Dahlan Iskan Pernah Bayangkan Dimakamkan di Halaman Jawa Pos

Dahlan Iskan Pernah Bayangkan Dimakamkan di Halaman Jawa Pos Dahlan Iskan. Foto: Dok. Pribadi

SURABAYA, BANGSAONLINE.com - Banyak yang terkejut ketika Dahlan Iskan tiba-tiba menjadi tersangka. Berita itu pun viral. Lebih terkejut lagi, ternyata Dahlan Iskan menjadi tersangka atas laporan direksi Jawa Pos. Koran yang telah ia besarkan. Bahkan Jawa Pos identik dengan Dahlan Iskan.

Apa sebenarnya yang sedang terjadi antara Dahlan Iskan dan pimpinan Jawa Pos yang sekarang? 

Dahlan Iskan menulis kasus tersebut secara gamblang. Wartawan kondang itu memulai tulisannya dengan menungkap WA seorang wartawan.

“Nanda Aria, seorang wartawan Tirto.id, kirim WhatsApp (WA) ke saya Kamis kemarin. Saya lihat jam berapa WA itu: 10.12 WIB,” tulis Dahlan Iskan di Disway. Apa bunyinya?

"Selamat pagi Pak Dahlan Iskan, saya Nanda dari Tirto.id. Pak, izin menanyakan perihal gugatan yang bapak ajukan terhadap Jawa Pos ke PN Surabaya. Hal ini terkait apa ya pak? Ada kabar bahwa ini terkait pembagian saham. Apa benar pak? Mohon tanggapannya ya pak. Terima kasih dan sehat selalu ????????",” ungkap tokoh pers tersebut.

Dahlan Iskan mengaku lupa apakah ia kenal Nanda. “Tapi WA itu baru terbaca beberapa jam kemudian. Ketika saya bangun pukul 02.00, WA itu saya jawab pukul 02.44 WIB. Berarti sudah hari Jumat dini hari, “ tulis Dahlan Iskan kemudian.

Dahlan mengaku menjawab WA Nanda sebagai berikut:

“Nanda, maafkan baru terbaca WA Anda. Saya itu tidak pernah menyimpan dokumen perusahaan di rumah saya. Semua saya tinggal di kantor saat itu. Saya sekarang perlu dokumen-dokumen itu. Sudah minta beberapa dokumen perusahaan secara baik-baik tapi tidak diberi, pengacara saya ajukan gugatan untuk mendapat dokumen-dokumen tersebut, karena sebagai salah satu pemegang saham saya punya hak untuk meminta. Begitu kan? Suwun," ungkap mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur itu.

”Sebenarnya saya tidak memerlukan sama sekali dokumen-dokumen tersebut. Sudah lebih 15 tahun saya meninggalkan Jawa Pos. Selama itu pula tidak pernah merasa memerlukannya,” kata Dahlan.

Ia tidak pernah menyangka 15 tahun kemudian ternyata memerlukan dokumen-dokuemen itu.

”Itu karena hari-hari ini saya harus memberikan keterangan di polisi sebagai saksi atas pengaduan direksi Jawa Pos --direksi yang sekarang-- tentang peristiwa 25 tahun yang lalu. Yakni soal siapa sebenarnya pemilik saham Tabloid Nyata,” tulis mantan Menteri BUMN itu.

”Saya pun harus menjelaskan ke polisi sepanjang ingatan saya. Ternyata harus ada bukti dalam bentuk dokumen. Maka saya perlukan banyak dokumen,” tambahnya.

Dahlan mengaku tak menyangka persoalan itu diadukan ke polisi. “Mengapa Jawa Pos tidak juga mengadukan, misalnya "siapa pemegang saham harian Memorandum". Atau mingguan berbahasa Jawa "Jayabaya",” tulisnya lagi.

”Maka kejadian hampir 25 tahun lalu harus saya flashback. Siapa sangka itu akan terjadi tahun ini. Hidup ini ternyata banyak juga yang harus dijalani tanpa pernah disangka,” ujar Dahlan Iskan.

Dahlan juga tak menyangka dirinya berurusan dengan polisi di usia saya yang 74 tahun. “Dulu, saya kira, saya itu akan seumur hidup di Jawa Pos. Katakanlah sampai mati. Bahkan saya bayangkan mungkin makam saya pun kelak akan di halaman gedung Jawa Pos,” tulis Dahlan Iskan.

”Itu karena, seperti banyak yang bilang, "Jawa Pos adalah Dahlan Iskan, dan Dahlan Iskan adalah Jawa Pos". Rasanya pernah ada media yang sampai menulis seperti itu,” ungkap Dahlan lagi.

Memang, seluruh energi muda Dahlan Iskan tumpah untuk Jawa Pos. “Saya sempat bahagia ketika banyak yang mengakui bahwa sayalah yang membuat Jawa Pos dari perusahaan yang begitu kecil dan miskin menjadi raksasa media dengan kekayaan bertriliun-triliun rupiah,” tulisnya.

Menurut Dahlan, sebenarnya bukan hanya dirinya yang bekerja keras untuk membangun Jawa Pos. Tapi juga seluruh karyawan saat itu. Terutama karyawan yang hebat-hebat.

“Tapi saya memang bekerja rata-rata 16 jam sehari. Selama berpuluh tahun. Sangat sering sampai pukul 02.00. Setelah itu pun sering masih harus keliling ke agen-agen. Mulai urusan manajemen sampai urusan mengedit berita. Mulai dari mengurus agen sampai percetakan. Mulai dari sehat sampai terkena sakit liver ---sampai muntah darah,” ungkap Dahlan Iskan mengenang saat berjuang untuk membesarkan Jawa Pos.

Dalam posisi Jawa Pos yang sudah kaya raya itu Dahlan Iskan mengaku mendapat tugas negara: mengatasi krisis listrik di Indonesia. Sebenarnya Dahlan Iskan tidak mau. Tapi ini tugas negara. Akhirnya Dahlan Iskan menjadi dirut PLN di tahun 2009.

”Sebagai dirut BUMN saya tidak boleh merangkap jabatan di swasta. Maka saya harus melepaskan jabatan dirut Jawa Pos. Tidak masalah. Toh di PLN saya tidak akan lama. Maksimum tiga tahun. Bisa kembali ke Jawa Pos lagi,” tulis penulis produktif itu.

Ternyata Dahlan Iskan tidak pernah bisa kembali lagi ke Jawa Pos. “Pemegang saham mayoritas yang selama puluhan tahun hanya mengawasi dari jauh sudah menjadi sangat berkuasa di Jawa Pos. Begitulah perusahaan. Apalagi sudah punya uang banyak,” ujarnya.

Ia mengaku masih ditawari jadi komisaris, hanya komisaris. “Bukan Komut, tentu saya tidak mau,” tegas Dahlan Iskan.

Alhasil, sejak tahun 2009 itu Dahlan Iskan sejatinya sudah meninggalkan manajemen Jawa Pos. Tapi mayoritas pembaca tidak tahu. “Saya masih dikira pimpinan Jawa Pos. Pun sampai kemarin saya di Perth, masih diperkenalkan sebagi bos Jawa Pos,” ujarnya.

Dahlan mengakui memang tidak pernah membuat pernyataan terbuka bahwa saya sudah bukan pimpinan Jawa Pos. Alasannya, agar tidak menimbulkan tanda tanya di pembaca.

Dahlan Iskan mengaku mendapat saham di PT Jawa Pos sebagai hadiah atas prestasinya. “Itu karena Eric Samola, wakil pemegang saham mayoritas saat itu, tahu Jawa Pos sangat maju tanpa modal dari para pemegang saham. Tidak ada pemegang saham yang setor modal di awal kebangkitan Jawa Pos di tahun 1982 itu,” tutur Dahlan Iskan blak-blakan.

”Modal satu-satunya adalah utang: PT Grafiti Pers mengeluarkan uang untuk membeli Jawa Pos dari pemilik lama yang sudah berumur 90 tahun: The Chung Shen. Eric Samola adalah dirut PT Grafiti saat itu,” ungkap Dahlan Iskan.

Tapi dalam dua tahun, Eric minta kembali uang itu. Dari kas Jawa Pos. “Maka uang Grafiti pun sudah dikembalikan utuh. Seluruhnya. Itu uang dari hasil kerja kami di Jawa Pos,” tutur Dahlan Iskan lagi.

Menurut Dahlan, sebenarnya saat itu Jawa Pos masih miskin. Tapi Eric Samola berkeras minta agar uang pembelian Jawa Pos itu dikembalikan ke PT Grafiti. “Saya tahu latar belakangnya: agar Eric tidak disalahkan pemegang saham Grafiti yang lain. Yakni mengapa menggunakan uang untuk membeli koran kecil di daerah yang tidak ada harapan,” cetus Dahlan Iskan.

Dengan mengembalikan uang itu Eric tidak akan disalahkan bila akhirnya kelak Jawa Pos di tangan saya tidak bisa maju. “Toh uang yang dipakai membeli Jawa Pos sudah dikembalikan dari hasil kerja kami,” ujar Dahlan Iskan.

Jadi, siapa sebenarnya pemegang saham Nyata? “Saya sedang menceritakannya ke polisi, sehingga tidak bisa saya uraikan di sini. Pemeriksaan belum selesai. Tapi karena saya sudah diberitakan jadi tersangka, maka saya tegaskan tidak semua media yang saya pimpin adalah milik Jawa Pos,” tulis Dahlan Iskan.

Menurut Dahlan, ada beberapa (saja) bukan milik Jawa Pos. Termasuk Nyata. Ada riwayatnya mengapa begitu.

”Saya belum bisa ceritakan untuk menghormati pengadilan. Tapi pimpinan Jawa Pos yang sekarang, yang tidak tahu sejarah itu, menganggap Nyata miliknya. Jadilah sengketa. Jadi ini sengketa saham di Nyata. Bukan di Jawa Pos. Perdata,” beber Dahlan Iskan.

”Sidang perdatanya sedang berlangsung di Pengadilan Negeri Surabaya. Tiba-tiba ada berita saya jadi tersangka,” ujar Dahlan Iskan lagi.