasa dan tiba waktunya menggunakan harta peninggalan.

Untuk itu, persoalan ini dilimpahkan mutlak kepada Allah SWT sebagai Dzat yang maha Abadi dan Kuasa. Biarlah Tuhan sendiri yang mengatur. Lalu ditandaskan dengan statement tagas, bahwa semua yang dilakukan di hadapan Musa, sekaligus sebagai bahan uji tersebut bukanlah atas inisiatif sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan. “ wa ma fa’altuh ‘an amry…dzalik ta’wil ma lam tasthi’ ‘alaih shabra”.

Apa yang dilakukan Khidir, merusak barang orang lain dan membunuh anak tak berdosa, adalah syari’ah khusus, pada zaman khusus, dan dilakukan oleh orang khusus. Dan, adegan tidak untuk ditiru. Syariah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah syariah yang sudah disempurnakan. Untuk orang durhaka, kafir, jahat, ada contoh yang perlu dicerdasi dan disesuaikan dengan kondisi obyektif pada kehidupan sekarang. Si kafir itu dibunuh atau dimaaf? Ini referensinya:

Pertama, dalam pertempuran sengit, seorang kafir terpojokkan oleh Usamah ibn Zaid saat duel satu lawan satu. You mau lari ke mana wahai musuh Allah? Begitu teriak Usamah yang segera dijawab oleh si kafir dengan ikrar: “Asyhadu an La ilah illa Allah wa ann Muhammad rasul Allah”. Namun Usamah tidak tertarik syahadat itu dan tetap menghabisinya.

Ketika persoalan itu sampai ke Rasulullah SAW, beliau menginterograsi Usamah: “Benarkah?” Usamah menjawab: “Ya, aku melakukan itu. Aku mengerti watak dia. Dia bersyahadat hanya penyelamatan diri dari pedangku saja”. Nabi membentak: “apa kamu suda membedah dadanya dan melihat sendiri maksud hatinya. Aku tidak bertanggung jawab masalah ini di hadapan Allah nanti..”.

Kedua, kaum muslimin menang perang dan tertangkap pula beberapa tawanan kafir. Diapakan mereka? Begitu pinta Rasulullah mengajak musyawarah.

Abu Bakar: “diminta tebusan saja, tukar tawanan dll. Kas negara menjadi lebih tebal. Di samping ada hubungan keluarga di antara kita. Sikap toleran bisa menarik simpati mereka terhadap islam, dst.

Umar ibn al-Khattab menyergah: “.. bunuh saja semua. Mereka itu bangsat dan jahat. Aku tahu siapa mereka. Ini kesempatan bagus untuk mengurangi kekuatan para musuh Allah itu”. Nabi Muhammad SAW yang lembut itu cenderung pada pendapat Abu Bakr dan tebusan dilakukan.

Setelah keputusan diambil, Tuhan hadir mengkritik keputusan Nabi dan membenarkan pendapat Umar ibn al-Khattab dengan turunnya surah al-Anfal: 67-68. Ayat itu juga mengancam akan timpaan siksa gara-gara keputusan toleran tersebut.

Rasul mulia itu menyadari kekeliruannya dan bersabda: “Bersyukur ada Umar menyelamatkan kita. Andai tidak ada dia, kita ini sudah diadzab semua”. Beberapa waktu berselang, perang lagi dan umat islam menang lagi. Ternyata tawanan kafir yang kemarin dibebaskan tertangkap dan menjadi tawanan lagi.

*Dr. KH. A Musta'in Syafi'ie M.Ag adalah Mufassir, Pengasuh Rubrik HARIAN BANGSA, dan Pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (MQ), Tebuireng, Jombang.

Berita Terkait

BANGSAONLINE VIDEO