JAKARTA, BANGSAONLINE.com – Ini memang pilihan dilematis. Bagi Presiden Jokowi. Tahun ini subsidi bisa mencapai Rp 502 triliun. Kalau BBM tidak naik. Sebaliknya, kemiskinan bisa naik 2 persen. Kalau harga BBM dinaikkan. Tapi citra Jokowi pun tergerus. Jelek. Pilih mana?
Baca tulisan wartawan kondang, Dahlan Iskan, di HARIAN BANGSA hari ini, Sabtu 27 Agustus 2022. Atau di BANGSAONLINE di bawah ini. Selamat membaca: (PENGANTAR REDAKSI BANGSAONLINE).
Baca Juga: Ayo Simak! Berikut Beberapa Jenis Barang dan Jasa yang Bebas dari PPN!
Harga BBM naik?
Tidak.
Naik.
Baca Juga: Dituding Murtad, Dahlan Iskan Jawab dengan Shalat
Tidak.
Belum.
Entah sampai kapan.
Baca Juga: Komitmen Wujudkan Hilirisasi Dalam Negeri, Antam Borong 30 Ton Emas Batangan Freeport
Jangan perjudikan itu. Apalagi tanpa membayar fee ke 303. Kita tunggu saja keputusan pemerintah. Kelihatannya tinggal tunggu keputusan akhir dari Presiden Jokowi.
Langkah-langkah menuju kenaikan harga itu sudah disiapkan. Para menteri seperti sudah memastikan BBM naik. Setidaknya sudah siap naik. Pun sikap Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Semua mengisyaratkan ke arah kenaikan harga BBM.
Secara ilmiah –ilmu ekonomi– memang harus begitu. Harga BBM sekarang ini murahnya luar biasa –dibanding harga pasar internasional. Untuk apa ilmu ekonomi dipelajari di semua universitas kalau tidak dipergunakan.
Baca Juga: Aneh, Baca Syahadat 9 Kali Sehari Semalam, Dahlan Iskan Masih Dituding Murtad
Tapi harga BBM sekarang itu masih mahal. Kalau diukur dari kemampuan daya beli lapisan masyarakat menengah ke bawah. Saya pun pernah menulis: kenyataannya, setiap terjadi kenaikan harga BBM tingkat kemiskinan selalu naik. Jumlah orang miskin bertambah (Disway 23 Juni 2022).
Saya memahami bahwa Presiden Jokowi sampai sangat sulit membuat keputusan soal kenaikan harga BBM. Sesulit-sulit menangkap Irjen Pol Ferdy Sambo masih bisa mengerahkan Brimob. Taruhannya hanya ''kemungkinan anak buah Sambo marah''. Tapi menaikkan harga BBM ini taruhannya rakyat miskin. Jumlahnya bisa lebih 20 juta orang. Umumnya mengagumi Pak Jokowi. Memilihnya dengan fanatik. "Mendewakannya".
Dan sang Dewa kini harus membuat keputusan pahit bagi mereka. Mungkin mereka memang tidak banyak membeli BBM. Mereka tidak punya mobil. Tapi kenaikan harga BBM akan menaikkan harga-harga kebutuhan hidup. Inflasi.
Baca Juga: Di Banyuwangi, Khofifah Ucapkan Selamat untuk Prabowo dan Gibran
Pak Jokowi tidak sendirian. Presiden yang ia gantikan, SBY, juga berpikir panjang sekali sebelum mengambil keputusan menaikkan harga BBM. Sampai SBY mendapat julukan peragu. Setidaknya dibanding wakilnya: Jusuf Kalla.
"Ekonom tidak memahami ini: setiap terjadi kenaikan harga BBM tingkat kemiskinan naik. Bisa sampai 2 persen," ujarnya suatu ketika.
Saya yang semula terpengaruh Pak JK ikut merenungkan kenyataan yang dikemukakan Presiden SBY itu.
Baca Juga: Di Penghujung Jabatan Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Gebuki Mafia Tanah
Keputusan menaikkan harga BBM selalu harus dilakukan. Oleh presiden siapa pun. Dari periode ke periode. Selalu juga menimbulkan gejolak. Termasuk gejolak di APBN.
Kenaikan harga BBM seperti kutukan abadi di negeri ini. Hanya belakangan tanpa ada demo.
Di zaman Pak SBY subsidi mencapai Rp 250 triliun. Dihujat. Dibilang membakar-bakar uang negara. Salah sasaran. Orang kaya kok disubsidi. Dan seterusnya.
Baca Juga: Menteri ATR/BPN Hadiri Upacara HUT ke-79 TNI
Kini subsidi itu bisa mencapai Rp 502 triliun. Tahun ini. Kalau BBM tidak naik. Sebaliknya kemiskinan bisa naik 2 persen. Kalau harga BBM dinaikkan.
Bagi Pak Jokowi ancaman kemiskinan naik 2 persen itu menakutkan. Terutama dalam hal citra. Kalau sampai kemiskinan naik 2 persen Pak Jokowi akan dikenang seumur hidup sebagai presiden yang gagal mengentas kemiskinan.
Selama 8 tahun menjabat Presiden angka kemiskinan hanya turun 1,5 persen. Terendah dibanding presiden siapa pun pasca reformasi. Maka kalau sampai angka kemiskinan naik 2 persen akibat kenaikan harga BBM apa lagi yang bisa dikenang di bidang pengentasan kemiskinan.
Baca Juga: Bersama Presiden Jokowi, Menteri ATR/BPN Peroleh Brevet Kehormatan Hiu
Maka harus ditemukan cara baru. Ilmu baru. Terobosan baru: bagaimana harga BBM naik tanpa menambah angka kemiskinan.
Tentu saya pernah memikirkan itu. Secara mendalam. Sayangnya saya tidak mampu merumuskan teori baru. Mungkin karena saya bukan ekonom. Lalu saya tunggu teori baru dari para ekonom. Juga tidak muncul.
Ide baru yang sering dibicarakan hanyalah: bagaimana agar penghematan dari subsidi BBM itu diarahkan untuk fokus mengatasi kemiskinan. Di atas kertas itu masuk akal. Lalu dilaksanakan. Hasilnya belum kelihatan di angka-angka statistik.
Itulah sebabnya saya memilih jalan pintas ini: untuk mengurangi subsidi BBM janganlah gunakan BBM. Kita buat mobil listrik.
Itu 10 tahun lalu.
Gagal.
Anda sudah tahu hasilnya. Tidak bisa terwujud. Dan sampai sekarang kita masih harus berkutat dengan subsidi BBM. Sayang energi seorang presiden terlalu terkuras di soal ini. Sumpek. Untung Pak Jokowi masih sering bertemu relawannya. Bisa terhibur di situ.
Kini mobil listrik sudah mewabah di mana-mana. Presiden Indonesia 10 tahun ke depan bisa lebih ringan pikirannya.
Jadi, apakah harga BBM akan naik?
Tidak.
Naik.
Tidak.
Terserah. (Dahlan Iskan)
Anda bisa menanggapi tulisan Dahlan Iskan dengan berkomentar http://disway.id/. Setiap hari Dahlan Iskan akan meilih langsung komentar terbaik untuk ditampilkan di Disway
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News